Mubadalah.id – Dulu, ketika Ngaji Keadilan Gender Islam asuhan Bu Nur Rofiah masih dilaksanakan via diskusi WhatsApp, seorang perempuan bercerita bahwa ia sebenarnya sangat ingin melanjutkan pendidikan dengan menempuh program sarjana dengan pertimbangan bahwa ia merasa bahwa ilmu yang didapatkan dari bangku sekolah di pondok dulu belumlah cukup, selain juga anaknya yang tumbuh besar ternyata sering mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang kritis yang tak mudah untuk dijawab.
Harapannya ketika ia kembali berada di kelas, daya analitisnya dapat diasah, dan membantunya betul-betul menjadi madrasah sang putra. Sayangnya, sang suami justru melarangnya untuk kuliah tanpa ada penjelasan kenapa tak diperbolehkan.
Curahan hati perempuan tadi seketika mendapatkan respon beragam dari anggota grup yang lain. Banyak yang menyayangkan kebijakan suami yang tidak memperbolehkannya kuliah. Beberapa yang lain menyarankan untuk membuka dialog seterbuka mungkin kepada pasangan.
Namun kemudian perempuan tersebut menyampaikan bahwa ia sudah mencoba melakukan hal tersebut, hanya ia selalu mengalami kesulitan mengkomunikasikan keinginannya karena sejauh ini ia hanya mendapatkan penegasan autoritatif bahwa ia hanya perlu mengurus rumah tangga. Titik. Tidak perlu repot-repot kuliah. Dan suaminya hanya bersikap acuh atas alasan-alasan yang dikemukakan.
Sikap suami yang dengan keras melarang sang istri untuk kuliah di sini perlu dicermati dengan seksama: apakah karena keterbatasan dana? Atau semata-mata karena egoisme semata? Kalau pun tidak mampu secara ekonomi sebenarnya bisa disampaikan baik-baik, atau alternatif lainnya bisa di lain waktu ketika tabungan mereka cukup. Sayangnya tanpa pemberian alasan yang jelas, sang suami tadi seakan membenarkan asumsi keliru tentang perempuan berilmu.
Jamak kita mendengar di masyarakat beredar stigma bahwa, “jangan biarkan istrimu menjadi pintar, nanti ia akan lebih suka membantah dan membangkang pada suami.” Alih-alih menekankan keutaamaan pribadi yang berilmu, masyarakat melihat bahwa pendidikan bagi kaum hawa justru menjadi akan membuat sang istri tidak taat pada suami.
Hal ini justru jauh sekali dari teladan Rasul yang malah membuka kesempatan seluas-luasnya untuk perempuan untuk meningkatkan kapasitas diri dan mendorong pendidikan bagi perempuan. Tanpa pernah melakukan diskriminasi, Nabi Muhammad SAW memberi peluang dan kesempatan yang sama bagi umatnya baik laki-laki maupun perempuan untuk menuntut ilmu.
Bahkan Rasulullah tak segan-segan menunjukkan dukungannya untuk mendorong perluasan akses pendidikan bagi perempuan. Bisa dikatakan, Rasulullah dapat disebut revolusioner dalam memperjuangkan hak-hak perempuan tentang pendidikan, bila dibandingkan dengan kaum jahiliah dalam masa sebelumnya.
Atas dukungan Rasul tersebut, para perempuan zaman dulu pun selalu bersemangat untuk belajar. Bertanya bagi mereka juga bukan hal tabu, termasuk kepada beliau, “Ya, Rasulullah, hendaknya kami diberi waktu satu hari khusus untuk mengkaji ilmu-ilmu darimu.”
Dengan lembut hati, Rasul mengiyakan permintaan tersebut. Tiap ada penyampaian untuk belajar kepada beliau, Rasulullah tidak pernah melarang. Beliau juga tidak pernah menghalang-halangi kaum perempuan untuk mengikuti salat berjamaah di masjid.
Dukungan beliau untuk hak belajar perempuan Rasulullah lainnya ditunjukkan dengan keterbukaan terhadap sikap kritis yang dilontarkan perempuan, yang ingin mengetahui dan mendalami suatu masalah. Tak pernah sekalipun beliau mencegah seorang perempuan yang ingin berdebat dalam suatu masalah, termasuk juga kepada Aisyah dan istri-istri beliau yang lain.
Sudah merupakan hal biasa bila para perempuan di zaman Nabi mengemukakan masalah secara terbuka, bahkan menanyakan hal yang paling tabu sekalipun. Di luar pendidikan, Rasulullah memberikan peluang partisipasi seluas-luasnya kepada perempuan pada bidang apapun. Misalnya, Rasulullah memberi izin atau memperbolehkan kaum perempuan dalam memasuki medan perang. Dakwah beliau juga selalu melibatkan istri-istrinya.
Sayangnya, dukungan penuh beliau untuk para perempuan agar selalu meningkatkan kapasitas diri justru berbanding terbalik dengan realita yang kita hadapi sekarang. Akibat trauma politik dan kekalahan di bidang peradaban, marjinalisasi dan subordinasi perempuan justru semakin masif, serta dipropagandakan besar-besaran. Parahnya, domestikasi perempuan tersebut dilakukan dengan dalih agama.
Alih-alih meneruskan perjuangan Rasul untuk memajukan peradaban dengan peran penuh perempuan di dalamnya, umat kini justru tenggelam paranoid akut bahwa perempuan adalah sumber fitnah. Tak heran, peminggiran ekstrem tersebut membuat peradaban islam menjadi stagnan dan kaku.
Lucunya, di saat yang sama kita masih berorientasi untuk mengulangi kejayaan masa lalu. Padahal, dulu Rasul justru mencontohkan pelibatan peran perempuan di segala bidang. Nah, kalau sudah begini, apa kita tidak malu berkoar-koar mendaku-daku penegak sempurna sunnah Nabi?! Lha wong perilakunya dalam mendukung pendidikan perempuan saja, hanya kita lakukan setengah hati. []