Mubadalah.id – Dalam sejarah Islam, ternyata ada banyak ulama besar yang berpandangan progresif tentang peran perempuan boleh menjadi pemimpin maupun hakim. Nyai Hj. Badriyah Fayumi dalam tulisannya di Kupipedia.id mencatat, di antara mereka adalah Imam Abu Hanifah, Ibnu Hazm azh-Zhahiri, Ibnu Jarir ath-Thabari, dan Hasan al-Bashri.
Keempat tokoh ini secara terbuka memperbolehkan perempuan menjadi pemimpin maupun hakim. Bahkan, Ath-Thabari dan Hasan al-Bashri tidak membatasi sama sekali kekuasaan kehakiman perempuan.
Argumen mereka adalah ” jika perempuan boleh menjadi mufti (pemberi fatwa agama), maka tentu ia juga boleh menjadi hakim.”
Sebab, baik fatwa maupun keputusan hukum sama-sama menuntut kemampuan istinbath—yakni menggali hukum dari sumbernya—serta kebijaksanaan dalam mengambil keputusan. Dalam pandangan ini, kompetensi dan integritas menjadi ukuran utama, bukan jenis kelamin.
Meski pandangan semacam ini sempat mendapat tentangan dari sebagian ahli fiqh yang lain, Nyai Badriyah menilai bahwa khilafiyah (perbedaan pendapat) tersebut justru menjadi berkah. Sebab, di dalamnya terdapat ruang gerak bagi umat Islam untuk terus menafsirkan ulang ajaran agama sesuai konteks sosial dan nilai kemanusiaan yang berkembang.
Fiqh Tidak Kaku
Dengan kata lain, fiqh bukanlah hukum kaku yang membatasi ruang perempuan. Melainkan ruang tafsir yang bisa terus dihidupkan untuk memperluas keadilan.
Lebih lanjut, perdebatan mengenai perempuan menjadi pemimpin di parlemen bahkan jauh lebih ringan dibanding perdebatan soal perempuan menjadi hakim.
Para fuqaha tidak secara eksplisit melarang perempuan menjadi anggota parlemen. Hanya sebagian kecil yang menolak, itupun karena logika analogi: jika perempuan tidak boleh menjadi hakim. Maka seharusnya juga tidak boleh menjadi anggota parlemen.
Namun, asumsi ini sangat tidak benar, sebab realitas telah menunjukkan bahwa perempuan mampu menjalankan tugas-tugas publik dengan cemerlang. Bahkan sering kali lebih berempati dan berintegritas dibanding sebagian laki-laki yang memegang jabatan serupa.
Kita tidak perlu jauh-jauh mencari contoh. Di Indonesia, banyak perempuan telah menempati posisi penting dalam lembaga yudikatif maupun legislatif: dari hakim agung, anggota DPR, hingga komisioner lembaga negara.
Mereka tidak hanya menjadi pengisi kursih kosong. Tetapi benar-benar mengambil peran substantif dalam memperjuangkan keadilan, kesetaraan, dan perlindungan terhadap kelompok rentan. []








































