• Login
  • Register
Jumat, 4 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Cara Perempuan Memaknai Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW

Dalam renungan feminis saya, peristiwa Isra’ Mi’raj ini menuntun kita untuk mengevaluasi diri seberapa jauh ketundukkan total manusia hanya kepada Allah. Seberapa jauh ketundukan perempuan untuk tidak menyekutukan yang lain dan hanya tunduk kepada Allah.

Lies Marcoes Natsir Lies Marcoes Natsir
19/03/2021
in Featured, Publik
0
Perempuan

Perempuan

1.2k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Bagi banyak orang Isra’ Mi’raj adalah kisah mistis. Al- Qur’an mencatatnya dalam  surat Al Isra’ (surat ke 17) ayat 1, yang dalam tafsirnya diartikan tentang perjalanan hambaNya (Nabi Muhmmad) dari Masjidil Haram ke Masjdil Aqsa, lalu naik ke Sidratul Muntaha. Umat Islam memperingatinya sebagai sejarah turunnya perintah shalat.

Nyatanya di seluruh dunia Isra’ Mi’raj dirayakan dengan rupa-rupa cara dan upacara. Di Jawa, misalnya, ini diperingati dengan ritus “selametan”. Di Keraton Yogyakarta ada kirab Rajeban, menggotong Paksi Buraq (burung Buraq) keluar dari keraton. Di  Jawa Barat ada pawai obor atau hajatan Mapag Rajab (menjemput Rajab). Di Temanggung ada tradisi Khataman Kitab Arya karya KH Ahmad Rifai Al Jawi yang didalamnya terdapat kisah Isra’ Mi’raj dalam versi keyakinan Islam Jawa.

Di luar Jawa terutama di Sumatera seperti Aceh, Melayu Riau ada “Kenduri Apam”. Kaum perempuan memasak dan membawa kue apam di mesjid atau ke balai rakyat. Sejenis kenduri kue juga dilakukan warga pesisir Pariaman Sumatera Barat yang menyebutnya Mendoa Sambareh. Di Takalar Sulawesi Selatan, upacara bulan Rajab disebut  Sangkobala untuk tolak bala.

Puncak perayaan  Isra’ Mi’raj  di Indonesia biasanya diisi dengan ceramah agama di mesjid-mesjid kaum/ besar. Di Istana Negara, peringatan Isra’ Mi’raj telah berlangsung sejak tahun 1951  sebagai upacara keagamaan resmi yang masuk ke dalam kalender Istana. Di masa Soekarno, pidato Isra’ Mi’raj presiden termasuk yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam Indonesia.

Jelaslah, peringatan Isra’ Mi’raj adalah tafsir. Isra’ Mi’raj diperingati sebagai peristiwa sosial keagamaan yang penting.  Lalu, apa artinya bagi kita sekarang? Menanyakan hal itu penting, sebab dalam Isra’ Mi’raj terkandung ajaran yang sangat fundamental tentang nilai-nilai monoteisme Islam. 

Baca Juga:

Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi

Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?

Hak dan Kewajiban Laki-laki dan Perempuan dalam Fikih: Siapa yang Diuntungkan?

Perceraian dalam Fikih: Sah untuk Laki-Laki, Berat untuk Perempuan

Dalam Isra’ Mi’raj terdapat  “historical background” tentang perjanjian pembebasan manusia dari tuhan-tuhan lain selain Allah.  Ini adalah ikrar  totalitas ketundukkan manusia yang mungkin melampaui deklarasi hak asasi manusia karena hanya kepada  Allah-lah  manusia bergantung dan berserah diri!

Pada malam Sabtu  12 Maret 2021 lalu, saya mengajukan pertanyaan ini sebagai pemantik diskusi  Kajian Gender dan Islam (KGI) yang diasuh Nyai Dr. Nur Rofiah, dosen PTIQ dan salah seorang penggagas Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).  Dalam tafsiran saya,  Isra’ Mi’raj  menggambarkan dua “etape” perjalanan yang patut diteladani. Pertama, etape horizontal,  menggambarkan perjumpaan-perjumpaan manusia dengan manusia lain; dan etape kedua, perjalanan vertikal untuk mengangkat kemulian manusia melalui pembebasannya dari penghambaan kepada manusia lain.

Melalui Nabi Muhammad SAW, Umat Islam  telah menerima ikrar tauhid itu. Demikian pentingnya perjanjian itu, hingga umat Islam melafalkannya  berulang kali dalam ritual shalat : “ Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah semata, Tuhan Semesta Alam yang tidak ada sekutu bagi-Nya”.      

Dalam renungan feminis saya, peristiwa Isra’ Mi’raj ini menuntun kita untuk mengevaluasi diri seberapa jauh ketundukkan total manusia hanya kepada Allah. Seberapa jauh ketundukan perempuan untuk tidak menyekutukan yang lain dan hanya tunduk kepada Allah. Ini karena dalam kehidupan sehari-hari  manusia berhadapan dengan relasi-relasi kuasa yang potensial menindas yang menjadikan manusia kehilangan kesanggupannya untuk hanya menyembah  dan bergantung kepada Allah.

Dalam perjalanan horizontal manusia, terjadi perjumpaan-perjumpaan yang melahirkan sistem dan struktur sosial yang seharusnya linier – horizonal berubah menjadi bertingkat/  berkelas/ berstruktur. Disanalah muncul kemungkinan  terjadinya hubungan-hubungan sosial yang tidak setara dan bahkan menindas.

Terutama karena sistem sosial itu telah menciptakan kesenjangan yang genjang dan membentuk hirarki: kaya-miskin, kuat-lemah, maksulin (dominan)-feminin (subrdinat), mayoritas – minoritas, dan seterusnya. Tanpa kesadaran kritis tentang adanya relasi dan ketergantungan yang dapat merampas kebebasan manusia, orang akan menerima kesenjangan itu sebagai  hal yang alamiah dan wajar.

