Mubadalah.id – Balikan sama mantan istri (rujuk) merupakan hak suami untuk melanjutkan institusi keluarga yang sempat retak sebab talak. Hal ini berangkat dari ayat Alquran yang menegaskan bahwa rujuk merupakan hak preogatif suami ketimbang lelaki yang baru kenal.
Dalam surah Al-Baqarah Ayat: 228;
{وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا} [البقرة: 228]
Artinya, “Suami-suami mereka (para istri) lebih berhak untuk melakukan rujuk saat sedang menjalani iddah jika mereka (para suami) menginginkan perbaikan” (QS. Al-Baqarah [2]: 228).
Namun, ada anggapan sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa, balikan sama mantan istri atau rujuk tidak boleh dilakukan saat istri (atau suami) sedang menjalani ihram, baik ihram haji maupun umrah.
Anggapan tersebut mencuat lantaran rujuk dianggap memiliki fungsi yang sama dengan nikah. Nikah sendiri merupakan hal yang dilarang; dalam arti tidak sah melakukan nikah saat ihram sebagaimana hadis Nabi, “Janganlah menikah dan menikahkan orang lain”.
Tidak heran bila timbul pertanyaan, apakah (mantan) suami boleh merujuk istri saat ihram?
Silang Pendapat Para Ulama Ulama
Menyikapi persoalan melakukan rujuk ketika ihram rupanya para ulama masih silang pendapat. Misalnya tergambar dalam penggalan bait di bawah ini.
ورجعة النكاح في الإحرام … قولان في الصحة عن إمامي
فابن عقيل لا على المشهور … والشيخ بالصحة كالجمهور
“Mengembalikan pernikahan saat ihram ada dua pendapat dalam keabsahannya menurut mazhabku # menurut Ibnu ‘Uqail tidak sah. Sedangkan menurut yang masyhur sebagaimana pendapat jumhur adalah boleh dan sah” (Manshur bin Yunus, al-Manhu al-Syafi’iyah Bi Syarhi Mufradat al-Imam Ahmad, jilid I, halaman 357).
Menurut Imam Ibnu ‘Uqail, sebagai ulama yang berpendapat tidak sah, rujuk merupakan akad yang menjadi pintu untuk menghalalkan hubungan intim. Di mana memiliki esensi yang sama dengan pernikahan.
Jika demikian, ketika nikah terlarang saat ihram, maka rujuk juga terlarang. Sehingga rujuk yang dilakukan saat ihram tidak sah. Pendapat ini selaras dengan salah satu riwayat yang saya kutip dari Imam Ahmad bin Hanbal, (Imam al-Rafi’i, Syarah al-Kabir, Jilid XII, halaman 560).
Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa rujuk saat ihram hukumnya adalah sah. Pendapat ini berdasarkan opini mayoritas ulama, pun kalangan Syafi’iyah semisal Imam Nawawi menegaskan;
وَتَصِحُّ الرَّجْعَةُ فِي الْإِحْرَامِ عَلَى الْأَصَحِّ.
“Menurut pendapat yang lebih shahih, merujuk saat melakukan ihram hukumnya sah.” (Imam Nawawi, Al-Raudah Al-Thalibin Wa Umdatu Al-Muftin, jilid XII, hal 67).
Lebih detail lagi, Syekh Abu Bakar Syatho Al-Dimyathi menandaskan bahwa kendatipun melakukan rujuk saat ihram hukumnya boleh, dan sah tetapi makruh.
وتجوز الرجعة في الإحرام على الأصح – لكن تكره،
Menurut pendapat yang lebih shahih, hukum merujuk istri saat sedang ihram hukumnya boleh. Akan tetapi, dimakruhan.” (Abu Bakar Syatho Al-Dimyathi, I’anatu Al-Thalibin, jilid II, halaman, 361).
Rujuk tidak Sama dengan Menikah
Adapun argumentasi yang melandasi pendapat jumhur ini sebagaimana Imam al-Rafi’i (W. 623 H) katakan. Yaitu rujuk tidak sama dengan nikah. Sebab, rujuk adalah akad yang melanjutkan pernikahan. Sedangkan nikah adalah akad untuk membangun rumah tangga dari awal.
