Mubadalah.id – “Kenapa pemikiran Sisters in Islam (SIS) Malaysia bisa berpengaruh pada Nur di Indonesia yang jauh, tapi sepertinya tidak begitu di sini?”
Kurang lebih ini ucapan Kak Zai yang terngiang-ngiang saat pertama kali mengisi acara di SIS, karena diundang lewat Norhayati Kaprawi yang sebelumnya bertemu denganku saat menjadi fasilitator di Tasikmalaya bersama Rozana Isa.
Saat itu, aku membawa fotokopian booklet SIS Malaysia yang diterbitkan saat masih bernama Putri Islam. Bukunya sangat kecil dan tipis, ya namanya juga booklet! Tapi daya sengatnya, buatku sebagai mahasiswi S1 jurusan Tafsir Hadis IAIN Yogya, sungguh dahsyat! Apalagi saat itu sedang berada di fase resah dan gelisah sebagai Muslimah.
Booklet-nya berjudul “Bolehkah Suami Memukul Istri?” dan “Adakah Wanita dan Lelaki Saksama di Hadapan Allah?” Walaupun kecil mungil, tapi isinya membuat pikiran mak byar karena terang-benderang, dan hati mak nyes karena adem.
Setelah membaca dua booklet ini, aku jadi tahu kepada siapa kemarahan atas ketidakadilan pada perempuan atas nama Islam ini harus disasarkan. Yang pasti bukan pada Allah, bukan pada al-Qur’an, dan bukan pada Islam!
Sekolah di SD Salafiyah pagi hari sambil sekolah di Madrasah Diniyah sore hari, lalu mondok di pesantren sambil sekolah SMP di Madrasah Tsanawiyah, dan sekolah SMA di Madrasah Aliyah, telah menempa keyakinanku bahwa Allah Mahatahu, Mahabenar, dan Mahaadil!
Adil Kepada Perempuan
Kuliah di jurusan Tafsir-Hadis sebagai angkatan ke-2 setelah pindah ke Ushuluddin membuatku punya kesempatan untuk mendiskusikan hakikat tafsir. Semua informasi dalam al-Qur’an pasti berdasarkan pada pengetahuan Allah yang tak terbatas, pasti benar, dan pasti adil kepada perempuan. Namun, al-Qur’an selalu ditafsirkan oleh manusia yang tidak satu pun Mahatahu, Mahabenar, dan Mahaadil.
Jadi, al-Qur’an dari Allah, tapi tafsir dari manusia. Al-Qur’an berdasarkan pada pengetahuan tak terbatas sehingga pasti benar dan adil. Namun, tafsir manusia atasnya berdasarkan pada pengetahuan yang terbatas dan berkembang, sehingga kadang-kadang benar dan adil, tapi kadang-kadang juga salah dan tidak adil.
Mempersoalkan tafsir yang tidak benar karena tidak adil pada perempuan tidak berarti memandang al-Qur’an tidak benar atau tidak adil, tapi hanya memandang tafsir manusia atas al-Qur’an yang tidak benar karena tidak adil! Karena ayat yang sama sangat mungkin kita pahami dengan cara-cara yang adil bagi laki-laki sekaligus perempuan, sesuai dengan misi Islam untuk menyempurnakan akhlak mulia manusia, termasuk akhlak pada perempuan, agar manusia mampu menjadi bagian dari anugerah Islam atas semesta, termasuk atas perempuan.
Betapa penting memahami kondisi perempuan dunia, termasuk perempuan di Jazirah Arabia, pada saat turunnya al-Qur’an. Secara umum, perempuan hanya dipandang dan diperlakukan sebagai hartanya laki-laki, di mana kezaliman pada perempuan dianggap wajar.
Di India, istri dibakar hidup-hidup bersama jenazah suami; di Afrika, seluruh organ kelamin perempuan bagian luar dipotong (infibulasi); di Jazirah Arabia, bayi perempuan lazim dikubur hidup-hidup, istri dikoleksi sebagai harta, dihadiahkan, dijadikan harta yang diwariskan, bahkan dijual.
Terhindar dari Tafsir yang Menyalahgunakan Al-Qur’an
Dengan melihat sejarah lokal dan global ini, kita akan mampu melihat pergerakan nilai selama turunnya al-Qur’an. Kita mungkin juga akan terhindar dari menyalahgunakan al-Qur’an untuk melegitimasi kezaliman pada perempuan yang justru menjadi hal yang ditentang oleh Islam.
Misalnya, apakah ayat tentang pemukulan istri itu sedang membolehkan suami memukul istri dalam rangka mendidik. Sedangkan dalam realitasnya waktu itu suami bahkan bisa menjual istri atau justru sedang mendidik suami untuk tidak main pukul dengan memberi cara lain dulu, yaitu menasihati dan pisah ranjang, sebelum akhirnya dilarang dengan perintah mu‘asyarah bil ma‘ruf (bergaul secara bermartabat) yang meniscayakan tidak memukul.
Dalam kondisi di mana perempuan, termasuk istri, masih rentan menjadi korban KDRT hingga hari ini, tentu laki-laki dan perempuan perlu bersama-sama dididik. Tapi dalam situasi seperti ini, siapakah sesungguhnya yang lebih perlu dididik untuk tidak berbuat zalim? Suami atau istri?
Virus SIS Malaysia masih terus “menghantuiku” hingga kini. Terlebih setelah menjadi dosen Ilmu al-Qur’an dan Tafsir (IAT) di Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (Universitas PTIQ) Jakarta. Setelah aktif di isu perempuan yang terjadi di realitas. Maka virus itu kemudian memantik lahirnya gagasan pendekatan Keadilan Hakiki Perempuan dalam memahami al-Qur’an.
Ini adalah sebuah perspektif yang memandang laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai Manusia Utuh (bukan hanya makhluk fisik. Tetapi juga berakal dan berhati/berakal budi) dan Subjek Penuh (bukan sekunder apalagi objek, termasuk objek seksual). Caranya? Dengan mengakui pengalaman kemanusiaan khas perempuan yang laki-laki tidak punya.
Tidak Menambah Sakit Pengalaman Biologis Khas Perempuan
Tafsir atas al-Qur’an mesti kita pastikan tidak menambah sakit pengalaman biologis khas perempuan. Seperti menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui bayi, meskipun laki-laki tidak mengalaminya. Membuat pengalaman yang sudah adza (sakit), kurhan (melelahkan). Bahkan wahnan ‘ala wahnin (sakit dan lelah berlipat) menjadi makin sakit adalah tidak adil.
Juga, memastikan pengalaman kemanusiaan khas perempuan secara sosial, yakni kerentanannya untuk mengalami stigmatisasi, marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda hanya karena menjadi perempuan, tidak terjadi. Melakukan kezaliman pada siapa pun karena apa pun. Termasuk pada perempuan hanya karena menjadi perempuan tidaklah adil.
Di satu sisi, kita memahami jika laki-laki yang tidak mengalami 10 pengalaman kemanusiaan khas perempuan ini tidak menyadarinya. Problemnya adalah karena tidak mengalami, maka laki-laki tidak mengetahui bagaimana rasa sakitnya. Karena tidak tahu, maka menganggap tidak ada sehingga tidak mau mempertimbangkannya. Padahal ruang pengambilan keputusan sering kali masih di tangan mereka.
Di sisi lain, kita sangat berharap setelah kita beri tahu, mereka mau mendengar, mempercayai, lalu mempertimbangkan. Bukan sebaliknya tidak mau tahu, memandang salah, bahkan menganggap sesat.
Terima kasih Sisters in Islam. Semoga kita sama-sama terus saling menguatkan untuk keadilan Islam pada perempuan. Dan semoga semoga semakin banyak laki-laki dan perempuan yang sama-sama bisa terus saling mendengarkan dan saling support untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Termasuk kemaslahatan hakiki perempuan. Aamiin ya Rabbal ‘Alamiin. []