Mubadalah.id – Dalam praktik sosial keagamaan, kita masih kerap menjumpai banyak ketimpangan. Salah satunya adalah perempuan sering dituntut untuk taat dan berbakti kepada suaminya. Sementara suami tidak selalu mendapat tekanan yang sama untuk untuk taat dan berbakti kepada istrinya.
Padahal, sebagaimana dalam hadits di atas, ukuran kemuliaan seseorang justru terletak pada bagaimana ia memperlakukan keluarganya bukan pada jenis kelaminnya.
Konsep mubadalah hadir untuk mengoreksi pola pikir hierarkis semacam itu. Ia mengajak umat Islam untuk membaca teks keagamaan dengan semangat kesalingan dan kemitraan, bukan dominasi. Dalam rumah tangga yang adil dan penuh kasih, suami dan istri saling menanggung, saling melengkapi, dan saling menebar kebaikan.
Maka, ketika seorang suami berlaku lembut, menghormati keputusan istri, serta menghargai kerja-kerja domestik maupun publik yang istri lakukan, ia sedang meneladani akhlak Rasulullah.
Sebaliknya, ketika seorang istri menunjukkan kesabaran, perhatian, dan penghormatan kepada suaminya, ia pun menjalankan ajaran Islam yang sama. Kedua-duanya sama-sama menjadi insan yang ahsan — yang terbaik dalam berperilaku terhadap keluarganya.
Islam sebagai Etika Kesalingan
Jika kita menelaah lebih dalam, semangat mubadalah sesungguhnya merupakan refleksi dari nilai-nilai dasar Islam itu sendiri: rahmah (kasih sayang), ‘adl (keadilan), dan ihsan (kebaikan).
Relasi rumah tangga yang dibangun atas dasar kesalingan ini bukan hanya menciptakan kebahagiaan pribadi, tetapi juga melahirkan masyarakat yang lebih adil dan beradab.
Dalam skala sosial yang lebih luas, prinsip ini bisa diterapkan dalam berbagai relasi antara orang tua dan anak, tetangga, rekan kerja, warga negara, bahkan antarbangsa.
Sebab, Islam tidak mengajarkan keutamaan satu pihak atas pihak lain berdasarkan jenis kelamin. Melainkan mengajarkan bahwa “yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa” (QS. Al-Hujurat: 13).
Dengan demikian, pesan Rasulullah Saw. dalam hadits tersebut adalah panggilan moral untuk menegakkan keadilan dan kebaikan dalam seluruh lapisan relasi manusia.
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Buku Qiraah Mubadalah menjelaskan bahwa teks keagamaan tidak seharusnya digunakan untuk melegitimasi ketimpangan. Melainkan untuk memperkuat nilai kemanusiaan yang sejati. []