Mubadalah.id – Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) bersama Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina menggelar Tadarus Budaya Ramadhan, di Halaman Kampus ISIF Majasem, Kota Cirebon, pada Selasa, 26 Maret 2024.
Tadarus Budaya Ramadhan tersebut dimeriahkan langsung oleh konser musik Ki Ageng Ganjur, Yogyakarta: sebuah grup musik modern-tradisional religius yang mendunia.
Dalam Tadarus ini diisi dengan beberapa agenda kegiatan di antara Bincang Literasi bersama Gusdurian Cirebon, Pentas Budaya Lokal, Dialog Kebudayaan dan Istighosah dan Konser Ki Ageng Ganjur Yogyajarta feat Sarah Saputri dan Budi Cilok.
Kegiatan ini dihadiri langsung oleh Pembina Yayasan Fahmina Buya KH. Dr. Husein Muhammad, Rektor ISIF KH. Marzuki Wahid, Ketua Yayasan Fahmina KH. Dr. Faqihuddin Abdul Kodir. Serta Pengasuh Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina Ny. Nurul Bahrul Ulum, M.P.P.
Sementara itu, beberapa tokoh utama yang hadir dalam Tadarus Budaya Ramadhan adalah Budayawan dari Kalangan Nahdliyin Dr. Ngatawi Al-Zastrouw, Sekretaris Kesultanan Kanoman Hj. Ratu Raja Arimbi Nurtina, S.T, Kiai Kondang KH. Dr. Ibrohim Nawawi (Mang Dhalban) dan KH. Munib Khumaidi.
Dalam Dialog Kebudayaan, Dr. Ngatawi Al-Zastrouw mengatakan untuk memahami soal keterlibatan perempuan dalam sejarah. Maka setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi kunci utama dalam membacanya. Adapun tiga kunci utama tersebut di antaranya:
Pertama, sejarah harus kita dudukan sebagai rute peradaban suatu bangsa. Kalau kita ngutip bagaimana bangsa nusantara, tradisi nusantara, dan budaya nusantara berdiri. “Maka rute peradaban ini sejak awal telah menempatkan perempuan dalam konstruksi kebudayaan masyarakat. Sehingga sejak awal bangsa ini berdiri, sudah ada peran perempuan di sana,” katanya.
Referensi Hidup
Kedua, sejarah harus dilihat sebagai referensi hidup, kalau kita tidak mengerti sejarah, maka kita tidak bisa mengerti referensi hidup. Hal inilah, menurut Dosen UI tersebut, akhirnya membuat sebagian orang kerap kali menelan mentah-mentah.
Misalnya, dalam kasus kecil adalah soal khilafah, maka bagi orang yang tidak memiliki referensi hidup, ia akan memakan mentah-mentah soal konsep khilafah ini.
Lebih lanjut, Ia juga menjelaskan, bahwa bagi orang-orang yang tidak memiliki referensi hidup, maka dia tidak akan pernah tahu bahwa di Nusantara ini pernah ada sulthonah perempuan (pemimpin perempuan kesultanan Islam, atau menjadi ratu Islam).
“Karena dalam sejarah di bumi Nusantara ini banyak perempuan yang memimpin kerajaan Islam. Dan ini penting sebagai sumber referensi kehidupan,” jelasnya.
Ketiga, sejarah harus dijadikan sebagai sumber pengetahuan. Pria yang kerap disapa Kang Zastrouw itu menyampaikan bahwa sejarah harus menjadi mata air yang bisa menjadi pembelajaran bagi semua orang.
Bahkan, karena sebagai sumber mata air, maka menurut Kang Zastrouw di situ ada peran ulama yang berkebudayaan sebagai gorong-gorong untuk menyalurkan mata air tersebut.
“Peran budayawan dalam hal ini memiliki pengaruh untuk menyambungkan dari masa lalu, masa kini hingga masa depan nanti,” ungkapnya.
Sampah-sampah Peradaban
Namun sayangnya, Mantan Ketua Lesbumi PBNU ini mengungkapkan bahwa sejarah pada poin ketiga ini kerap kali tersumbat. Sehingga sumber air jernih peradaban kebudayaan ini tidak mengalir lagi. Karena banyak gorong-gorongnya yang mengalami tersumbat dan penuh dengan sampah-sampah peradaban bangsa lain.
“Sehingga kalau sumber mata airnya mampet terus gorong-gorongnya hilang maka yang mengalir adalah air comberan yang datang dari mana saja, comberan dari timur tengah, comberan dari eropa, dan dari mana saja. Bahkan tidak jarang kita bebersih dan bersuci tiap hari pakai air comberan,” paparnya.
Oleh sebab itu, dalam kesempatan Tadarus Budaya Ramadhan ini Kang Zastrouw mengingatkan bahwa ia ingin melalui dialog budaya ini ada spirit untuk membuka sumbatan ini dan membersihkan gorong-gorong. “Harapannya, peradaban kebudayaan kita kembali mengalir, dan kita kembali menggunakan referensi-referensi tersebut,” tukasnya. []