Mubadalah.Id – Sejujurnya, saat menulis ini ada sedikit perasaan sedih dan haru, meskipun tidak rela euforia itu berlalu. Tapi, indahnya kenangan sebaiknya dibagikan bukan? Sebuah kisah tentang perkenalan dengan KUPI, Halaqah Kubra, dan Jogja
Seperti mendapat hadiah di penghujung tahun, KUPI memberi double gift kepada saya, mulai dari terpilih mendapat kesempatan mengikuti beasiswa media kreator hingga kesempatan menjadi peserta Halaqah Kubra. Dua tiket berharga tersebut berhasil menghapus asumsi pribadi bahwa KUPI adalah sebuah ruang untuk ulama perempuan papan atas dengan sederet kiprah yang mereka perjuangkan. Faktanya, KUPI adalah sebuah ruang yang merangkul semua golongan.
Sebagai manusia yang pernah mengenyam pendidikan di Pesantren, nama KUPI sering berlalu lalang memenuhi algoritma sosial media. Kesan pertama, gelar ‘Ulama Perempuan’ sepertinya hanya layak disematkan bagi beliau-beliau pemilik pesantren atau perempuan salehah yang sering berdakwah dari mimbar ke mimbar.
Terlibat Media Kreator KUPI, Menulis 21 Ulama Perempuan dari Penjuru Negeri
Pemikiran ini yang menjadi pemantik saya saat mengetahui KUPI membuka beasiswa kreator menulis. Rasanya tidak pantas mendeskripsikan sesuatu tanpan mengenal lebih dalam. Pengumuman peserta terpilih sempat tertunda karena tingginya antusias pendaftar. Lalu, tepat dini hari hal yang ditunggu-tunggu akhirnya punya titik temu, nama saya tertulis dalam deretan 21 peserta lolos dari 757 pendaftar.
Jika mengeksperesikan dengan bahasa kekinian mungkin bisa dengan ‘sat set, dar der dor’. Setelah pengumungan, proses pelatihan online adalah tahapan berikutnya. Salah satu yang paling berkesan ialah, kami dituntun langsung oleh Mas Andreas Harsono, seorang pakar tulisan feature. Selama pelatihan, saya hanya warga yang menyimak dan mengangan-angan penjelasan yang menjadi pengetahuan baru bagi.
Pada pertemuan online berikutnya, seperti mini ceremony penyambutan di keluarga KUPI, mbak Pera Sopariyanti menjadi tuan rumah memperkenalkan KUPI dan sistem pengetahuannya kepada para peserta. Ia memperkenalkan pondasi penopang dan setiap sudut ruangan di dalam sebuah bangunan bernama KUPI. Setelah mengenalnya, rasanya sulit untuk tidak jatuh cinta kepada rumah baru itu.
Lalu tahapan berikutnya, masing-masing kami mendapat nama narasumber yang menjadi objek profiling dengan bekal pelatihan. Lalu kami diberangkatkan ke Omah Petruk, Jogja, ibarat sebuah ruang karantina. Pada paragraf ini rasanya tidak perlu menceritakan terlalu panjang lebar, karena beberapa teman saya sudah membagi kisahnya. Singkat saja, hasil dari media kreator KUPI ialah lahir anak kecil berkulit putih kekuningan dan kami beri nama “Menjadi Rembulan di Rumah Sendiri” yang sudah soft launching saat Halaqah Kubra.
Halaqah Kubra KUPI, Ruang Kolaborasi Lintas Generasi
KUPI tidak berhenti mengirim hadiah akhir tahun kepada saya. Pada hari Kamis, Mbak Rozikoh sebagai panitia Halaqah KUPI menghubungi saya untuk terlibat di Halaqah Kubra, lagi-lagi di Yogyakarta. Tanpa ba bi bu, saya langsung memesan tiket kereta dan berangkat di malam itu juga. Benar orang bilang, Jogja selalu istimewa dan saat ini tentu akan semakin istemewa, kenangan manis terbungkus rapih di sana.
Setiba di Jogja, jujur saja, ada rasa sedikit insecure. Bagaimana tidak? Beberapa wajah tokoh famous duduk di deretan bangku peserta, tapi itulah indahnya KUPI, merangkul semua golongan. Dialog Publik di hari pertama menjadi pembuka Halaqah Kubra KUPI yang berjalan selama tiga hari.
Di hari kedua, saya tergabung dalam ruang kelas Ekosistem Gerakan. Hal yang mengagetkan, ternyata saya berada di forum yang sama dengan Prof. Umi Sumbulah, guru kami saat program beasiswa bahasa di Malang. Menariknya, bagai menghapus jarak usia dengan segala pencapaian dengan tetap berpegang prinsip ‘yang muda menghormati, yang tua mengasihi’, kami menciptakan diskusi dengan antusias dan sangat hidup.
Di ruang ini, membahas tentang Anatomi Gerakan KUPI, yakni membedah fungsi-fungsi fital untuk memahami kesehatan kami. Salah satunya yakni kami harus memahami cara kerja tubuh gerakan KUPI. Pada refleksi ini bertujuan memetakan fungsi-fungsi kunci KUPI ke dalam sebuah anatomi.
Karena antusias dan minat peserta diskusi yang tinggi, rasanya tidak cukup seharian kami di ruangan ini, semua orang ingin menyampaikan ide, rasa penasaran, dan pengalaman mereka. Hari kedua pun berlalu dengan waaah dengan membawa sekoper pengetahuan baru tentang KUPI.
KUPI dan Jogja akan Selalu Istimewa
Di hari ke-tiga Halaqah Kubra KUPI, saya pribadi masuk di ruangan orang muda. Orang muda di sini bukan sembarang orang muda (hahaha), beberapa dari mereka adalah teman, kolega, dan sosok yang saya kenal keilmuannya. Kami menerima beberapa tema yang menjadi pembahasan pada ruangan ini, untuk detailnya bisa dibaca di tulisan teman kami, mbak Suci Wulandari berjudul “KUPI adalah Kita: Tentang Keulamaan sebagai Nilai“.
Lalu tibalah di penghujung acara Halaqah Kubra. Sepertinya bumi Jogja turut bersedih atas berakhirnya rangkaian pertemuan ini, sebab sore itu hujan deras mengguyur kota istimewa. Rasanya enggan sekali pergi dari sini. Tapi waktu terus berjalan bukan? saya harus mengemas kenangan di Halaqah dan membawanya kembali ke tanah rantau, ibu kota.
Sebuah penutup, andai jaringan KUPI tersebar ke suluruh penjuru negeri, rasanya bisa mengobati luka penduduk negeri ini. []


















































