Mubadalah.id- Penyandang disabilitas di Indonesia masih perlu mendapat perhatian khusus dari banyak pihak khususnya pemerintah. Karena hingga saat ini mereka yang memiliki keterbatasan dalam aspek fisik, intelektual, mental dan sensor tersebut seakan-akan tidak menganggap kehadirannya alias terkucilkan. Mereka rentan mendapat stigmatisasi sehingga akses dalam berinteraksi secara sosial pun menjadi lebih terbatas.
Berdasarkan data yang terhimpun dari survei sosial ekonomi memaparkan bahwa Indonesia dari beberapa negara lain menjadi salah satu negara dengan angka penyandang difabel cukup tinggi. Sekitar 30.38 juta penduduk, rasio nya 14.2% dari total populasi.
Sebagai bagian dari kelompok yang terpinggirkan, stereotipe penyandang disabilitas di mata publik acapkali memicu kontroversi yang beragam. Persepsi bahwa Penyandang disabilitas merupakan individu yang tidak aktif berkontribusi di berbagai lingkup. Selain itu tidak memiliki daya upaya untuk menyuarakan pendapatnya.
Secara tidak langsung memang mengiyakan bahwa mereka tak lebih hanyalah ‘beban masyarakat’. Industri berita media turut andil memprovokasi dan memersuasi masyarakat untuk bersikap diskriminati. Media massa yang seharusnya menciptakan kesadaran publik yang inklusif bukan justru malah menjustifikasi sekaligus menumbuhkan stereotipe negatif mengenai difabel.
Bebas dari Stigma
Bukankah penyandang difabel wajib mendapatkan perlakuan yang setara tak ubahnya seperti masyarakat pada umumnya? Hal ini tercantum dalam pasal 5 UU penyandang disabilitas, isinya fokus tentang berbagai hak penyandang disabilitas sebagai seorang warga negara. Contohnya hak bebas dari stigma, hak untuk hidup dan hak mendapatkan keadilan serta perlindungan hukum.
Salah satu aspek fundamental yang menjadi bukti bahwa negara Indonesia masih menciptakan perlakuan hukum berat sebelah antara kaum non disabilitas dan disabilitas. Yaitu minimnya aksesibilitas terhadap fasilitas umum, infrastuktur fisik yang bersahabat dan inklusif. Terutama bagi kaum disabilitas perlu kita tingkatkan demi mempermudah akses juga efisiensi tenaga dan waktu dalam beraktivitas sehari-hari.
Melansir pasal 9 lampiran undang undang no.19 tahun 2011 tentang pengesahan konversi mengenai hak-hak penyandang disabilitas dan pasal 18 huruf a UU 8/2016 juga menerangkan bahwa hak aksesibilitas bagi penyandang disabilitas meliputi akses terhadap transportasi, fasilitas publik dan lingkungan fisik.
Tidak perlu jauh-jauh, contoh impelementasi yang menurut saya perlu kita dioptimalisasikan yaitu pengadaan jalur trotoar khusus bagi penyandang disabilitas. Fasilitas ini mungkin saja terlihat sepele namun dampaknya cukup signifikan karena menjadi sarana mobilitas yang penting.
Kota Tasikmalaya perlu mencontoh Kota Administrasi Jakarta Selatan dalam hal pengadaan sarana trotoar yang ideal dan ramah bagi para penyandang disabilitas. Bukankah ini menjadi sebuah jembatan agar terciptanya jalan bagi mereka yang sebetulnya juga berkeinginan untuk beraktivitas secara normal. Hanya saja lingkungan di mana mereka berada masih belum menyediakan fasilitas publik yang aman, nyaman dan ideal.
Akses yang Ramah Difabel
Sudah menjadi rahasia umum jika trotoar di Indonesia tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan pembuatan trotoar. Antara lain menjadi pembatas jalan raya dan melindungi pejalan kaki dari hiruk pikuk keramaian kota. Perlahan tapi pasti teralihkan menjadi sarana bagi pedagang kaki lima untuk berjualan sampai lahan parkir kendaraan roda dua maupun roda empat, trotoar kehilangan identitas.
Awalnya yang semula merupakan ruang khusus pejalan kaki menjadi pajangan yang hanya sekedar menambah keindahan tata letak kota semata. Kondisi ini miris namun memang fakta di lapangan menunjukkan kondisi sebaliknya.
