Mubadalah.id – Dalam bentang ingatan kolektif kita, peringatan haul Gus Dur selalu hadir beriringan dengan suasana perayaan Natal. Yakni sama-sama bertepatan pada tanggal di akhir bulan Desember. Kiranya, terdapat sebuah sinkronisitas moral yang indah ketika refleksi atas wafatnya sang Gus Dur bersanding dengan momentum perayaan Natal. Bagi penulis, dari kedua momentum yang beriringan tersebut, telah tersirat pesan damai kemanusiaan.
Sehingga tidak menjadi heran, jika sosok Gus Dur kembali muncul dalam memori kita. Bukan hanya sebagai figur politik (presiden) saja. Namun juga sebagai personifikasi dari Islam yang ramah. Karena bagi Gus Dur, agama bukanlah menara gading yang menjauhkan penganutnya dari realitas sosial, akan tetapi ia adalah energi cair yang dapat memanusiakan manusia.
Dari peringatan haul Gus Dur yang beriringan dengan perayaan Natal, kita dibangkitkan kembali untuk membaca nilai-nilai asasi agama (Islam). Di mana, dalam irisan momentum haul dan Natal yang beriringan, kita dapat mengupayakan kembali wajah Tuhan yang penuh kasih. Terutama di tengah dunia yang kian gersang oleh kebencian, primordialisme, dan yang serupanya.
Memanifestasikan Tauhid dalam Kehidupan Sosial
Pertama-tama, kita tidak bisa mengelak akan fondasi utama pemikiran Gus Dur yang terletak pada transformasi konsep Tauhid. Di mana, ia tidak membiarkan konsep keesaan Tuhan berhenti pada tataran teologis-langit (samawi) atau perdebatan metafisika semata.
Namun, Sebagaimana termaktub di dalam bukunya yang berjudul Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (The Wahid Institute, 2007), Gus Dur telah menegaskan bahwa universalitas Islam justru terletak pada kemampuannya untuk berdialog dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Dalam hal ini, Gus Dur mengartikan Tauhid adalah sebuah manifesto sosial. Sehingga dapat kita katakan, jika seorang hamba meyakini Tuhan itu maha adil dan maha pengasih, maka keimanan tersebut baru dianggap otentik jika ia berani menegakkan keadilan dan menebar kasih sayang bagi siapa pun, di manapun, dan kapan pun—tanpa memandang apa agamanya.
Dari sinilah, logika revolusioner Gus Dur akan pembelaanya terhadap kaum marginal bukan sekadar pilihan aktivisme semata, melainkan mewujud dalam kewajiban asasi keagamaan. Gus Dur, melalui logikanya ini, telah meruntuhkan sekat pemisah antara kesalehan yang bersifat ritual-pribadi dengan kesalehan sosial yang bersifat publik.
Sehingga, di mata Gus Dur, puncak dari perjalanan spiritual tidaklah ia temukan dalam isolasi diri di dalam rumah ibadah, melainkan dalam keberanian untuk pasang badan bagi mereka yang tertindas. Prinsip ini juga yang Gus Dur tegaskan dalam kumpulan esainya yang legendaris, yang berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela (Grafiti Pers, 1982).
Dalam buku tersebut, Gus Dur mengingatkan bahwa Tuhan sebagai entitas yang maha segalanya. Jelas tidaklah membutuhkan pembelaan dari manusia sama sekali, yang justru sangat membutuhkan pembelaan. Menurut Gus Dur, adalah manusia yang hak-haknya telah dirampas.
Dialektika Agama dan Budaya
Nilai asasi kedua yang menjadi pilar pemikiran Gus Dur adalah Pribumisasi Islam. Di mana, konsep ini muncul sebagai respon Gus Dur akan tren puritanisme yang memiliki semangat menyeragamkan ekspresi keagamaan dengan berdasarkan standar budaya tertentu.
Dalam esai monumentalnya yang ia terbitkan kembali dalam buku Islam Indonesia Menatap Masa Depan (P3M, 1989), Gus Dur menuliskan dengan sangat jernih bahwa Pribumisasi Islam bukan Arabisasi dan bukan pula substitusi budaya lokal oleh budaya Timur Tengah, melainkan manifestasi nilai-nilai Islam dalam wadah budaya setempat.
