Jumat, 19 Desember 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    KUPI yang

    KUPI Jadi Ruang Konsolidasi Para Ulama Perempuan

    gerakan peradaban

    Peran Ulama Perempuan KUPI dalam Membangun Gerakan Peradaban

    Kemiskinan Perempuan

    KUPI Dorong Peran Ulama Perempuan Merespons Kemiskinan Struktural dan Krisis Lingkungan

    Kekerasan Seksual

    Forum Halaqah Kubra KUPI Bahas Kekerasan Seksual, KDRT, dan KBGO terhadap Perempuan

    Gender KUPI

    Julia Suryakusuma Apresiasi Peran KUPI dalam Mendorong Islam Berkeadilan Gender

    sikap ambivalen

    Julia Suryakusuma Soroti Ancaman Kekerasan Seksual dan Sikap Ambivalen terhadap Feminisme

    Feminisme

    Julia Suryakusuma: Feminisme Masih Dibutuhkan di Tengah Krisis Multidimensi Indonesia

    Krisis

    Di Halaqah KUPI, GKR Hemas Tekankan Peran Ulama Perempuan Hadapi Krisis Bangsa

    KUPI adalah

    GKR Hemas: KUPI Adalah Gerakan Peradaban, Bukan Sekadar Forum Keilmuan

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Korban Bencana

    Ketika Korban Bencana Terpaksa Menjadi Pahlawan

    Kepemimpinan Perempuan

    Apakah Islam Mengenal Kepemimpinan Ulama Perempuan?

    Gerakan Ayah Ambil Rapor

    Pro Kontra: Gerakan Ayah Ambil Rapor, Solusi atau Retorika?

    Pesantren Miftahul Falah Awihideung

    Pesantren Miftahul Falah Awihideung Kembangkan Pendidikan Ekologi dan Kemandirian Pangan

    Keulamaan Perempuan yang

    Keulamaan Perempuan Telah Hadir Sejak Awal Abad ke-20

    Pengesahan KUHAP

    Pengesahan KUHAP Tanda Negara Tidak Berpihak pada Penyandang Disabilitas

    Kepemimpinan Perempuan

    Kepemimpinan Perempuan Mengakar dalam Sejarah Indonesia

    Fikih Disabilitas

    Fikih Disabilitas: Kajian Wudu bagi Orang Tanpa Tangan atau Kaki

    Poligini

    Ketika Isu Poligini Masih Sulit Disuarakan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Mimi Monalisa

    Aku, Mama, dan Mimi Monalisa

    Romantika Asmara

    Romantika Asmara dalam Al-Qur’an: Jalan Hidup dan Menjaga Fitrah

    Binatang

    Animal Stories From The Qur’an: Menyelami Bagaimana Al-Qur’an Merayakan Biodiversitas Binatang

    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    KUPI yang

    KUPI Jadi Ruang Konsolidasi Para Ulama Perempuan

    gerakan peradaban

    Peran Ulama Perempuan KUPI dalam Membangun Gerakan Peradaban

    Kemiskinan Perempuan

    KUPI Dorong Peran Ulama Perempuan Merespons Kemiskinan Struktural dan Krisis Lingkungan

    Kekerasan Seksual

    Forum Halaqah Kubra KUPI Bahas Kekerasan Seksual, KDRT, dan KBGO terhadap Perempuan

    Gender KUPI

    Julia Suryakusuma Apresiasi Peran KUPI dalam Mendorong Islam Berkeadilan Gender

    sikap ambivalen

    Julia Suryakusuma Soroti Ancaman Kekerasan Seksual dan Sikap Ambivalen terhadap Feminisme

    Feminisme

    Julia Suryakusuma: Feminisme Masih Dibutuhkan di Tengah Krisis Multidimensi Indonesia

    Krisis

    Di Halaqah KUPI, GKR Hemas Tekankan Peran Ulama Perempuan Hadapi Krisis Bangsa

    KUPI adalah

    GKR Hemas: KUPI Adalah Gerakan Peradaban, Bukan Sekadar Forum Keilmuan

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Korban Bencana

    Ketika Korban Bencana Terpaksa Menjadi Pahlawan

    Kepemimpinan Perempuan

    Apakah Islam Mengenal Kepemimpinan Ulama Perempuan?

