Mubadalah.id – Aktivitas pertambangan di Indonesia kian hari kian tidak terkendali. Ribuan titik tambang ilegal tersebar di berbagai daerah, merusak hutan, mencemari sungai, dan menggerus daya dukung lingkungan.
Praktik ini bukan hanya persoalan pelanggaran hukum, melainkan ancaman serius bagi keberlanjutan ekologi dan keselamatan hidup masyarakat.
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat sekitar 2.645 titik penambangan ilegal di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 85 persen merupakan tambang emas ilegal. Aktivitas ini hampir selalu disertai penggunaan merkuri dalam proses pengolahan.
Setiap titik tambang diperkirakan menggunakan 62 hingga 85,63 kilogram merkuri per tahun, angka yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia.
Berbagai penelitian telah menunjukkan dampak nyata dari paparan merkuri. Zat beracun ini mencemari air, ikan, hingga beras yang dikonsumsi warga.
Di Lebak, Banten, misalnya, cemaran merkuri telah berdampak pada kesehatan anak-anak di komunitas Kasepuhan Adat Cisitu. Ini menunjukkan bahwa tambang ilegal bukan hanya merusak alam, tetapi juga meracuni anak-anak.
Ironisnya, warga lokal sering kali hanya menjadi pelaku, mereka yang bekerja di lapangan dengan risiko tertinggi. Sekaligus menjadi pihak yang paling terdampak. Mereka menghadapi ancaman bencana ekologis dan penyakit kronis, sementara para pemodal besar justru menikmati keuntungan.
Saling Berkelindan
Dalam banyak kasus, aktivitas tambang ilegal ini berkelindan dengan pembiaran, bahkan perlindungan dari aparat penegak hukum dan penguasa setempat.
Kerusakan akibat tambang ilegal juga berkorelasi langsung dengan bencana alam. Banjir yang melanda Aceh dan wilayah Sumatra lainnya tidak bisa dilepaskan dari maraknya tambang ilegal di kawasan tersebut.
Data Panitia Khusus Mineral dan Batubara serta Minyak menyebutkan terdapat sekitar 450 area tambang emas ilegal di Aceh. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyangga ekologi justru dibabat demi kepentingan ekonomi segelintir pihak.
Akibatnya fatal. Melansir pemberitaan Detik.com, bencana banjir di wilayah tersebut menelan 914 korban jiwa dan menyebabkan 389 orang hilang, belum termasuk kerugian harta benda yang hanyut. Namun di balik angka-angka itu, ada kelompok yang kerap luput dari perhatian: perempuan dan anak-anak.
Dampak Bencana
Dalam situasi bencana, maka lagi-lagi perempuan menghadapi persoalan berlapis di antaranya:
Pertama, sulitnya akses terhadap kebutuhan spesifik seperti pembalut bagi perempuan yang sedang menstruasi. Bantuan kemanusiaan sering kali hanya berfokus pada kebutuhan pangan, tanpa mempertimbangkan kebutuhan mendasar perempuan.
Kedua, keterbatasan layanan kesehatan, terutama bagi ibu hamil dan menyusui. Akses terhadap layanan kebidanan menjadi sangat terbatas, meningkatkan risiko persalinan tanpa bantuan medis dan ancaman keselamatan ibu serta bayi.
Ketiga, terhentinya aktivitas pendidikan. Banyak sekolah rusak atau terendam banjir, sehingga proses belajar-mengajar terpaksa dihentikan. Anak-anak kehilangan hak dasarnya untuk mendapatkan pendidikan.
Keempat, dampak ekonomi pascabencana. Banyak keluarga kehilangan mata pencaharian, dan tidak sedikit anak yang akhirnya terpaksa putus sekolah karena kondisi ekonomi yang memburuk.
Keempat dampak ini menjadi tamparan keras bahwa banjir akibat kerusakan lingkungan bukan sekadar bencana alam, melainkan bencana kemanusiaan. Ia berdampak langsung pada tubuh perempuan, keselamatan ibu dan anak, serta masa depan pendidikan generasi muda.
Karena itu, persoalan tambang ilegal tidak bisa lagi dipandang sebagai masalah teknis semata. Ia adalah persoalan keadilan ekologis dan sosial. Pemerintah seharusnya tidak hanya bereaksi setelah bencana terjadi, tetapi bertindak tegas sejak awal.
Terutama soal pengetatan perizinan, penindakan serius terhadap tambang ilegal, serta pemulihan kawasan hutan yang telah rusak harus menjadi prioritas utama.
Pasalnya selama negara terus abai dan membiarkan tambang ilegal beroperasi, yang dikorbankan bukan hanya hutan dan sungai. Tetapi juga manusia, terutama mereka yang paling rentan. Dan ketika alam runtuh, yang pertama kali menanggung akibatnya adalah rakyat. []



















































