Mubadalah.Id– Nadran atau sedekah laut sedang menjadi pembicaraan hangat. Linimasa saya dibanjiri berita-berita terkait hal itu. Beberapa hari belakangan, di salah satu grup WA yang saya ikuti pun ramai sekali pembicaraan mengenai tradisi yang satu ini. Berita terakhir di Bantul membuat saya sangat prihatin. Berikut ini apakah Nadran bertentangan dengan ajaran Islam?
Ya, saya terhenyak membaca berita pengrusakan persiapan nadran di Bantul, akhir pekan kemarin. Dari sekian barang bukti, ditemukan spanduk bertuliskan “Kami Menolak Semua Kesyirikan Berbalut Budaya, Sedekah Laut atau Selainnya.”
Dalam kacamata para perusak ini. Sedekah laut dan semacamnya tak lebih dari sebuah bentuk kesyirikan.
Sebelumnya, paska bencana gempa dan tsunami melanda Palu dan sekitarnya, narasi serupa juga naik ke permukaan. Bencana tersebut terjadi karena kesyirikan warga. Karena azab.
Momentum tersebut sepertinya dimanfaatkan segelintir orang untuk mendapuk untung. Narasi kesyirikan sedekah laut terus bermunculan di daerah lain.
Logika awam sudah cukup untuk memahami bahwa ada yang bergerak secara sistematik memanfaatkan isu ini.
Isi pesannya kurang lebih sama, sedekah bumi, larung saji, nadran, dan sebagainya harus dilarang karena penuh kesyirikan. Dan kesyirikan itulah yang menyebabkan banyak bencana di Indonesia.
Padahal, banyaknya bencana yang terjadi lebih karena Indonesia berada di jalur cincin api. Juga tempat bertemunya lempeng-lempeng bumi yang terus bergerak. Bukan karena azab atas dosa sekelompok orang.
Tapi di sini saya hanya akan menulis tentang nadran dan sedekah bumi. Tak akan memperdalam kecurigaan apakah ada gerakan kepentingan di balik muncul ramainya narasi tentang penolakan nadran tersebut.
Sebelumnya saya ingin menjelaskan, saya adalah santri yang lahir dan dibesarkan di daerah pesisir utara Cirebon. Sedikit banyaknya saya tahu ritual nadran dan sedekah bumi itu seperti apa. Saya juga sedikit mengerti ada di bagian mana Islam dalam tradisi ini.
Nadran dan sedekah bumi adalah lambang rasa syukur manusia pada Tuhan. Pada zat Yang Maha Kuasa, yang memberi manusia kehidupan, memelihara bumi tempat kehidupan, dan yang melimpahkan rizki.
Ritual tersebut adalah bahasa simbolik dari kesadaran yang begitu dalam bahwa manusia hanyalah hamba. Yang tak punya kuasa tanpa kuasaNya.
Sebuah laku kolektif yang mungkin susah untuk dipahami kita di zaman ini yang banyak melihat sesuatu hanya dari aspek materialnya belaka.
Baca juga: Prinsip Kesalingan dalam Kearifan Lokal Masyarakat Minangkabau
Tapi bagi orang-orang di kampungku, nadran dan sedekah bumi itu semudah kita memahami bahwa kalau kita mengambil/menerima maka kita juga harus memberi. Inilah prinsip timbal balik atau mubadalah di dalam ritual nadran.
Prinsip yang menjadi kunci ajaran kebaikan agama-agama di dunia. Tak terkecuali Islam.
Kalau kita setiap hari mengambil makanan dari laut dan bumi, maka sudah seharusnya kita juga memberi kepada mereka. Yang juga secara otomatis sebagai ungkapan syukur kepada yang mempunyai dan menguasai laut dan bumi.
Itu filsafat masyarakat kita dahulu kala. Kearifan yang sejalan dengan ajaran Islam untuk berbuat baik kepada setiap makhluk. Dan bersyukur atas setiap nikmat yang telah dianugerahkan.
Lalu bagaimana caranya kita membalas kepada zat yang sudah memberi kita terlalu banyak?
Setiap embusan nafas, denyut jantung, aliran darah, limpahan rizki, dan masih banyak lagi adalah pemberian Allah yang terlalu banyak untuk dibalas.
Manusia tidak akan pernah sanggup membalas kebaikan itu dengan setimpal. Bahkan jika manusia beribadah sehari semalam lamanya.
Maka yang mungkin adalah dengan laku simbolik, dengan ritual kepasrahan diri. Sebuah acara yang perlu ditata dengan makna-makna abstrak yang bersumber dari kepercayaan-kepercayaan masyarakat setempat. Nah itulah nadran dan sedekah bumi.
Tapi masalahnya kita sudah sangat terbiasa melihat sesuatu hanya dari sisi materialnya belaka? Ruhnya, semangatnya, nilai-nilai luhurnya, luput dari pandang.
Lalu muncullah mereka yang berpikiran tertutup yang melihat nadran hanya dari aspek materialnya saja. Yang kasat matanya saja.
Kemudian dengan mengatasnamakan agama menuduh syirik dan tak ragu melakukan kekerasan. Aduh, kira-kira agama mana yang mengajarkan kekerasan? Tidak ada. Islam pun tidak.
Jadi kekerasan itu datangnya dari mana?
Baca juga: Hijrah dari Fakta Kekerasan ke Fitrah Kasih Sayang
Tentu saya juga mengkritik banyak aspek dari ritual nadran dan sedekah bumi yang kian jauh dari ruhnya. Acara ini kian tahun kian terasa aroma komersialisasinya. Untuk tidak dikatakan sangat berorientasi pasar.
Muncul juga banyak hiburan yang bertentangan dengan moral publik di arena nadran. Ini juga akibat masuknya ideologi pasar tadi ke dalam arena nadran yang saban tahun dibanjiri ribuan orang. Bukan karena nadran adalah ritual syirik.
Terakhir, menurut saya, nadran dan sedekah bumi terlalu agung nilai kulturalnya untuk dihentikan hanya karena aspek-aspek negatif yang datang belakangan. Alangkah indahnya jika cara-cara Nabi dan para Wali yang welas asih itu kita teladani.
Salah satu cara yang bisa dicoba yakni dengan menghidupkan kembali nilai-nilai lama yang luhur tersebut. Masyarakat penting untuk bahu membahu mengaktualisasikan kembali nilai-nilai nadran baik dalam ritual maupun dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah harus ikut mendorong hal tersebut.
Saya kira, nilai-nilai di dalam nadran dan sedekah bumi tidak secuil pun bertentangan dengan ajaran Islam.
Demikian penjelasan terkait apakah Nadran bertentangan dengan ajaran Islam? Semoga bermanfaat. [Baca juga: Pesantren dan Tradisi Lokal]