    Gerakan Ayah Ambil Rapor

    Pro Kontra: Gerakan Ayah Ambil Rapor, Solusi atau Retorika?

    Pesantren Miftahul Falah Awihideung

    Pesantren Miftahul Falah Awihideung Kembangkan Pendidikan Ekologi dan Kemandirian Pangan

    Keulamaan Perempuan yang

    Keulamaan Perempuan Telah Hadir Sejak Awal Abad ke-20

    Pengesahan KUHAP

    Pengesahan KUHAP Tanda Negara Tidak Berpihak pada Penyandang Disabilitas

    Kepemimpinan Perempuan

    Kepemimpinan Perempuan Mengakar dalam Sejarah Indonesia

    Fikih Disabilitas

    Fikih Disabilitas: Kajian Wudu bagi Orang Tanpa Tangan atau Kaki

    Poligini

    Ketika Isu Poligini Masih Sulit Disuarakan

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Mimi Monalisa

    Aku, Mama, dan Mimi Monalisa

    Romantika Asmara

    Romantika Asmara dalam Al-Qur’an: Jalan Hidup dan Menjaga Fitrah

    Binatang

    Animal Stories From The Qur’an: Menyelami Bagaimana Al-Qur’an Merayakan Biodiversitas Binatang

    Ujung Sajadah

    Tangis di Ujung Sajadah

    Surga

    Menyingkap Lemahnya Hadis-hadis Seksualitas tentang Kenikmatan Surga

    Surga

    Surga dalam Logika Mubadalah

    Kenikmatan Surga

    Kenikmatan Surga adalah Azwāj Muṭahharah

    Surga Perempuan

    Di mana Tempat Perempuan Ketika di Surga?

    Surga

    Ketika Surga Direduksi Jadi Ruang Syahwat Laki-Laki

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Ketika Korban Bencana Terpaksa Menjadi Pahlawan

Ketidakbecusan pemerintah mengatasi akar masalah banjir di berbagai titik memaksa warga untuk meninggalkan rumah-rumah mereka.

Khairul Anwar Khairul Anwar
19 Desember 2025
in Publik
0
Korban Bencana
842
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bencana longsor dan banjir bandang Sumatra masih meninggalkan kesedihan yang begitu mendalam. Di media sosial belakangan ini, muncul kabar masyarakat korban bencana terpaksa memanfaatkan kayu gelondongan yang terbawa arus untuk membangun rumah darurat dan jembatan sementara. Mereka gotong royong dalam memproses pengolahan kayu gelondongan hasil pembalakan liar tersebut.

Dalam sosiologi lingkungan, fenomena ini dijelaskan oleh teori “resiliensi komunitas” dari pakar seperti C.S. Holling, di mana masyarakat pascabencana beradaptasi dengan sumber daya lokal untuk membangun ketahanan sosial-ekologis. Pendekatan ini juga selaras dengan teori “gotong royong” Clifford Geertz dalam antropologi Indonesia, yang menekankan solidaritas desa untuk rekonstruksi mandiri.

Pertanyaannya kemudian, dimana peran pemerintah? Usaha apa yang akan pemerintah lakukan untuk membangun kembali rumah-rumah warga dan infrastruktur yang hancur? Langkah apa yang akan pemerintah lakukan untuk mencegah terjadinya banjir bandang dan tanah longsor di masa depan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut beserta pertanyaan lain seringkali menggelayuti pikiran saya.

Bayangkan, korban bencana yang  meninggal sudah di angka seribu lebih, ratusan orang hilang, ribuan lainnya luka-luka. Banyak rumah hancur bahkan hilang, ada banyak desa yang tertimbun lumpur setebal 1-2 meter. Dan, banyak akses jalan rusak parah, hingga orang-orang yang kehilangan anak-anaknya, orang tuanya, dan lain-lain. Untuk membangun kembali kehidupan yang normal, mereka tak bisa berjuang sendiri.

