Mubadalah.id – Penghormatan dan pemuliaan yang selayaknya patut diberikan, tidak hanya kepada perempuan sebagai semata-mata ibu, manusia berhutang budi, bahkan kepada banyak tokoh perempuan dalam statusnya sebagai perempuan, karena jasa-jasanya yang besar bagi peradaban Islam.
Dari tangan para istri Nabi Muhammad (ummahat al-mu’minin), umat Islam belajar banyak hal. Para istri Nabi tersebut menjadi penyambung ajaran Islam pasca wafatnya.
Dalam konteks Indonesia, bangsa ini berhutang jasa dan budi pada beberapa tokoh pejuang perempuan. Cut Nyak Dien dan Malahayati adalah contoh perempuan yang memimpin perjuangan melawan penjajah untuk kemerdekaan Indonesia.
Merendahkan perempuan sama artinya dengan merendahkan, sekaligus melukai dan menafikan, perjuangan para perempuan tersebut.
Keunggulan, superioritas, dan kehebatan seseorang bukan terletak pada jenis kelamin, melainkan pada integritas pribadi, dan ini dapat berlaku pada laki-laki maupun perempuan.
Menarik untuk disampaikan pandangan yang luar biasa dari penyair mistik Islam terbesar sepanjang sejarah, Maulana Jalal al-Din al-Rumi. Dalam karya naratifnya Fihi Ma Fihi, Rumi mengatakan dengan sangat indah:
“Engkau tak pernah berhenti menista moral perempuan dan begitu sibuk ingin membersihkan jiwanya. Alangkah baiknya jika engkau membersihkan hidupmu sendiri melalui ia ketimbang melaluimu.”
“Bersihkanlah hidupmu melaluinya dan datanglah kepadanya. Pasrahkan saja padanya apa mau-mu, meski menurutmu tak mungkin”. (Ru-mi: Fihi Ma Fihi, Pasal 20).*
*Sumber: tulisan KH. Husein Muhammad dalam buku Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender.