Mubadalah.id – Jika merujuk dalam kitab-kitab hadis besar seperti al-Kutub as-Sittah, bahkan ada bab khusus yang membahas persoalan tentang haid, nifas, dan istihadhah. Sunan Ibn Majah, misalnya, memberikan ruang pembahasan yang sangat luas dan rinci.
Namun yang menarik, sebagaimana pandangan Nyai. Hj. Badriyah Fayumi dalam Kupipedia.id, hampir semua ketentuan hukum dalam hadis tentang haid, nifas, dan istihadhah didasarkan pada kasus-kasus konkret yang dialami oleh perempuan pada masa itu.
Artinya, hukum Islam tentang reproduksi perempuan tidak lahir dari asumsi para ulama laki-laki semata. Melainkan dari dialog langsung antara Nabi dan perempuan yang mengalami persoalan tersebut.
Nama-nama seperti Aisyah, Ummu Salamah, Fatimah binti Abi Hubaisy, Ummu Habibah binti Jahsy, Asma binti Umais, dan Hamnah binti Jahsy menjadi saksi sejarah bagaimana Nabi dengan sabar mendengarkan keluhan mereka, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, dan memberikan solusi yang manusiawi bahkan berbeda untuk tiap individu.
Misalnya, terhadap Ummu Habibah binti Jahsy, Nabi memerintahkan untuk mandi setiap kali hendak shalat wajib. Sementara kepada Sahlah binti Suhail dan Asma binti Umais, beliau memberi keringanan untuk mandi satu kali untuk dua shalat wajib. Adapun kepada Fatimah binti Abi Hubaisy, Nabi hanya memerintahkan mandi sekali saja ketika darah istihadhah berhenti.
Perbedaan jawaban ini bukan tanda ketidakkonsistenan, tetapi bukti bahwa Nabi sangat memperhatikan konteks, kebutuhan, dan kondisi tiap perempuan secara personal. Nabi tidak pernah memaksakan satu hukum yang kaku untuk semua orang. []







































