Mubadalah.id – Tulisan ini merupakan kelanjutan dari Di Bawah Bayang-bayang Dhawuh Kiai: Bagian Satu. Penulis hendak menyambung letupan isu yang belum sepenuhnya rampung itu.
Mungkin, sebagian pembaca tak melulu nyaman dengan upaya pembongkaran terhadap dominasi dhawuh kiai dalam masyarakat religius.
Apalagi, tulisan sebelumnya memiliki beberapa kesalahan penulisan (mistyping) yang cukup fatal.
Misalnya, penulis luput menyebut Surat An Naba’ ayat 1 sebagai sumber teks tentang peringatan tuhan atas kesilapan nabi-Nya.
Semestinya, penulis menyebut Surat ‘Abasa.
Pada mulanya, penulis sempat berkontemplasi, “Apa jangan-jangan ini tanda kualat?”
Namun, selepas menimbang motivasi awal penulisan, penulis mantab untuk melanjutkan sekuel kedua dari narasi soal dhawuh.
Hubungan dhawuh dan sikap
Apabila kita telisik agak mendalam, sistem dhawuh mengandung psikologi linguistik yang mengarahkan manusia untuk bersikap by order.
Seseorang cenderung bersikap menjadi seorang order agent yang senantiasa bersendhika terhadap dhawuh di pundaknya. Kita mengenalnya sebagai ndherek.
Di saat yang bersamaan, otak si order agent juga merespon dengan membentuk karakter order sender kepada figur yang mungkin berposisi lebih ridiculous.
Rantai ini terus berlangsung dan menjadi pola perilaku. Akibatnya, perlahan dhawuh telah menyokong bangunan piramida kasta yang menderajatkan manusia dalam undhak-undhakan order.
Membunuh kreativitas
Selain menghasilkan disparitas kedudukan antara pemberi dan penerima dhawuh, praktik pembiasaan ini di lingkungan yang lebih luas berpotensi membunuh kreativitas, intensi, imajinasi, kritik, serta otonomi berinisiasi.
Dhawuh membangun tembok tiga dimensi yang membatasi ruang berpikir seseorang. Orang tidak lagi merdeka bertindak.
Semuanya mesti berdasarkan pada mandat atau kiriman order. Sayangnya, belum banyak pihak yang berkenan menelisiknya.
Pada akhirnya, dhawuh lambat laun tumbuh sebagai sebuah norma sosial yang mesti ditaati oleh semua orang. Inilah yang pada banyak teks sering beroleh label “budaya kawula“.
Selain itu, muncul pula segelintir kalangan istimewa yang lalu memiliki prerogativitas memberikan order. Mereka berdiri sebagai bangsawan tanpa kraton tapi penuh kuasa.
Akhirnya, aspek kesederajatan (egalitarianism) antar sesama manusia rubuh dan bersalin otoritarianisme, otokrasi, absolutisme, totalitarianisme dan sentralisme kelompok khawash.
Keberanian sangsi dan sadar
Rasa-rasanya, penting untuk berani menggugat kemapanan dhawuh yang telah bercokol kuat dalam paradigma banyak kalangan dewasa ini—utamanya dengan makin berkibarnya bendera “Ayo, mondok!”.
Pesantren—khususnya yang mengidentifikasi dirinya salaf—sebagai lembaga yang banyak mengadopsi sistem monarki dalam memproduksi dhawuh merupakan pihak yang mesti memulai sebuah kesadaran untuk berbenah.
Insan pesantren perlu bersama-sama menginsafi pentingnya menanggalkan jubah dan selimut dhawuh yang selama ini mengemuli dirinya.
Tentu, melahirkan kesadaran ini tak mudah. Sekadar menyiapkan benih dan rahimnya pun memerlukan kerja keroyokan yang melibatkan semua pihak.
Membogem pondasi elitisme
Terlebih, pondasi elitisme pesantren telah subur tertanam dalam sekaligus menjulang gemilang. Seakan, mustahil untuk meruntuhkannya meski semilimeter saja.
Namun, kesadaran atas wacana dan kritisisme terhadap konstelasi masyarakat menuntut kita untuk berani membogem pondasi itu.
Lantas, apakah para pemuka pesantren kita berani untuk menanggalkan bayang-bayang dhawuh-nya?
Sulit kiranya untuk bisa memastikan, sekalipun beberapa figur pembaharu telah berani mencoba.
Hasilnya dapat sama-sama publik amati: masyarakat by order cenderung jamak resisten. Menjadi kawula dhawuh masih menjadi primadona.
Tentu, hal tersebut merupakan sebuah respon yang melegakan untuk mayoritas para pemuka. Mereka memang ingin selalu berkedudukan istimewa dan senantiasa berposisi di bagian muka.
Akar tunggang dhawuh yang mereka tanamkan masih cukup kuat untuk mencengkram para kawula, paria, mustadh’afin, sudra, sekaligus umat marjinal untuk selalu sungkem dan sendhika.
Tapi, bukankah saat di Thaif, Nabi menyapa Tuhan dalam duka dan lara dengan wa anta rabb al mustadh’afin?—Engkaulah Tuhan para marjinal? []