Mubadalah.id – Saat ini, Indonesia sedang berada dalam masa duka ekologi. Dalam beberapa bulan terakhir, bencana alam silih berganti melanda negeri ini mulai dari erupsi gunung berapi, longsor, hingga banjir besar yang menenggelamkan banyak wilayah, terutama di Pulau Sumatera.
Pada 26 November 2025 lalu, banjir meluas di sejumlah daerah, menyebabkan kerusakan serius bukan hanya pada permukiman manusia, tetapi juga pada ekosistem dan kehidupan satwa liar.
Bencana ini bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah konsekuensi langsung dari kerusakan lingkungan yang sistematis. Hutan digunduli, daerah resapan air dihancurkan, dan ruang hidup satwa dirampas demi kepentingan ekonomi. Bumi ini sesungguhnya cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tetapi tidak pernah cukup untuk menuruti keserakahan manusia.
Di antara banyak satwa yang terdampak, gajah Sumatera adalah salah satu yang paling terancam. Mereka bukan hanya korban banjir. Ketapi korban paling nyata dari perusakan hutan yang berlangsung lama dan disengaja.
Melansir berbagai laporan lapangan, termasuk dari akun pemerhati lingkungan Bengkalis Ku, populasi gajah Sumatera di Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, diperkirakan tinggal sekitar 150 ekor.
Angka ini sangat memprihatinkan, mengingat Tesso Nilo merupakan salah satu benteng terakhir hutan dataran rendah di Sumatera, rumah terakhir bagi gajah dan harimau Sumatera.
Dari luas awal sekitar 81.739 hektare, kawasan hutan Tesso Nilo kini menyusut drastis. Lebih dari separuhnya telah berubah menjadi kebun sawit ilegal yang terus meluas. Artinya, habitat gajah Sumatera dirampas sedikit demi sedikit, hingga mereka kehilangan ruang hidup yang layak.
Hilangnya Penjaga Ekosistem Hutan
Gajah adalah mamalia darat terbesar yang membutuhkan wilayah jelajah luas dan ekosistem yang stabil untuk bertahan hidup. Ketika hutan berganti dengan pohon sawit, gajah tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga kehilangan sumber pangan, jalur migrasi, dan rasa aman. Mereka terdesak keluar dari habitatnya sendiri.
Kita sering melihat rekaman gajah berjalan di tengah perkebunan sawit. Mereka tidak sedang bermigrasi, tidak sedang bermain. Mereka kebingungan dan kehilangan arah. Jejak pulang yang dulu ia kenali lewat hutan kini telah hilang, berganti oleh keserakahan manusia.
Hutan yang dulu menjadi rumah, tempat berlindung, mencari makan, dan membesarkan anak-anak gajah, kini menghilang perlahan. Digantikan oleh kebun monokultur yang tidak menyediakan ruang hidup bagi satwa liar.
Taman nasional yang seharusnya menjadi kawasan perlindungan, dan pelestarian, justru gagal menjalankan fungsinya karena dikepung dan dirusak dari dalam.
Gajah-gajah itu semakin merasakan penderitaannya. Mereka tidak pernah meminta makan kepada manusia. Mereka tidak menuntut lebih. Bahkan ia hanya ingin hidup tenang di rumahnya sendiri, tanpa dikejar, tanpa diusir, tanpa ditembak atau diracun karena dianggap hama.
Ketika gajah kehilangan rumah, sebenarnya kita juga kehilangan masa depan. Kerusakan habitat bukan hanya soal satwa. Tetapi soal keseimbangan alam yang menopang kehidupan manusia. Hutan adalah jantung bumi. Ketika hutan mereka rusak, bencana ekologi menjadi keniscayaan seperti banjir, longsor, krisis air, dan perubahan iklim ekstrem.
Bahkan, keserakahan manusia menghancuran kehidupan yang panjang. Dari hutan hijau yang kaya kehidupan, berubah menjadi gurun sawit dan lubang tambang. Ini adalah kejahatan lingkungan yang nyata. Tidak ada nilai ekonomi yang sepadan dengan hilangnya keanekaragaman hayati.
Hilangnya Rumah Satwa
Setiap tetes minyak sawit ilegal dan setiap hasil tambang yang diperoleh dari perusakan hutan adalah jejak air mata satwa yang kehilangan rumahnya. Ini adalah harga mahal yang dibayar oleh alam untuk keuntungan segelintir pihak.
Lalu, pertanyaannya adalah ke mana para gajah akan kembali ketika hutan telah habis? Ketika pohon kehilangan akar, gajah kehilangan jejak pulang, dan manusia kehilangan separuh keindahan Indonesia yang tak tergantikan.
Oleh karena itu, Tesso Nilo tidak boleh tinggal nama. Menjaga Tesso Nilo berarti menjaga salah satu habitat terpenting gajah Sumatera sekaligus mempertahankan keanekaragaman hayati Indonesia.
Penyelamatan tidak selalu harus kita mulai dari langkah besar. Ia bisa kita mulai dari kesadaran untuk menolak sawit ilegal, menjaga sungai, merawat pohon, dan mendesak negara agar benar-benar hadir melindungi kawasan konservasi.
Sebab, saat ini, bumi sudah terluka dengan banyaknya bencana ekologi. Maka dari itu, manusialah satu-satunya yang masih punya kesempatan untuk menyembuhkan. []




















