Pada kenyataannya sejarah manusia telah memperlihatkan bagaimana kesenjangan itu menjadi basis penindasan berdasarkan ras, suku, kelas sosial, umur, agama, gender, keadaan fisik dan pembeda-pembeda lain yang dikonstruksikan manusia demi kepentingan kekuasaannya.

Dalam struktur sosial yang timpang serupa itu, perempuan, sebagaimana anak-anak, kaum miskin, orang dengan disabilitas,  kelompok minoritas berada di satu posisi, berhadap-hadapan dengan kelompok lain yang berpotensi menjadi penguasa dan penindasnya:  lelaki/ patriarki, orang dewasa, orang dengan sumber daya lebih, kaum non-disabilitas, dan mayoritas.

Dalam struktur yang timpang serupa itu perempuan menjadi lebih rentan. Antara lain karena dalam ragam identitas itu terdapat irisan interseksional. Sudahlah  perempuan, miskin, minoritas, powerless lagi.  Kenyataannya, begitu banyak hal yang membuat perempuan menjadi tergantung atau mengikatkan diri dan takut kehilangan ikatan-ikatan itu: perkawinannya, status perkawinannya, anak dan suaminya, sumber ekonominya, jabatan suaminya dan seterusnya.

Dalam kadar tertentu  hal itu  sedemikian rupa membuatnya begitu tergantung dan menganggapnya sebagai  tuhan-tuhan kecil mereka tempat mereka bergantung dan berlindung, bahkan untuk perkawinan yang memunculkan penderitaan seperti perkawinan poligami dan perkawinan dengan kekerasan.

Situasi itu dapat menjebak mereka masuk ke dalam penghambaan-penghambaan sosial baru yang sistemik. Apalagi jika penghambaan itu dilegitimasi oleh pandangan keagamaan yang patriarki maskulin. Selesai sudah!

Hal yang lebih mengerikan adalah  karena yang terjebak ke dalam sistem penghambaan itu bukan hanya mereka yang  kehilangan kebebasannya sebagai manusia, melainkan juga mereka yang memperhambakan  manusia lain dalam relasi-relasi timpang  yang terus dibangun dan  diglorifikasikan. Mereka menjadi tuhan-tuhan baru dalam kehidupan manusia terutama bagi  mereka yang dilemahkan dalam stuktur sosial seperti perempuan, anak-anak dan kaum miskin.

Tak sedikit perempuan diajari tentang kewajiban menyembah, patuh, tunduk dan pasrah kepada suaminya laksana menyembah Tuhannya.  Dalam relasi itu sang suami juga  menikmati konstruk budaya, agama, dan politik, yang memposisikannya sebagai  pelindung (untuk tidak dikatakan penguasa) atas istri dan anak-anaknya.

Tanpa ada kesadaran kritis, kedua pihak,  masuk ke dalam  sistem penghambaan di mana manusia yang satu  menciptakan ketergantungan  eksploitatif kepada manusia lain.  Dalam relasi serupa itu  kedua  pihak telah membangun dan mempercayai berhala-berhala baru  tempat manusia memuja dan dipuja, bergantung dan berlindung.

Dengan demikian, kedua pihak– baik korban eksploitasi maupun pelakunya, telah terjebak dalam cengkeraman relasi hamba dan tuan yang sekaligus menghapus  esensi dari  deklarasi manusia untuk mengakhiri sistem penghambaan sebagaimana diikrarkan Nabi Muhammad SAW melalui perjalanan spiritual Isra’ Mi’raj.

Di titik ini renungan Isra’ Mi’raj dengan memperbaharui deklarasi untuk membebaskan diri dari penghambaan  manusia atas manusia lain, perempuan kepada lelaki, buruh kepada majikan, minoritas kepada mayoritas, adalah cara untuk memperingati hakekat Isra’ Mi’raj. []

Via: https://rumahkitab.com/merebut-tafsir-cara-perempuan-memaknai-isra-dan-miraj/
Tags: feminismeislamIsra mi'rajNabi Muhammad SAWperempuanTradisi Nusantara
Lies Marcoes Natsir

Lies Marcoes Natsir

Peneliti senior pada Kreasi Prasasti Perdamaian. Bisa dihubungi melalui Liesmarcoes17@gmail.com

Terkait Posts

Kritik Tambang

Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan

4 Juli 2025
Isu Iklim

Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

3 Juli 2025
KB sebagai

Merencanakan Anak, Merawat Kemanusiaan: KB sebagai Tanggung Jawab Bersama

3 Juli 2025
Poligami atas

Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

3 Juli 2025
Konten Kesedihan

Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

3 Juli 2025
SAK

Melihat Lebih Dekat Nilai Kesetaraan Gender dalam Ibadah Umat Hindu: Refleksi dari SAK Ke-2

2 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Poligami atas

    Bisnis Mentoring Poligami: Menjual Narasi Patriarkis atas Nama Agama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Cara Pandang terhadap Orang yang Berbeda Keyakinan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Laki-laki Juga Bisa Jadi Penjaga Ruang Aman di Dunia Digital

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fokus Potensi, Difabel Bukan Objek Konten Kesedihan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Berjalan Bersama, Menafsir Bersama: Epistemic Partnership dalam Tubuh Gerakan KUPI
  • Islam Melawan Oligarki: Pelajaran dari Dakwah Nabi
  • Pak Bahlil, Kritik Tambang Bukan Tanda Anti-Pembangunan
  • Mengapa Islam Harus Membela Kaum Lemah?
  • Komitmen Disabilitas untuk Isu Iklim

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID