Mubadalah.id – Tiga puluh dua tahun setelah tubuhnya ditemukan tak bernyawa di hutan Wilangan, Nganjuk, nama Marsinah akhirnya dipanggil negara. Pada 7 November 2025, Presiden Prabowo Subianto secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional bagi buruh perempuan asal Nglundo itu. Butuh lebih dari tiga dekade dan tujuh presiden untuk sampai pada pengakuan yang seharusnya datang sejak lama.
Tapi mungkin begitulah watak kebenaran: ia datang terlambat namun tetap tiba juga.
Bagi banyak anak muda, mengenang Marsinah mungkin adalah sebuah nama samar yang sering kita sebut di hari buruh. Namun bagi mereka yang menelusuri jejaknya, Marsinah adalah simbol penolakan untuk tunduk terhadap ketidakadilan.
Ia bukan hanya buruh pabrik arloji PT Catur Putra Surya di Sidoarjo, tetapi juga perempuan muda yang berani menuntut hak upah layak bagi rekan-rekannya pada 1993. Masa-masa kelam ketika suara buruh dianggap ancaman, dan perempuan tak dianggap suaranya.
Tubuh Perempuan dan Politik Keteguhan
Mengenang Marsinah, ia lahir dari keluarga sederhana di Nglundo, Nganjuk, pada 10 April 1969. Ia tumbuh dalam kemiskinan, namun keras kepala dalam cita-cita. Menurut sang kakak, Marsini, sebagaimana yang saya kutip dalam Detik.com, Marsinah adalah sosok yang kuat dan semangat belajar. (Detik.com, 8 November 2025).
Meski cita-cita itu tak pernah tercapai, kini Marsinah telah menjadi simbol “hukum” itu tersendiri. Marsinah merupakan perwujudan dari tekad menegakkan keadilan di tengah sistem yang meminggirkannya.
Tubuhnya adalah perlawanan itu. Ia berdiri di hadapan aparat, berdebat dengan manajer pabrik, dan menulis catatan-catatan kecil tentang nasib buruh. Hingga kemudian menjadi bukti betapa tak adil-nya kondisi kerja di era Orde Baru. Ketika ia hilang dan kemudian ditemukan dengan tanda-tanda penyiksaan, tubuhnya berubah menjadi teks politik, pesan tentang bagaimana kekuasaan membisukan mereka yang bersuara.
Kisah Marsinah memberikan sebuah representasi mengenai bagaimana tubuh perempuan menjadi medan tafsir. Dalam budaya industri yang maskulin dan represif, tubuh perempuan sering terposisikan sebagai obyek kerja dan kontrol. Marsinah mampu menggugat dan melampaui itu. Ia menegaskan diri sebagai subjek yang berdaulat atas kerja, hak, dan suaranya.
Hilangnya tubuh Marsinah merupakan benturan dari dua kekuatan besar: kapitalisme yang eksploitatif dan negara yang represif. Setelah memimpin rekan-rekannya menuntut kenaikan upah dan menolak pemutusan hubungan kerja sepihak, Marsinah dipanggil ke kantor Kodim Sidoarjo pada awal Mei 1993.
Ia tak pernah kembali. Berselang Tiga hari, jasadnya ditemukan di sebuah gubuk di tepi sawah Desa Wilangan, Nganjuk. Terdapat memar di wajah, tulang rusuk patah, rahim robek, dan tanda-tanda penyiksaan berat di sekujur tubuhnya.
Marsinah Sang Simbol Spiritualitas Keadilan
Saya mencoba mengenang Marsinah dengan lensa spiritual. Dalam kacamata saya, perjuangan Marsinah sejatinya berakar pada iman sosial. Sebuah presentasi keimanan yang bergerak dari ruang pribadi menuju ruang publik. Ia tidak berjuang demi kepentingan ideologi, tetapi demi kemanusiaan.
Marsinah hidup di masa ketika berbicara tentang keadilan berarti mempertaruhkan hidup. Namun ia tetap melakukannya, tanpa jaminan akan berhasil. Seperti halnya para sufi yang meyakini bahwa kebenaran adalah jalan, bukan hasil, Marsinah meniti jalan itu sampai akhir.
Keteguhannya mengingatkan saya pada spiritualitas jihad al-nafs. Perjuangan melawan ketakutan, tanpa mimbar, apalagi kamera. Bermodal keberanian dan secarik kertas tuntutan hak upah, telah cukup baginya untuk dianggap sebagai ancaman oleh negara. Dalam konteks ini, Marsinah bukan hanya aktivis buruh, bisa jadi ia adalah jelmaan wali sosial yang menjalankan iman lewat cara berbahaya di rezim otoriter.
Ketika negara akhirnya mengakui Marsinah sebagai pahlawan, pengakuan itu bukan hanya bentuk rehabilitasi sejarah, tapi juga semacam taubat kolektif. Kita semua, sebagai masyarakat, pernah membiarkan kebenaran itu tersembunyikan.
Pengakuan yang Datang Terlambat
Dalam wawancara lain, Marsini, kakaknya, berkata, “Sekarang saya bisa bicara karena sudah jelas … saya diundang juga untuk menerima sertifikat gelar pahlawan. Saya mohon doa untuk Marsinah yang sudah mengorbankan diri.” (Detik.com, 7 November 2025).
Dari wawancara itu saya bisa merasakan kesedihan dan kebanggaan di dalamnya. Sebab penghargaan ini datang jauh setelah kematiannya yang tragis dan menyisakan ingatan dalam doa.
Namun di balik semua itu, pengakuan negara membuka ruang baru bagi generasi muda untuk mengenal kembali Marsinah sebagai simbol kemenangan moral bagi seluruh pekerja di Indonesia yang terus memperjuangkan keadilan, kesejahteraan, dan hak-hak konstitusional buruh.
Di tengah dunia kerja modern yang masih sarat ketimpangan gender, kisah Marsinah menegaskan bahwa perjuangan perempuan tidak hanya terjadi di ruang domestik atau wacana feminisme urban, tapi juga di pabrik-pabrik, di ruang produksi, bahkan di sela-sela mesin dan keringat.
Belajar dari Marsinah
Dari Marsinah, kita belajar bahwa keberanian tidak hanya lahir dari kekuatan, tetapi harus terealisasikan oleh pilihan yang kita ambil meskipun terbersit rasa takut. Kita jadi sadar dan paham bahwa keadilan tidak pernah datang dari atas, tapi kita perjuangkan dari bawah. Dan bahwa iman sejati tidak selalu bersujud di masjid, melainkan berdiri tegak di hadapan ketidakadilan.
Raga Marsinah bisa saja hancur oleh kekerasan, namun ruh keteguhannya tetap abadi dan kini menuntut kita untuk meneruskan perlawanan dengan cara baru. Perlawanan melalui tinta pena, lewat solidaritas, lewat kejujuran di tengah sistem korup yang termaklumi.
Terlambatnya penghargaan terhadap sosok Marsinah bukan berarti kisahnya terlambat untuk kita gaungkan. Sebab di setiap perempuan yang menolak diam, di setiap buruh yang menuntut haknya, di setiap manusia yang menolak tunduk pada ketidakadilan, di situlah spirit Marsinah selalu hidup dan mewarnai. Wallahu a’lam. []
Sumber:
1. Detik.com, 8 November 2025 – “Keluarga Cerita Hidup Marsinah, Bangga Dianugerahi Pahlawan Nasional”
2. Detik.com, 7 November 2025 – “Keluarga Marsinah Sudah Terima Undangan Pemberian Gelar Pahlawan”3. Dokumentasi sejarah kasus Marsinah, Komnas HAM, 2002.












































