Mubadalah.id – Berdasarkan data Chief Executive Officer Setipe.com, Razi Thalib, seperti dikutip dari Koran Tempo 4 Oktober 2015, angka jomblo mencapai 52 juta orang. Rentang usia jomblo atau melajang, menurut dia, 18-40 tahun. Riset serupa juga dilakukan oleh Zola Yoana, pendiri Heart Inc. Apakah melajang itu dosa?
Menurut riset Zola, jumlah jomblo di atas usia 27 tahun meningkat dua persen setiap tahun pada 2010 hingga 2014. Pada 2010, jumlah jomblo pria mencapai 4,9 juta orang sementara jomblo perempuan mencapai 4,7 juta. Angka ini meningkat drastis pada 2014, jumlah jomblo pria mencapai 5,1 juta dan perempuan mencapai 5 juta.
Jumlah tersebut tentu bukanlah jumlah yang sedikit, mengingat pernikahan adalah dambaan hampir setiap manusia. Hampir semua orang berebut ingin masuk dalam lingkaran tersebut, lingkaran yang menjanjikan kebahagiaan, cinta kasih, sebuah perhelatan suci dan sejarah yang paling penting dalam kehidupan manusia.
Namun, ketika proses masuk dalam wilayah pernikahan tersebut tidak secepat waktu yang ditentukan masyarakat, stempel yang negatif biasanya akan segera mengiringi para lajang. Benarkah melajang senegatif itu?
Leli Nurohmah, M.Hum., dosen studi gender Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), menyebutkan, menurut sebuah hadis bahwa masuk dalam wadah pernikahan sama rahasianya dengan kapan ruh kita dipisahkan dari raga, sama juga rahasianya kapan kita akan bahagia atau berduka. Terwujudnya impian pernikahan bagi setiap orangnya berbeda pula. Ada yang dengan mudah mendapatkan pasangan, ada juga yang harus bersusah payah mencari pasangan jiwa namun belum juga dipertemukan. Lalu bagaimana menyikapi hal ini, benarkah melajang itu dosa?
Pandangan masyarakat memang tidak semuanya sama terkait hal ini. Di pedesaan misalnya, perempuan dengan usia belia yang sudah menimang anak tampaknya merupakan pemandangan yang lumrah. Jika dibandingkan dengan kondisi di kota-kota besar, keputusan menunda pernikahan bagi seorang perempuan adalah hal yang tidak asing ditemui. Bahkan seiring dengan perkembangan ekonomi dan pandangan orang tentang taraf hidup yang baik, menikah seolah fase yang harus dilalui bagi mereka yang memang telah siap baik secara fisik maupun materil. Bahkan hingga pilihan untuk tidak menikah dengan berbagai alasan, seperti belum mendapatkan calon pasangan hidup, belum siap berkeluarga, ataupun tidak ingin terikat.
Jauh semenjak Islam datang, sesungguhnya sudah ada perempuan yang memilih untuk tidak menikah berdasarkan kesadarannya sendiri, yaitu Rabi’ah Al-‘Adawiyah. Rabi’ah memilih melajang karena alasan mahabbah lillah, kecintaan yang sangat tinggi kepada Allah. Sebuah cara berpikir sufistik yang mengkhawatirkan lunturnya kecintaan kepada Allah karena kecintaan kepada hal-hal duniawi (termasuk cinta kepada lawan jenis). Pun Imam Syafi’i memandang menikah adalah mubah (boleh), tetapi pada kondisi tertentu, sesuai dengan kodrat manusia. Menikah dapat berubah hukum menjadi sunnah, wajib ataupun makruh dan haram.
Bagaimana jika pilihan tidak menikah diambil karena jodoh yang tak kunjung datang atau karena cacat fisik? Sekali lagi dalam ajaran Islam, Allah tidak akan membebankan hamba-Nya kecuali dengan kapasitasnya laa yukallifullah nafsan illaa wus’aha… (QS. Al-Baqarah: 286).
Untuk hal ini, maka cara berpikir positif adalah cara berpikir yang Islami. Masih banyak hal yang bisa dikerjakan walaupun dengan tetap melajang, seperti berkarya dengan menulis buku, mencerahkan dan memberdayakan masyarakat, dan sebagainya. Dengan demikian pilihan melajang tidak akan mencitrakan pilihan negatif, bahkan bisa menjadi counter atas label perawan tua atau bujang lapuk yang masih sering dilabelkan masyarakat kepada para lajang.
Sumber: Keluarga Sakinah, Kesetaraan Relasi Suami Istri (Rahima, 2008)