Mubadalah.id – Dalam situasi bencana, fokus bantuan cenderung tertuju pada kebutuhan mendasar pangan dan sandang. Pakaian, selimut, sembako, mie instan, dan air mineral. Padahal ada kebutuhan mendesak yang kerap terlupakan dan terpinggirkan.
Akses kebutuhan khas perempuan itu antara lain berupa pembalut wanita yang aman dan layak bagi para penyintas. Pengabaian ini bukan hanya bicara soal ketidaknyamanan, melainkan melanggengkan ketidakadilan biologis yang membebani perempuan secara tidak proporsional, bahkan dalam kondisi bencana.
Pada saat kondisi mata rantai pasok terputus, fasilitas kesehatan hancur, dan ruang privasi lenyap. Perempuan dan remaja putri yang mengalami menstruasi menghadapi dilema multidimensi. Mereka harus mengelola kebutuhan biologisnya dengan bahan seadanya. Mulai dari sobekan kain, kertas koran, tissue, hingga daun yang berisiko tinggi menyebabkan infeksi saluran reproduksi.
Padahal, menstruasi adalah proses biologis yang tidak dapat kita hentikan, sekalipun oleh situasi bencana. Ironisnya, dalam daftar logistik darurat, kebutuhan ini seringkali kita anggap sekunder, bahkan terlupakan.
Fenomena ini nyata terjadi dalam berbagai bencana di Indonesia. Termasuk serangkaian bencana hidrometeorologi di Sumatra dan Aceh sejak akhir November 2025. Tulisan ini terilhami karena terenyuh terkait kisah yang tersaji dalam di laman Rakyat Merdeka dengan tajuk; Kak, apa ada bantuan pembalut?
Beban Ganda Perempuan Penyintas: Data dan Realita di Aceh
Data BNPB mencatat lebih dari 111 ribu pengungsi yang terdampak, 58 ribu di antaranya adalah Perempuan. Jumlah ini masih belum dengan pengungsi yang belum atau tidak tercatat.
Survei cepat yang lembaga mitra lakukan menunjukkan bahwa lebih dari 85% perempuan penyintas kesulitan mengakses pembalut yang layak pada minggu pertama bencana.
Kebutuhan pembalut tidak hanya bagi survivor yang mengalami menstruasi bulanan, tetapi juga ibu melahirkan. Mereka bertahan dengan bahan pembalut seadanya yang terpakai ulang tanpa disterilkan. Pastinya meningkatkan risiko infeksi.
Beban ini berlipat ganda karena dalam kondisi biologis demikian masih harus menjadi caregiver utama, mengelola logistik keluarga yang terbatas di tengah genangan air atau lokasi pengungsian yang padat.
Perspektif Keadilan Biologis dalam Teori Keadilan Hakiki Perempuan dan Dilema Penanggulangan Bencana
Teori Keadilan Hakiki Perempuan (KHP) yang Nur Rofiah gagas menawarkan lensa kritis untuk memahami sebuah keadilan. Rofiah menekankan pentingnya keadilan biologis yaitu pengakuan dan pemenuhan atas konsekuensi biologis yang hanya perempuan alami.
Ia menyebutnya dengan pengalaman khas, seperti menstruasi, hubungan seksual, hamil, melahirkan, dan menyusui, sebagai bagian dari hak asasi. Dalam konteks bencana, pengabaian terhadap kebutuhan pembalut wanita adalah bentuk nyata dari ketidakadilan biologis.
Di sisi lain muncul dilema kompleks yang harus kita pikirkan. Teori penanggulangan bencana banjir dan tanah longsor menekankan pengelolaan sampah untuk mencegah penyumbatan saluran air dan penyakit, juga konversi air bersih. Sampah nonbiodegradable (tidak dapat terurai) seperti pembalut sekali pakai, harus kita minimalkan.
Kondisi ini menciptakan situasi double bind bagi perempuan penyintas, menggunakan pembalut sekali pakai berarti menambah volume sampah yang memperparah masalah sanitasi di lingkungan terdampak. Sementara menggunakan pembalut kain (menstrual pad) membutuhkan air bersih dan ruang privat untuk mencucinya, sumber daya yang justru langka pascabanjir dan tanah longsor.