Dengan kata lain, Gus Dur meyakini bahwa Islam di Indonesia memiliki watak unik yang tumbuh dari proses dialog berabad-abad antara teks suci dan kearifan lokal yang sudah lebih dulu ada di wilayah Nusantara.
Konsep Pribumisasi Islam ini, dalam buku kumpulan esainya yang berejudul Berpijak di Bumi, Menatap Langit: Pergaulan Antar Iman (Mizan, 2006). Gus Dur menilai akan moderasi beragama yang otentik ialah ketika umat mampu membedakan mana yang merupakan ajaran inti dan mana yang merupakan bungkus kebudayaan.
Dengan ini, terlihat jelas sikap menghargai tradisi lokal Gus Dur telah menunjukkan bahwa ajaran Islam bersifat inklusif. Nilai-nilai asasinya, seperti kejujuran, kesetaraan, dan persaudaraan (kemanusiaan) dapat menyusup masuk ke dalam urat nadi tradisi tanpa harus menghancurkan identitas asli sebuah bangsa.
Kekuasaan yang Membebaskan
Transformasi dari kedua nilai asasi di atas, mencapai ujian terberat sekaligus pembuktian terindahnya saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia. Bagi penulis, masa kepemimpinan Gus Dur adalah eksperimen besar tentang bagaimana ajaran kemanusiaan dioperasikan dalam kebijakan negara yang konkret.
Sebut saja, kebijakan Gus Dur yang memulihkan hak-hak sipil etnis Tionghoa serta pendekatan dialogisnya terhadap Papua. Ini adalah sebagian bukti yang nyata. Langkah-langkah yang Gus Dur lakukan ini, bukan sekadar manuver politik. Namun sebagai wujud manifestasi dari kaidah fikih (legal maxim) yang selalu menjadi kompas politiknya, yaitu Tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah, bahwa kebijakan seorang pemimpin atas rakyatnya harus berdasarkan sepenuhnya pada kemaslahatan publik.
Gus Dur telah membuktikan bahwa negara tidak boleh bertindak sebagai polisi moral yang mendiskriminasi warga negara berdasarkan identitasnya. Dalam hal ini, Gus Dur tidak sedang mempolitisasi agama untuk meraih kekuasaan. Akan teteapi sedang memberikan ruh moralitas agama ke dalam tubuh politik nasional yang sering kali gersang dari etika.
Bagi Gus Dur, kekuasaan hanyalah alat transisional untuk mencapai tujuan abadi, yaitu martabat manusia yang utuh. Dan di tengah dunia yang kian terpolaritas ini, refleksi atas nilai asasi agama versi Gus Dur menjadi kian krusial. Kehadiran Gus Dur dalam ingatan kita saat perayaan Natal kemarin adalah pengingat bahwa melindungi hak beribadah orang lain adalah bagian dari menjaga kesucian agama itu sendiri.
Membaca nilai asasi agama dari sosok Gus Dur adalah bagian dari belajar untuk menjadi manusia yang religius secara dewasa. Gus Dur telah memberikan warisan terbesarnya yang terpatri pada sebuah metode berpikir. Ia menempatkan persaudaraan sesama manusia (ukhuwwah basyariyah) adalah tingkah yang sangat mulia.
Pada akhirnya, kita dapat menyimpulkan dengan satu kalimat utuh dari apa yang pernah Gus Dur gagas di atas, yaitu esensi dari sebuah agama yang sejati adalah cinta. Sebagaimana yang sudah Gus Dur lakukan, agama haruslah membebaskan, bukan membelenggu, mempersatukan, bukan mencerai-berai.
Semoga nilai-nilai kemanusiaan Gus Dur tetap menjadi lentera yang memandu Indonesia untuk tetap menjadi rumah yang ramah bagi kemanusiaan, apa pun keyakinannya. []



















