Di tengah ketidakpastian bantuan berkelanjutan dari pemerintah, masyarakat pun berinisiatif menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi secara mandiri. Fenomena warga yang secara mandiri mengolah kayu gelondongan menunjukkan kreativitas luar biasa dalam menghadapi keterbatasan bantuan resmi, di mana gotong royong menjadi pondasi utama untuk bertahan hidup.

Insiatif Swadaya

Fenomena ini juga mencerminkan keputusasaan warga di tengah keterlambatan bantuan pemerintah, di mana mereka terpaksa mencari solusi sendiri pasca-rumah dan infrastruktur hancur lebur. Beban ini semakin memperberat korban bencana yang sudah kehilangan segalanya.

Alih-alih meringankan, inisiatif swadaya ini justru membebani warga yang harus bekerja keras mengangkut, mengolah, dan merakit kayu di tengah lumpur dan keterbatasan alat. Tanpa bantuan teknis atau logistik dari pemerintah, proses ini berisiko tidak aman. Seperti jembatan darurat yang rawan roboh atau rumah sementara yang tak tahan cuaca. Hal ini menunjukkan kegagapan respons bencana, memaksa korban menjadi “insinyur” dadakan.

Soal solusi mandiri dari masyarakat, saya jadi teringat dengan fenomena yang terjadi di kampung halaman saya. Jika Anda berkunjung ke daerah di Pesisir Kota dan Kabupaten Pekalongan, Anda akan menemukan banyak rumah yang sudah ditinggal penghuninya karena rumah sudah terendam air. Anda juga akan melihat banyak rumah yang lantainya sudah warga tinggikan.

Fenomena Meninggikan Lantai Rumah

Fenomena meninggikan lantai rumah (menguruk rumah) menjadi pemandangan biasa di daerah rawan banjir seperti Jakarta, Pekalongan, Semarang, atau pesisir Jawa. Keluarga saya termasuk yang mengikuti tren ini. Sebab, di mata masyarakat hal semacam ini seperti sudah dinormalisasikan. Masyarakat seakan pasrah atas terjadinya banjir tahunan.

Tiap tahun, banyak rumah warga akan terendam banjir saat musim hujan. Banjir disebabkan oleh saluran air atau drainase yang sudah tidak berfungsi lagi, di samping penurunan tanah yang terjadi tiap tahun. Warga pun menempuh solusi jangka pendek, yakni meninggikan lantai rumah. Sementara, pemerintah hanya bisa meninggikan jalan.

Di wilayah lain, saya yakin ribuan keluarga juga memilih meninggikan lantai rumah mereka hingga setinggi 30 cm hingga 1 meter, bahkan lebih, demi menghindari air banjir yang datang tanpa permisi. Baik banjir yang diakibatkan sistem drainase yang buruk atau banjir rob yang sering terjadi di wilayah pesisir. Pertanyaan pun muncul, mengapa rakyat harus berjuang sendiri sementara pemerintah gagal mengatasi akar masalah banjir?

Fenomena ini bukan hal baru. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2024 saja, lebih dari 1,2 juta unit rumah di Indonesia terdampak banjir, dengan kerugian ekonomi mencapai triliunan rupiah. Di Jakarta Utara, misalnya, warga Kampung Marunda sudah biasa meninggikan rumah sejak 2010-an.

Mereka membangun sendiri, tanpa bantuan pemerintah, menggunakan besi beton dan cor semen sederhana. Biayanya? Antaranya Rp 40-70 juta per rumah, setara dengan biaya hidup satu tahun bagi keluarga kelas bawah.

Dampak Deforestasi dan Banjir yang Berulang

Normalisasi ini ironis. Masyarakat, yang seharusnya menjadi korban, malah terpaksa jadi “pahlawan” solusi sendiri. Biaya untuk meninggikan rumah seharusnya bisa terpakai untuk kebutuhan lain. Sayangnya, pemerintah kita tidak bisa mengatasi akar masalah banjir.  Pemerintah kerap menyalahkan cuaca ekstrem, tapi fakta lapangan menunjukkan ketidakbecusan kronis.

