“You’re a fighter. You are awesome. You are 100% that bitch. Don’t let other people say otherwise.”
–Gita Savitri Devi
A Cup of Tea adalah buku kedua Gita Savitri Devi yang kedua, terbit Maret 2020. Seperti buku pertama Gita, Rentang Kisah, A Cup of Tea adalah kumpulan cerita tentang kehidupan Gita. Buku ini seperti catatan perjalanan beserta pelajaran yang didapatkan Gita saat traveling ke berbagai negara.
Buku 163 halaman ini hanya butuh waktu beberapa jam untuk saya selesaikan. Bahasa yang digunakan ringan dan apa adanya. Disertai foto-foto berwarna Gita ketika travelling dan setiap bab tulisan dipisahkan oleh ilustrasi berwarna yang artsy.
Dalam buku ini juga disertai My Dream List yang juga jadi topik yang Gita angkat, yaitu untuk berani bermimpi setinggi-tingginya dan seindah-indahnya. Selain itu, dalam buku ini juga diceritakan tentang perpisahan, perjalanan mengubah diri, kehidupan setelah pernikahan hingga kebahagiaan yang Gita cari. Gita juga menceritakan tentang mental health issue yang dialaminya, yaitu cyber bullying.
“Kita nggak butuh pisau untuk membunuh seseorang. Kata-kata yang ditujukan ke gue itu tentu bikin gue down. Semuanya ingin gue hilangkan dari ingatan, tapi nggak pernah berhasil.”
Gita pernah mengalami cyber bullying selama beberapa hari yang membuatnya sangat down hingga dia memutuskan untuk pergi ke psikolog, self-healing dan curhat pada orang terdekatnya. Tapi trauma itu masih ada bahkan sampai sekarang. Cyber bullying ini sering kita temui dan mungkin kita juga pernah jadi korbannya.
Selain hal yang tidak menyenangkan, ada beberapa bagian yang menggembirakan. Bagian ini membuat saya jadi berkaca pada diri sendiri. Salah satunya adalah bab “Pursuit of Happiness”.
“We are so afraid of being too honest with our own feeling because vulnerability is often seen as weakness. But the fact is, it’s not. It’s a birthplace of joy.” (hal 104)
Vulnerability is a birthplace of joy. Kalimat ini benar-benar powerfull menurut saya. Bahwa kita sebagai manusia sangat manusiawi untuk memiliki kerentanan pada hal-hal tertentu. Bahwa lumrah menjadi manusia yang mengalami kesedihan, kekecewaan dan duka lara. Semua emosi negatif ini yang membawa kita pada kebahagiaan. Bukankah bahagia paling membahagiakan adalah setelah sakit yang paling menyakitkan?
Seringkali kita mencari kebahagiaan dalam diri orang lain, atau pada benda, atau pada pengalaman. Ternyata kebahagiaan itu tidak dicari, tapi dibuat atau diciptakan. Bahwa kebahagiaan itu saat kita merasa cukup, tidak membandingkan diri dengan orang lain dan merasa damai. Bukan karena faktor eksternal, tapi karena faktor internal.
“It’s a state of well-being when you feel at peace. You may not have everything, but you feel enough.” (hal 105)
Seperti kata Jordan Peterson, “compare yourself with who you were yesterday, not with someone else today. Kita tidak bisa tidak membandingkan hidup dengan orang lain terutama melalui media sosial. Tapi, jika fokus kita adalah membandingkan diri kita yang kemarin dan hari ini, mungkin kita tidak akan memiliki energi untuk membandingkan diri dengan yang lain.
Sebenarnya masih masih banyak topik yang seru untuk dibicarakan dan tentu saja reflektif. Buku ini memberitahu kita bahwa sebagai manusia, kita bisa tetap bahagia meski memiliki trauma. Buku ini adalah teman yang baik untuk melakukan petualangan ke dalam diri, terutama di saat-saat krisis. Yang mengingatkan kita, bahwa kita adalah pejuang meski memiliki luka. []