Jadi tidak heran jika penyandang disabilitas benar benar berada di posisi yang tidak menguntungkan dan memprihatinkan karena ketiadaan dukungan dari lingkungan internal maupun eksternal. Bagaimana bisa mereka menjadi sosok yang independen jika fasilitasnya sendiri nihil?
Fiqih Disabilitas
Islam secara fiqih tetap menitahkan para penyandang disabilitas menjalankan kewajiban syariat taklif. Yaitu jika secara akal masih bisa dipergunakan dengan baik mereka boleh untuk bekerja selayaknya masyarakat umum. Tentunya sambil mempertimbangkan beberapa hal khusus seperti kondisi fisik dan kesanggupannya dalam beraktivitas.
Maka dari itu sudah sepatutnya kita mendukung penuh aksesibilitas fasilitas umum yang memadai bagi penyandang disabilitas. Pemerintah maupun pemerintah provinsi, kota atau kabupaten perlu menyediakan akses trotoar yang memadai, terstruktur dan ramah disabilitas di ranah outdoor. Seperti jalan raya maupun di ranah indoor layaknya pusat perbelanjaan, universitas, taman hiburan dan masjid.
Hadist Ibnu Daud menyebutkan
(قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ الرَّجُلَ لَيَكُونَ لَهُ الدَّرَجَةُ عِنْدَ اللهِ لَا يَبْلُغُهَا بِعَمَلٍ حَتَّى يُبْتَلَى بِبَلَاءٍ فِي جِسْمِهِ فَيَبْلُغَهَا بِذَلِكَ. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ
Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh seseorang niscaya punya suatu derajat di sisi Allah yang tidak akan dicapainya dengan amal, sampai ia diuji dengan cobaan di badannya, lalu dengan ujian itu ia mencapai derajat tersebut” (HR Abu Dawud)
Relevansi Penyandang Disabilitas dan Islam
Itu artinya kedudukan penyandang disabilitas di Mata Allah se-derajat atau setara selayaknya manusia lainnya, bahkan lebih mulia. Ajaran Islam pun memberi pemahaman bahwa nilai diri seseorang tidak ditentukan dari kekurangan fisiknya melainkan dari tinggi nya ketaqwaan hamba tersebut kepada Allah. Jadi bagi penyandang disabilitas marilah tegakkan kepala dan tumbuhkan motivasi diri setinggi mungkin karena Allah melalui Q.S Surah Ar-Rad Ayat 11 nya berfirman
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”
Allah tidak mungkin membebankan sebuah amanah atau tanggung jawab kepada seseorang jika tidak sesuai dengan kesanggupannya sebagai seorang manusia. Karena bisa jadi takdir yang Allah berikan justru malah menjadi sebuah anugerah yang indah. Terlepas dari kekurangan yang kita miliki, manusia hanya perlu berikhtiar dan menjalankan rutinitas sehari hari dengan sebaik mungkin.
Islam Mendukung Penyandang Disabilitas
Bermuhasabah atau refleksi diri juga perlu kita lakukan sebagai bentuk syukur kita kepada Allah atas segala karunia, kasih sayang dan pertolonganNya. Di mana hingga kini masih terus menerus memberikan kesempatan untuk menjalani hidup dari ke hari menjadi lebih baik lagi.
Islam mendukung penuh keberpihakan kepada penyandang disabilitas. Dan mendorong penyandang disabilitas untuk memperjuangkan haknya. Selain itu, sebagai seorang individu juga mengoptimalkan segala potensi dalam diri. Menumbuhkan optimisme, sikap mandiri dan kreativitas tanpa batas demi menjalankan kewajiban kita sebagai seorang hamba yang beriman kepada Allah SWT.
Islam sebagai agama rahmatan Lil’alamin mengajarkan kita untuk menumbuhkan sikap berkasih sayang dan kepedulian (empati). Kenyamanan serta kedamaian bagi seluruh makhluk hidup di dunia ini. Marilah kita wujudkan fondasi agama Islam yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai humanis, dinamis, kontekstual, komprehensif serta permanen hingga akhir hayat nanti. []











































