Mubadalah.id – Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan satu tahun penjara terhadap Laras Faizati. Tuntutan tersebut bukan sekadar proses hukum namun penanda serius bagaimana negara memandang kritik warga, khususnya kritik yang disuarakan oleh seorang perempuan. Laras Faizati seusai sidang Ia mengakui bahwa ini sangat tidak adil, tetapi tetap percaya bahwa masih ada ruang keadilan dalam dua sidang yang tersisa sidang pledoi dan sidang vonis.
Di sisi lain, Laras juga menyampaikan kesedihan dan kekecewaannya terhadap kepolisian. Kekecewaan ini tidak lahir dari sikap anti-hukum, melainkan dari pengalaman nyata seorang warga negara yang justru merasa terlukai oleh sistem yang seharusnya melindunginya.
Dalam konteks ini, perkara Laras Faizati tidak dapat kita persempit sebagai kasus individu, melainkan harus kita baca sebagai potret relasi kuasa antara negara dan warga, antara aparat dan suara kritis, antara hukum dan keadilan sosial.
Pandangan Rocky Gerung sebagai saksi ahli yang hadir pada sidang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli memberi kedalaman makna dalam membaca perkara ini. Sebagai saksi ahli, Rocky menegaskan bahwa kritik bukanlah kriminal.
Etika Kepedulian
Lebih jauh, ia mengajak kita melihat kritik Laras Faizati dalam kerangka ethics of care atau etika kepedulian. Sebuah cara berpikir yang kerap lahir dari pengalaman perempuan. Kritik perempuan, menurut pandangan ini, tidak bisa terukur dengan standar maskulin, rasional, dan terpisah dari emosi. Justru emosi itulah yang berbicara tentang keadilan yang konkret, keadilan yang menyentuh pengalaman nyata kelompok rentan.
Di titik inilah penting memahami standpoint perempuan dalam memperjuangkan keadilan. Perempuan berbeda dengan laki-laki dalam upaya fight to be justice. Perbedaan ini bukan soal kemampuan intelektual, melainkan soal posisi sosial, pengalaman historis, dan beban psikologis yang melekat pada tubuh perempuan.
Dalam banyak kasus, pengadilan memang mengakui bahwa subjek hukum perempuan dan laki-laki sama-sama adalah person in law. Namun, kesetaraan formal ini seringkali menutup mata terhadap fakta sosiologis, historis, dan psikologis yang membedakan cara perempuan dan laki-laki mengalami serta mengekspresikan ketidakadilan.
Ketika seorang perempuan gagal mengekspresikan pencarian keadilan dengan bahasa hukum yang maskulin, kegagalan itu seringkali terbebankan kembali kepada dirinya. Perempuan dianggap “tidak mampu”, “emosional”, bahkan dalam praktik ekstrem, suaranya dipathologisasi ( emosi) seolah-olah kritik yang lahir dari kepedulian harus teruji melalui kacamata kejiwaan.
Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah perempuan sedang dipaksa mengejar keadilan dengan bahasa yang bukan bahasanya sendiri. Bahasa keadilan yang dominan adalah bahasa laki- laki bahasa ethics of rights, sementara perempuan lebih dekat dengan ethics of care. Etika yang berangkat dari relasi, empati, dan pengalaman tubuh perempuan.
Memahami Keadilan Perempuan
Jika laki-laki kita biasakan berpikir dengan kerangka hak, aturan, dan abstraksi hukum, perempuan justru berpikir melalui pengalaman konkret penderitaan, relasi sosial, dan rasa tanggung jawab moral terhadap sesama.
Perbedaan ini bukan kelemahan, melainkan kekayaan pengalaman cara pandang dalam memahami keadilan perempuan. Namun sayangnya, sistem hukum seringkali hanya mengakui satu cara berbicara tentang keadilan cara yang maskulin, sementara cara perempuan terpinggirkan, diremehkan, bahkan dikriminalisasi.
Pengalaman Laras Faizati saat melihat video Almarhum Afan meninggal dunia terlindas barakuda menjadi contoh nyata bagaimana ethics of care bekerja. Bagi Laras, video tersebut bukan sekadar bukti visual, melainkan pengalaman afektif yang mengguncang tubuh dan nurani.
Ada penderitaan yang ikut dirasakan, ada ketidakadilan yang tampak telanjang, ada kemarahan moral yang tidak bisa dibungkam. Pengalaman perempuan dalam menyaksikan kekerasan selalu melibatkan tubuh dan empati, bukan sekadar penilaian rasional yang berjarak.
Karena itulah, ketika Laras menulis kritik dengan bahasa yang ia pilih, kritik tersebut lahir dari kepedulian yang mendalam. Dalam kerangka ethics of care, Laras tidak hanya memperjuangkan hak Almarhum Afan sebagai korban, tetapi juga hak rasa aman bagi generasi selanjutnya.
Ia berbicara tentang masa depan yang seharusnya bebas dari kekerasan dan kesewenang-wenangan. Kepedulian semacam ini justru merupakan fondasi moral bagi masyarakat yang adil.
Kritik Bukan Kriminal
Mengkriminalisasi kritik Laras Faizati berarti menolak standpoint perempuan sebagai sumber pengetahuan moral dan keadilan. Lebih jauh, hal itu menunjukkan kegagalan negara memahami bahwa kritik adalah bagian dari demokrasi, bukan ancaman bagi ketertiban. Kritik adalah mekanisme koreksi, bukan kejahatan. Ketika kritik dipidanakan, yang terbungkam bukan hanya satu suara perempuan, tetapi juga nurani publik.
Keprihatinan Laras Faizati sangat sah secara moral, sosial, dan etis. Ia tidak layak kita hukum. Ia justru sedang menjalankan tanggung jawab kewarganegaraannya dengan cara yang paling jujur bersuara dari kepedulian. Oleh karena itu, perkara ini seharusnya menjadi cermin bagi aparat penegak hukum untuk membedakan antara kritik dan kriminalisasi. Antara emosi yang bermakna dan kekerasan simbolik terhadap perempuan.
Pada akhirnya, seruan “Kritik bukan kriminal” bukan sekadar slogan, melainkan prinsip dasar negara hukum yang demokratis. Membebaskan Laras Faizati berarti mengakui bahwa keadilan tidak hanya berbicara dengan satu bahasa. Keadilan juga berbicara dengan bahasa kepedulian, empati, dan pengalaman perempuan. []



















