Tidak perlu jauh-jauh untuk melihat fakta ke belakang. Yang baru terjadi saja, yakni banjir bandang yang menghantam sebagian Pulau Sumatra, akibat kesalahan pemerintah terutama terkait tata kelola lingkungan dan izin usaha, lemahnya pengawasan, hingga lemahnya penegakan hukum. Hal ini memicu terjadinya deforestasi.

Singkatnya, bencana yang “hanya mencekam di medsos” menurut Kepala BNPB ini merupakan dampak dari ‘bersatunya’ kepentingan bisnis dan politik dalam penguasaan sumber daya alam.

Di banyak kasus, alih-alih menangani penyebab utama seperti pembangunan liar di bantaran sungai, konversi lahan resapan air menjadi permukiman dan gedung-gedung bertingkat, serta pengelolaan sampah yang buruk, respons pemerintah lebih sering terfokus pada solusi reaktif seperti pompa air darurat dan bantuan pasca-bencana.

Akibatnya, banjir berulang setiap musim hujan, merugikan ekonomi warga dan mengancam nyawa ribuan warga, sementara rencana jangka panjang seperti masterplan penanggulangan banjir kerap terhambat korupsi, birokrasi lambat, dan kurangnya koordinasi antar-daerah.

Lebih dalam lagi, pemerintah gagal menangani isu sosial-ekonomi yang memperburuk banjir, seperti tingginya produksi sampah masyarakat dan praktik illegal logging yang dilakukan oknum perusahaan.

Selain itu, tidak adanya program rehabilitasi hutan berbasis masyarakat, penegakan hukum ketat terhadap pelanggar tata ruang, serta integrasi perubahan iklim dalam perencanaan nasional membuat banjir berulang menjadi bom waktu. Pada akhirnya, ini bukan sekadar kelalaian teknis, melainkan kegagalan struktural negara dalam memprioritaskan kepentingan publik di atas oligarki properti dan industri ekstraktif.

Beban Ekonomi yang Tak Ringan

Ketidakbecusan pemerintah mengatasi akar masalah banjir di berbagai titik memaksa warga untuk meninggalkan rumah-rumah mereka. Meski demikian, ada juga yang masih memilih bertahan tinggal di desa dengan cara meninggikan lantai rumah.

Meninggikan lantai rumah tampak solutif, tapi bayarannya mahal. Biaya utama datang dari material: semen, pasir, besi, dan tenaga tukang. Total pengeluaran bisa berpuluh-puluh juta tergantung kebutuhan. Bagi warga miskin, ini berarti mereka harus gadai sertifikat rumah atau tambah jam kerja. Survei Lembaga Penelitian Ekonomi (LPE) UI menemukan, 60% keluarga rawan banjir alokasikan 40% pendapatan untuk adaptasi ini, memicu utang jangka panjang.

Warga miskin yang tinggal di kawasan rawan banjir sering kali menghadapi beban ekonomi berat akibat genangan air yang datang berulang kali. Setiap musim hujan, mereka kehilangan harta benda seperti perabot rumah tangga, stok makanan, dan alat kerja sederhana yang menjadi sumber penghidupan sehari-hari, sehingga biaya penggantian mencapai puluhan hingga ratusan ribu rupiah yang sulit dipenuhi dari pendapatan harian minim.

Kerugian pendapatan semakin parah karena banjir menghentikan aktivitas usaha kecil seperti jualan keliling atau buruh harian, sementara biaya kesehatan melonjak akibat penyakit seperti diare dan infeksi kulit yang menyerang anak-anak. Tanpa tabungan atau akses kredit murah, mereka terpaksa berutang ke rentenir dengan bunga tinggi, yang memperburuk siklus kemiskinan dan menghambat upaya peningkatan kesejahteraan jangka panjang.