Masih menurut Imam al-Rafi’i, perbedaan ulama menyikapi kebolehan rujuk saat ihram titik tolaknya adalah, apakah dalam rujuk disyaratkan harus ada saksi atau tidak. Bila disyaratkan ada saksi saat rujuk, maka rujuk saat ihram tidak sah. Sebaliknya bila tidak disyaratkan ada saksi maka rujuk saat ihram sah.
وأصحهما: الْجَوَازُ؛ لأَنَّها استدامة، فَأَشْبَهَتِ الإِمْسَاكُ في دَوَام النِّكَاحِ، وقد يبنى هذا الخلاف على أَنَّ الرَّجْعَةَ هل تفتقر إلى حُضُورِ الشُّهُودِ، فَإِنْ قلنا: نعم -أجريناها مَجْرَى الابتداء
“Pendapat yang lebih sahih dari keduanya adalah boleh sebab rujuk adalah melanjutkan pernikahan sehingga serupa dengan menahan perempuan (istri) dalam melanggengkan nikah. Dan khilaf ini dibangun dari asumsi apakah rujuk membutuhkan kehadiran saksi atau tidak. Bila membutuhkan maka rujuk dianggap permulaan (sebagaimana nikah)” (Imam al-Rafi’i, Syarah al-Kabir, jilid XII, halaman 560).
Argumentasi Kebolehan Rujuk saat Ihram
Bahkan Manshur bin Yunus mengemukakan sederet argumentasi kebolehan rujuk saat ihram. Pertama, rujuk adalah menahan istri dari pernikahan. Kedua, rujuk boleh kita lakukan tanpa harus ada wali, saksi, dan bahkan izin istrinya. Ketiga, menurut yang sahih perempuan yang berada dalam masa idah adalah boleh (halal) sebelum rujuk sehingga rujuk bukan guna menghalalkan.
تصح …لأنها إمساك للزوجة لقوله تعالى: {فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ} [البقرة: 231، 2] ولأنها تجوز بلا ولي ولا شهود ولا إذنها فلم تحرم، كإمساكها بترك الطلاق، ولأن الصحيح من المذهب أن الرجعية مباحة قبل الرجعة فلا يحصل بها إحلال، وإن قلنا إنها محرمة فليس ذلك مانعًا من رجعتها كالتكفير للمظاهر
“Sah melakukan rujuk (saat ihram) … karena rujuk adalah menahan istri sebagaimana firman Allah swt. “Tahanlah mereka dengan makruf” (QS. Al-Baqarah [2]: 23). Dan karena rujuk boleh dilakukan tanpa wali dan saksi, bahkan izin istri maka tidak diharamkan sebagaimana menahan istri dengan tidak menalaknya.
Dan perempuan yang tertalak raj’i sudah halal sebelum rujuk sehingga rujuk tidak menghalalkannya. Andaipun kami berpendapat bahwa perempuan yang tertalak raj’i adalah haram tetapi bukan berarti menjadi halangan untuk merujuknya sebagaimana membayar kafarat atas orang yang menzihar istrinya.” (Manshur bin Yunus, al-Manhu al-Syafi’iyah Bi Syarhi Mufradat al-Imam Ahmad, jilid I, halaman 357).
Kesimpulan
Dari paparan di atas bisa kita simpulkan bahwa anggapan yang beredar di tengah masyarakat bahwa rujuk tidak sah saat ihram memang benar adanya. Hanya saja, itu merupakan pendapat dari sekelompok ulama. Sedangkan menurut jumhur, rujuk tersebut sah kendatipun makruh.
Selama syarat-syarat rujuknya terpenuhi, semisal perpisahannya melalui talak. Lalu talaknya tidak sampai talak tiga, istri masih dalam masa idah, menggunakan sighat, dan sudah melakukan hubungan intim. Keabsahan merujuk istri saat ihram ini karena rujuk tidak sama dengan nikah. []