Mubadalah.id – Ungkapan Al Ummu Madrasatul Ula—ibu adalah sekolah pertama—bukan sekadar pepatah klasik yang muncul setiap peringatan Hari Ibu. Ungkapan ini menegaskan fondasi peradaban. Dari rahim ibu, manusia tidak hanya lahir secara biologis, tetapi juga tumbuh melalui penanaman nilai, pembentukan karakter, dan cara memandang kehidupan sejak dini.
Dalam realitas sosial hari ini, spirit keibuan tidak berhenti pada sosok biologis bernama ibu. Setiap individu, pada fase tertentu, memikul tanggung jawab menghadirkan nilai keibuan melalui perjuangan yang tulus, kasih sayang yang memanusiakan, serta keteladanan yang menuntun kehidupan bersama.
Ibu sebagai Inspirasi Perjuangan
Perjuangan seorang ibu dimulai jauh sebelum anak mengenal dunia. Ia memikul beban fisik dan batin yang berat, bahkan mempertaruhkan nyawa. Al-Qur’an merekam kenyataan ini secara jelas:
“Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.”
(QS. Luqman: 14)
Ayat ini menegaskan bahwa perjuangan ibu bukan sekadar narasi emosional, melainkan realitas eksistensial. Di tengah kehidupan modern yang penuh kompetisi dan tekanan, nilai ini tetap relevan untuk diteladani. K. Abd. Warits menegaskan bahwa perjuangan tidak selalu bermakna kemenangan, tetapi kemampuan bertahan dengan kesabaran dan keikhlasan, sebagaimana ibu bertahan demi kehidupan anaknya.
Nabi Muhammad SAW menempatkan ibu pada posisi tertinggi dalam hierarki penghormatan. Ketika seorang sahabat bertanya tentang siapa yang paling berhak mendapatkan bakti, Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Saat sahabat itu mengulangi pertanyaannya, Rasulullah kembali menegaskan, “Ibumu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Pengulangan ini menegaskan bahwa perjuangan ibu melampaui peran sosial biasa. Dari pengorbanannya, peradaban lahir dan tumbuh.
Kebesaran Kasih Sayang Seorang Ibu
Kasih sayang ibu menghadirkan cinta tanpa syarat. Ia mencintai sebelum mengenal, menjaga tanpa diminta, dan memaafkan tanpa perhitungan. Rasulullah SAW memberikan gambaran yang sangat kuat tentang hal ini:
“Allah lebih penyayang kepada hamba-hamba-Nya daripada seorang ibu kepada anaknya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadikan kasih sayang ibu, Al Ummu Madrasatul Ula sebagai tolok ukur tertinggi yang dapat dipahami manusia tentang makna cinta sejati.
Dalam realitas sosial hari ini, krisis empati, kekerasan, dan dehumanisasi sering muncul karena masyarakat mengabaikan nilai kasih sayang. Dengan meneladani kasih ibu, manusia menghadirkan empati dalam relasi sosial, kepedulian dalam kepemimpinan, serta kemanusiaan dalam setiap keputusan.
Ibu sebagai Teladan Sepanjang Masa
Ibu tidak hanya mengasuh, tetapi mendidik. Dari lisannya, anak mengenal bahasa; dari sikapnya, anak belajar adab. Al-Qur’an mengabadikan pola pendidikan ini melalui nasihat Luqman kepada putranya (QS. Luqman: 12–19) yang menekankan iman, etika, dan tanggung jawab sosial.
Keteladanan ibu bekerja secara praksis, bukan teoritis. Ia mendidik melalui contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, teknologi, kurikulum, atau institusi pendidikan tidak pernah mampu menggantikan peran ibu sepenuhnya.
Nilai keibuan juga tidak eksklusif milik perempuan yang melahirkan. Dalam ruang sosial, setiap individu dapat dan seharusnya berperan sebagai “ibu”: merawat yang lemah, membimbing yang tersesat, dan menjaga nilai kemanusiaan. Di sinilah makna kontemporer Al-Ummu Madrasatul Ula menemukan relevansinya—bahwa pendidikan dan keteladanan merupakan tanggung jawab kolektif.
Ibu menghadirkan inspirasi perjuangan, samudra kasih sayang, dan teladan sepanjang masa. Ketika setiap individu menghidupkan nilai-nilai keibuan, masyarakat tidak hanya tumbuh secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan spiritual.
Di tengah dunia yang semakin keras, nilai keibuan justru menjadi kebutuhan mendesak. Peradaban besar tidak lahir dari kekuasaan semata, melainkan dari kasih sayang, keteladanan, dan perjuangan yang tulus—sebagaimana yang diajarkan oleh seorang ibu. []









