Tidak ada opsi yang benar benar layak jika tidak didukung oleh pasokan dan infrastruktur yang direncanakan secara khusus. Sistem penanganan bencana yang androsentris gagal melihat dan memecahkan dilema spesifik gender.
Regulasi dan Celah Implementasi
Secara normatif, Aceh memiliki Qanun No. 5 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Bencana yang mengamanatkan perlindungan bagi kelompok rentan, termasuk perempuan. Namun, seperti banyak peraturan di tingkat nasional, implementasinya sering tersendat.
Laporan dari lapangan menunjukkan bahwa paket bantuan awal masih didominasi sembako dan pakaian. Paket khusus perempuan, jika ada, baru datang belakangan dengan jumlah yang tidak memadai. Koordinasi untuk memasukkan produk kesehatan perempuan termasuk pembalut wanita dan pil KB dalam logistik inti yang didistribusikan BPBD, TNI, POLRI dan bahkan relawan terlihat masih lemah dan diabaikan.
Item itu akan datang setelah muncul tekanan dari organisasi perempuan lokal maupun nasional. Ketidaktelitian selanjutnya yang tampak, bantuan yang datang seringkali hanya berupa pembalut sekali pakai tanpa pertimbangan masalah sampah, tanpa disertai solusi alternatif atau edukasi.
Rekomendasi Penanganan Efektif Efisien
Dalam situasi krisis, agar penanganan masalah krusial menjadi efektif, efisien, dan kontekstual, kita memerlukan pendekatan solutif dan spesifik gender. Pertama, Integrasi analisis risiko spesifik. Dalam perencanaan kontinjensi (kondisi penuh ketidakpastian) daerah terdampak harus tersedia beberapa opsi produk menstruasi (sekali pakai, kain (menspad), menstrual cup) dengan analisis kelebihan dan kekurangan masing masing.
Menstrual cup yang dapat digunakan 2 hingga 10 tahun dengan sterilisasi air mendidih bisa menjadi solusi jangka menengah yang lebih ramah lingkungan dan efisien dalam kondisi air terbatas, tetapi memerlukan pelatihan, kewaspadaan dan keberanian dalam aplikasinya.
Kedua, paket solusi pelengkap. Bantuan tidak hanya berupa produk, tetapi paket kesehatan menstruasi darurat harus mencakup: (a) Opsi produk yang sesuai (misal menstrual cup disertai pensteril portable atau jika pembalut sekali pakai harus yang berjenis high absorbsi (daya serap tinggi) untuk mengurangi volume), (b) Kantong plastik khusus sampah nonbiodegradable yang tertutup rapat, (c) Sabun antiseptik no rinse karena kandungan deterjen rendah busa dan residu mudah menguap, atau pembersih berupa tisu basah, (d) Pakaian dalam pengganti.
Ketiga, edukasi dan partisipasi. Melibatkan perempuan penyintas dan kader kesehatan dalam menentukan opsi produk paling feasible (realistis dipakai) dan sosialisasi penggunaannya. Mendirikan layanan kesehatan menstruasi dan nifas di pengungsian yang menyediakan produk, ruang privat, konseling, dan pengelolaan sampah khusus.
Kelima, koordinasi teknis dengan dinas LH dan PUPR. Penanganan sampah pembalut harus menjadi bagian dari rencana sanitasi darurat, misalnya penyediakan insinerator mobile (pembakar limbah portable) atau kerjasama dengan pengangkut sampah khusus.
Kesimpulan
Bencana di Aceh dan Sumatra Utara mempertegas bahwa menjamin akses pengelolaan menstruasi yang aman dan layak adalah ujian nyata bagi komitmen keadilan biologis. Tantangannya bukan lagi sekadar menyediakan pembalut, tetapi menyediakan sistem penunjang yang cerdas, kontekstual, dan memecahkan dilema spesifik yang dihadapi perempuan di setiap jenis bencana.
Kelambanan dan pendekatan seragam dalam bantuan hanya akan memperpanjang penderitaan. Mengintegrasikan analisis gender yang memahami tubuh, beban, dan dilema perempuan ke dalam kebijakan penanggulangan bencana, dapat merancang respons yang tidak hanya efektif dan efisien, tetapi juga berkeadilan dan memuliakan martabat manusia di saat kondisi mereka paling rentan. []











































