Mubadalah.id – Bencana alam menjadi tabik perpisahan tahun 2025. Salam perpisahannya bercampur tangis sayu. Sebagian dari saudara kita di Aceh, Sumatera, dan beberapa tempat lain, menderita karenanya. Betapa alam bisa membawa petaka!
Sang Ilahi pada mulanya menghendaki alam sebagai sabda empirik-Nya (ayatul kauniyah). Hyang Samad lagi Hyang Jawad itu menahbiskan kuasa atas segala makhluk. Sang Wahhab menunjukkan tanggung jawab eksistensial-Nya selaku ja’il, kreator alam raya.
Ia menciptakan manusia dari sari pati tanah. Menumbuhkan bebijian hingga muncul pohon-pohon besar berwujud hutan dan rimba. Ia menghendaki pergantian siang dan malam. Memberikan makhluk di bumi kesempatan untuk bekerja, juga waktu untuk meremajakan tubuh.
Namun, berkat, rahmat, dan anugerah-Nya itu tak serta-merta membikin makhluk-Nya taat. Sebagian justru kalap. Alih-alih merawat, pikiran mereka hanya mengembat dan menyikat alam. Tak pelak, jelaslah pelbagai fasad (kerusakan) dalam rupa-rupa bencana!
Nahasnya, bencana enggan pandang bulu. Ia melahap siapa saja. Tak hanya menelan pelaku. Lebih sering, bahkan, orang-orang yang tak ikut berurun dosa malah menderita dampak ganda. Sebut saja penyandang disabilitas.
Sekadar informasi perihal akan datangnya bencana pun, mereka seringkali tak menerima. “Dalam situasi bencana, kelompok disabilitas itu mengalami kerentanan yang berlapis,” ujar sosiolog UIN Ar-Raniry Aceh, Musdawati. Dus, dosa macam apalagi yang kita perbuat ini?
Akses Informasi bagi Penyandang Disabilitas
Ketika bencana tiba, kelompok penyandang disabilitas merupakan kalangan yang mengalami kerentanan berlapis. Mengapa? Hal itu berangkat dari minimnya akses informasi. Akibatnya, tidak hanya menderita secara fisik, para penyandang disabilitas juga mengalami derita sosial.
“Sampai sekarang, dalam kesiapsiagaan dan mitigasi bencana di Aceh, disabilitas belum terlalu menjadi prioritas,” imbuh Musdawati sebagaimana warta RRI.
Realita di lapangan merupakan bukti nyata betapa informasi evakuasi yang inklusif masih jauh dari kata memadai. Sebut saja jalur evakuasi atau rute darurat bencana. Tak banyak dari kalangan penyandang disabilitas dengan ragam kebutuhan yang dapat mengaksesnya.
Tak heran jika saban kali bencana tiba, korban berjatuhan di mana-mana. Situasi seperti ini sejatinya menandai betapa paradigma penyandang disabilitas sebagai subjek penuh belum sungguh-sungguh mengejawantah.
Paradigma publik masih memandang disabilitas sebagai beban dan objek lemah yang mesti ditolong. Akibatnya, nalar yang muncul kurang lebih begini, “Oke aku selamat dulu, nanti baru kutolong mereka.” Lalu, bagaimana jika ternyata diri sendiri bahkan tak selamat?
“Kesadaran dan perspektif kita harus dibangun terlebih dahulu, baru kemudian diikuti tindakan-tindakan konkret,” pesan Musdawati.
Beban Berlapis, Kepekaan Ganda
Di tengah segala kesangsian dan kerisauan perihal akses informasi kebencanaan bagi penyandang disabilitas, kita bisa sedikit menyimpul senyum dengan membaca satu contoh praktik baik. Para penyandang disabilitas, secara mandiri ternyata telah memiliki kepekaan ganda dalam menghadapi risiko bencana.
Misalnya saja dalam isu bencana iklim. Tim Riset Teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII) menyebut bila para penyandang disabilitas menaruh komitmen lebih terhadap aksi iklim. Temuan itu berakar dari penelitian di Ternate, Maluku Utara serta Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Secara geografis, kedua daerah tersebut pada dasarnya memang masuk kategori rawan bencana. Menariknya, justru di tempat itulah, rumah bagi komunitas disabilitas yang punya ikatan batin dengan isu iklim berdiri kokoh.
Kedengarannya mungkin seperti paradoks. Tapi, itulah praktik baik yang mengada. Praktik-praktik semacam itu seharusnya menjadi penegas betapa penyandang disabilitas merupakan subjek penuh. Mereka bisa menginisiasi kerja-kerja mandiri.
Masalah bersama yang kini kita hadapi, sekali lagi, ialah penyediaan dan ketersediaan akses—utamanya akses informasi. Selagi kran akses itu belum membuka penuh, penyandang disabilitas masih akan selalu berada dalam kerentanan dan beban berlapis akibat bencana.
Tapi, tentu kita tak boleh berpangku tangan menanti tibanya rahmat dari para penggenggam pena kebijakan. Kita selalu mampu mengupayakan kebaikan, sekecil apapun. Lagi pula, bukankah bencana juga termasuk maa khalaqta hadza bathilan? []




















