Kegagalan Sistemik

Lebih parah lagi, di desa-desa daerah pesisir jawa, sawah subur yang jadi andalan petani berubah jadi lautan lumpur tak berharga, dan tambak udang milik nelayan hancur lebur. Kondisi ini merenggut pekerjaan musiman yang selama ini jadi tulang punggung ekonomi rumah tangga. Akibatnya, tingkat pendapatan menurun, anak-anak sulit bayar sekolah, dan migrasi ke kota besar kian masif, meninggalkan desa-desa yang semakin sepi dan rapuh.

Fenomena ini bukti kegagalan sistemik. Banjir bukan takdir, tapi akibat konversi lahan hijau jadi beton, hilangnya resapan air, penggundulan hutan, pembangunan liar tanpa perencanaan drainase memadai, mengeruk sumber daya alam berlebihan, korupsi dalam proyek penanganan banjir, dan lain-lain. Pertanyaan dasar pun muncul, mau sampai kapan kita menguruk rumah?

Fenomena meninggikan lantai rumah populer karena kebutuhan mendesak, tapi jangan sampai jadi normalisasi ketidakberesan pemerintah. Rakyat sudah cukup bayar pajak, saatnya pejabat kerja nyata. Jika kita biarkan, bukan lantai rumah saja yang tinggi, tapi juga tumpukan keluhan dan utang. []

Tags: Banjir RobBencana BanjirBencana SumatraEtika LingkunganKebijakan PemerintahKorban Bencana
Khairul Anwar

Khairul Anwar

Dosen, penulis, dan aktivis media tinggal di Pekalongan. Saat ini aktif di ISNU, LTNNU Kab. Pekalongan, GP Ansor, Gusdurian serta kontributor NU Online Jateng. Bisa diajak ngopi via ig @anwarkhairul17

Terkait Posts

Pengesahan KUHAP
Publik

Pengesahan KUHAP Tanda Negara Tidak Berpihak pada Penyandang Disabilitas

19 Desember 2025
Trauma Healing
Keluarga

Kenapa Anak-anak Korban Bencana di Sumatra Butuh Trauma Healing Secepatnya?

18 Desember 2025
Donasi Pembalut
Personal

Donasi Pembalut Tidak Penting? Ini Bukti Kesehatan Reproduksi Masih Diremehkan

17 Desember 2025
Bencana Sumatra
Publik

Bencana Sumatra, Alarm Keras untuk Implementasi Ekoteologi

15 Desember 2025
Kerusakan Ekologi
Kolom

Kerusakan Ekologi dan Tanggung Jawab Agama: Refleksi Tadarus Subuh ke-173

9 Desember 2025
Darurat Bencana Alam
Publik

Indonesia Darurat Kebijakan, Bukan Sekedar Darurat Bencana Alam

3 Desember 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Pesantren Miftahul Falah Awihideung

    Pesantren Miftahul Falah Awihideung Kembangkan Pendidikan Ekologi dan Kemandirian Pangan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kepemimpinan Perempuan Mengakar dalam Sejarah Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pro Kontra: Gerakan Ayah Ambil Rapor, Solusi atau Retorika?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Prioritas Disabilitas dalam Zakat: Pandangan Fikih Progresif Menjamin Kesejahteraan Kaum Difabel

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keulamaan Perempuan Telah Hadir Sejak Awal Abad ke-20

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ketika Korban Bencana Terpaksa Menjadi Pahlawan
  • Apakah Islam Mengenal Kepemimpinan Ulama Perempuan?
  • Pro Kontra: Gerakan Ayah Ambil Rapor, Solusi atau Retorika?
  • Pesantren Miftahul Falah Awihideung Kembangkan Pendidikan Ekologi dan Kemandirian Pangan
  • Prioritas Disabilitas dalam Zakat: Pandangan Fikih Progresif Menjamin Kesejahteraan Kaum Difabel

Komentar Terbaru

  • Refleksi Hari Pahlawan: Tiga Rahim Penyangga Dunia pada Menolak Gelar Pahlawan: Catatan Hijroatul Maghfiroh atas Dosa Ekologis Soeharto
  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID