Mubadalah.id – Isu hukum perkawinan beda agama kembali ramai dibicarakan setelah Muhamad Anugrah Firmansyah mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi.
Gugatan dengan Perkara Nomor 212/PUU-XXIII/2025 ini Anugrah ajukan karena ia merasa bahwa dirinya telah dirugikan hak konstitusionalnya.
Anugrah yang beragama Islam diketahui telah memiliki hubungan selama dua tahun dengan perempuan beragama Kristen. Ia merasa hubungan tersebut dijalani dengan saling menghormati keyakinan masing-masing dan bahkan melibatkan perkenalan antarkeluarga.
Akan tetapi, ia merasakan kenyataan pahit ketika berhadapan dengan regulasi yang berlaku di Indonesia. Keberlakuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu” membuat hubungan tersebut tidak dapat dilanjutkan ke jenjang pernikahan secara hukum.
Pasal ini secara eksplisit menutup ruang bagi perkawinan beda agama. Melalui gugatannya, Anugrah menilai bahwa aturan tersebut menutup kemungkinan baginya untuk melakukan pencatatan perkawinan beda agama.
Ia beranggapan bahwa ketentuan ini merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
Status Hukum Perkawinan Beda Agama
Uji materi perkawinan beda agama ini kemudian mengingatkan saya pada pengalaman dua tahun lalu ketika merampungkan studi sarjana yang mengangkat isu yang sama.
Dalam penelitian tersebut, saya menemukan bahwa persoalan perkawinan beda agama hingga kini masih menjadi masalah hukum yang rumit dan belum mendapatkan pengaturan yang jelas dalam sistem perundang-undangan nasional.
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, misalnya, tidak secara tegas mengatur larangan maupun kebolehan perkawinan antara dua orang yang berbeda agama.
Di dalam Pasal 2 ayat (1) hanya disebutkan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing pihak. Instrumen ini, secara implisit, membuat perkawinan beda agama sulit memenuhi syarat legal karena syarat “kesesuaian hukum agama” tidak terpenuhi.
Ketidakjelasan inilah yang memicu perbedaan penafsiran. Sebagian kalangan, termasuk MUI, mengharamkan dan menilai perkawinan antaragama tidak sah.
Sementara pihak lain berpendapat bahwa perkawinan tetap dapat dilaksanakan berdasarkan aturan salah satu agama yang dianut oleh pasangan tersebut.
Ketiadaan regulasi yang tegas ini mendorong pasangan beda agama menempuh berbagai jalan. Misalnya, seperti yang sering terjadi, mereka melakukan perkawinan dua kali sesuai agama masing-masing atau melakukan perpindahan agama sementara. Praktik-praktik ini menimbulkan pertanyaan baru terkait validitas serta legalitasnya.
Semakin Kompleks
Sejak pencabutan aturan kolonial Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) yang dulu membolehkan pencatatan perkawinan beda agama, praktik perkawinan ini menjadi semakin kompleks.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, misalnya, kembali membuka celah pencatatan melalui Pasal 35 huruf (a). Pasal ini, lewat penjelasannya, memungkinkan pencatatan perkawinan atas dasar penetapan pengadilan, meskipun masih tanpa kejelasan prosedur baku apabila penetapan tersebut tidak ada.
Kondisi ini kemudian menyebabkan ketidakpastian hukum dalam perkawinan beda agama. Hal ini tampak dari inkonsistensi antara berbagai aturan, mulai dari UU Perkawinan, KHI, UU Administrasi Kependudukan, dan yurisprudensi Mahkamah Agung.
Hingga Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 yang masing-masing memberikan arah berbeda dalam penyelesaian izin pencatatan perkawinan beda agama.
Inkonsistensi aturan tersebut secara jelas memunculkan ketidakpastian. Ketidakpastian dan ambiguitas norma dalam peraturan perundang-undangan menyebabkan perbedaan praktik di tingkat pengadilan.
Ada pengadilan yang menolak penetapan, tetapi di sisi lain ada yang mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama — seperti yang pernah terjadi di Pengadilan Negeri Surabaya dalam Penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby.
Kepastian Hukum Perkawinan Beda Agama
Dalam konteks perdebatan mengenai perkawinan beda agama, persoalan ini tidak hanya menyangkut aspek sosial dan keagamaan. Tetapi juga memperlihatkan problem mendasar dalam sistem hukum nasional.
Keadaan ini, jika kita lihat dari perspektif hukum, menunjukkan adanya kekosongan hukum (rechtsvacuum), yakni ketiadaan aturan yang memadai untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
Kekosongan tersebut semakin diperburuk oleh pertentangan antara ketentuan hukum positif dengan norma agama yang dianut mayoritas masyarakat. Akibatnya muncul kebingungan dan ketidakpastian hukum.
Ketidakpastian hukum perkawinan beda agama terjadi karena hukum yang ada belum memenuhi unsur kepastian. Sebagaimana dikemukakan Jan Michiel Otto dalam teori kepastian hukum terutama terkait kejelasan, konsistensi, dan keterpenuhan norma dalam praktik.
Ketika unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi, hukum kehilangan fungsinya sebagai sumber kepastian dan perlindungan terhadap warga negara.
Dalam konteks perkawinan beda agama, ketidaksesuaian antara norma undang-undang, regulasi administratif, dan praktik peradilan menandakan bahwa prinsip-prinsip kepastian hukum belum terjamin secara memadai.
Kenyataan ini memperlihatkan bahwa sistem hukum Indonesia saat ini belum mampu memberikan kepastian terkait perkawinan beda agama, entah membolehkan atau melarangnya secara tegas.
Ketidakjelasan aturan, pertentangan norma antar undang-undang, inkonsistensi praktik peradilan. Serta variasi implementasi di lapangan membuat warga negara tidak memperoleh perlindungan hukum yang stabil dalam menjamin hak konstitusionalnya. Inilah celah yang kemudian Anugrah tempuh untuk mengajukan pengujian undang-undang.
Harmonisasi Regulasi
Pertentangan norma antaratutan dan perundang-undangan yang ada mengindikasikan perlunya harmonisasi regulasi. Melihat perkembangan masyarakat yang begitu cepat. Sehingga pembaruan hukum menjadi konsekuensi logis agar prinsip kepastian hukum sebagai salah satu tujuan utama negara hukum dapat terwujud secara konsisten dan berkeadilan.
Harmonisasi kita perlukan untuk mencegah kekacauan interpretasi, menghilangkan konflik antaraturan. Serta memastikan seluruh instrumen hukum berjalan dalam satu kerangka yang koheren.
Tanpa harmonisasi yang memadai, peraturan perundang-undangan bukan hanya gagal memberikan kepastian hukum. Tetapi juga berpotensi menciptakan ketidakadilan baru bagi warga negara yang membutuhkan perlindungan hukum yang setara.
Dengan demikian, urgensi pembentukan regulasi komprehensif terkait perkawinan beda agama menjadi sangat penting. Aturan tersebut kita butuhkan untuk menghilangkan ambiguitas, memberikan kejelasan prosedural, serta menjamin perlindungan hak-hak warga negara.
Bahkan, kehadiran regulasi yang tegas diharapkan dapat menciptakan kepastian hukum yang adil, konsisten, dan selaras dengan dinamika masyarakat Indonesia yang plural. []










































