Mubadalah.id – Masyarakat konservatif radikal di belahan dunia mana pun akan selalu dihantui kecemasan dan ketakutan menghadapi kebaruan dunia (modernitas) dan perubahan sosial yang cepat.
Mereka akan terus berteriak bahwa pembaruan, inovasi dan kreativitas adalah kesesatan dan menjerumuskan manusia ke neraka. Mereka mengutip sabda Nabi Saw dengan penafsirannya sendiri:
Man ahdatsa fi amrina hadza fa huwa radd (Siapa yang membuat inovasi atau kreatifitas dalam urusan agama ini, maka ia tertolak).
Tetapi teriakan mereka masyarakat konservatif akan hilang ditelan gemuruh angin perubahan yang terus berembus makin kencang. Roda zaman akan terus bergerak ke depan meninggalkan mereka semakin jauh dan semakin jauh.
Kebaruan, pembaruan, dan perubahan adalah keniscayaan alam semesta. Tak seorang pun yang bisa menghentikannya. Diam dan berhenti berarti mati.
Pembaruan dalam masyarakat Islam kita sebut tajdid, orangnya (pembaru) disebut mujaddid. Kemudian, Nabi mengatakan:
Artinya: “Sesungguhnya Allah membangkitkan untuk umat ini pada setiap 100 tahun orang yang akan melakukan pembaruan dalam (pemikiran) keagamaan.”
Dewasa ini ada jutaan masalah baru, ada ribuan temuan baru dari hasil penelitian para ahli dan ada beratus teori baru dan cara baru mencapai tujuan.
Sementara teks-teks yang menjadi sumber hukum dan keputusan sangat terbatas. Bahkan, hal yang terbatas tidak mungkin menjawab hal:
“Teks-teks itu terbatas. Peristiwa-peristiwa kehidupan tidak terbatas. Sesuatu yang tak terbatas tidak bisa kita definisikan dan atur oleh yang terbatas. Maka adalah jelas bahwa ijtihad, pembaruan pemikiran, kreativitas, dan inovasi adalah niscaya sehingga setiap kasus memperoleh jawabannya.”
Kemudian, Imam Jalaluddin al-Din al-Suyuthi mengatakan bahwa Ijtihad dan pembaruan adalah fardhu, keharusan mutlak. Untuk ini ia menulis kitab berjudul al-Radd ‘ala man akhmad ila al-ardh anna al-ijtihad fi kulli ashrin fardhu. []