Stigma sosial yang menganggap laki-laki ‘baperan’ menjadi sebuah pandangan negatif. Karena menuntut laki-laki untuk tidak mengekspresikan perasaannya secara terbuka dan sensitif. Laki-laki harus kuat dan tidak boleh menunjukkan perasaannya.
Mubadalah. Id – Masyarakat memiliki ekspektasi yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan dalam hal bagaimana mereka seharusnya mengekspresikan emosi. Misalnya, laki-laki harus kuat dan tidak boleh menunjukkan perasaannya secara terbuka. Laki-laki yang menangis berarti lemah. Laki-laki harus bisa mengekspresikan emosi mereka dengan cara yang lebih maskulin, seperti marah atau agresif.
Sedangkan, ekspektasi masyarakat terhadap perempuan sebaliknya. Masyarakat menganggap perempuan lebih bebas untuk mengekspresikan emosi mereka secara terbuka. Meskipun seringkali mereka menganggap perempuan cengeng dan baperan jika menunjukkan emosi secara berlebihan. Namun, mereka berharap perempuan bisa mengekspresikan emosinya dengan cara yang lebih feminin, seperti menangis atau meratap.
Ekspektasi yang berbeda tersebut mengakitabkan adanya stigma sosial yang membatasi sikap laki-laki dan perempuan dalam menghadapi berbagai hal, termasuk dalam mengekspresikan emosi. Terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi munculnya ekspektasi tersebut. Di antaranya, faktor budaya, sosial, dan stereotip gender yang telah membentuk persepsi masyarakat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berperilaku.
Stigma sosial ini mengakibatkan norma gender tidak lagi seimbang. Perempuan merasa dilema dengan sifat femininnya dan laki-laki dilema dengan sifat maskulinnya. Di mana masyarakat berharap agar perempuan lebih emosional dan penuh perasaan, sementara laki-laki menjadi manusia yang lebih tegar, kuat, dan tahan terhadap emosi.
Ketika laki-laki menunjukkan emosi seperti sedih, cemas, atau frustasi, terkadang orang menganggapnya sebagai laki-laki yang memiliki kelemahan atau ketidakmampuan untuk mengendalikan diri. Bahkan, jika ia bersikap ‘baperan’, ia akan mendapat stigma kurang maskulin.
Laki-laki yang Bersikap ‘Baperan’
“Suami tuh gak boleh baperan. Kalo suami baperan, maka akan rusak rumah tangganya. Tapi, kalo istri baperan, itu wajar. Kalo kalian punya suami yang baperan, kalian harus ngajak dia touring. suruh dia cari komunitas, biar gak jadi suami yang gampang baper. Karena orang-orang baper biasanya kurang gaul.” Ungkap salah seorang Ustaz yang menyampaikan ceramah di kanal YouTube Al-Hajjah Dakwah Islam.
Kutipan ceramah tersebut mengindikasikan adanya stereotip gender terhadap laki-laki yang ‘baperan’. Kemudian yang menjadi pertanyaan, salahkan jika ada laki-laki atau suami yang ‘baperan’?
Jika kebanyakan masyarakat menganggap perempuan sebagai pengurus emosi dan laki-laki sebagai penentu keputusan yang rasional, maka mereka akan lebih menerima jika ekspresi emosi keluar dari pihak perempuan. Misalnya dalam menghadapi masalah, perempuan lebih identik sebagai makhluk yang mengedepankan emosi. Sehingga tidak jarang, masyarakat menganggap perempuan sebagai individu yang ‘baperan’.
Menurut Marissa Harrison, seorang pakar psikolog, perempuan merupakan makhluk yang perasa dan peka, sehingga membuat perempuan mudah luluh hatinya. Perempuan juga seringkali punya rasa sayang yang kebangetan terhadap seseorang.
Namun, lain halnya dengan laki-laki. Stigma sosial yang menganggap laki-laki ‘baperan’ menjadi sebuah pandangan negatif. Karena menuntut laki-laki untuk tidak mengekspresikan perasaannya secara terbuka dan sensitif. Laki-laki harus kuat dan tidak boleh menunjukkan perasaannya.
Laki-laki yang ‘baperan’ berarti lemah, ini tentu sangat merugikan. Karena dapat membatasi kebebasan laki-laki dalam mengekspresikan emosi mereka dengan secara terbuka. Hal ini juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental laki-laki, karena mereka akan merasa terpaksa menahan emosi dan mengalami stres internal.
Hak untuk Berekspresi
Pandangan masyarakat terhadap laki-laki yang menunjukkan sifat feminin atau dalam hal ini ‘baperan’, tidak selalu benar. Setiap individu memiliki hak untuk berekspresi sesuai dengan kepribadian dan preferensi mereka. Tanpa harus merasa takut terhadap stigma sosial yang sudah mengakar di kalangan masyarakat.
Namun, jika menjadi ‘baperan’ akan mengganggu kehidupan sehari-hari dan hubungan sosial, maka perlu adanya introspeksi dan upaya untuk mengatasi perasaan tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya laki-laki tidak terlalu memaksakan diri untuk menunjukkan sifat feminin atau ‘baperan’ jika itu tidak sesuai dengan kepribadian dan preferensi mereka.
Tentu saja, semua manusia memiliki perasaan dan emosi, termasuk perasaan sedih, marah, atau ingin menangis. Islam memberikan hak kepada manusia untuk merasakan emosi tersebut. Dan emosi adalah bagian alami dari pengalaman manusia. Islam mengakui adanya kompleksitas emosi dapat mengajarkan manusia agar lebih memahami dan mengendalikan emosinya dengan bijaksana.
Jika seseorang merasa sedih, marah, atau ingin menangis, silahkan! Karena Islam sendiri tidak melarang. Namun, Islam mengajarkan pentingnya berperilaku sewajarnya dan secukupnya. Seperti halnya membawa perasaan dalam setiap keadaan. Kita harus menyesuaikan dengan kerangka etika dan moral yang sesuai dengan ajaran agama.
Misalnya, dalam Islam, menangis sebagai ekspresi emosi dianggap manusiawi dan bisa menjadi bentuk penyerahan diri kepada Allah swt dalam do’a atau saat merasa hancur oleh ujian hidup. Rasulullah Saw sendiri sering menunjukkan emosi, termasuk menangis, dalam beberapa situasi.
Namun, perlu kita ingat, bahwa ekspresi emosi, termasuk keadaan ‘baperan’, tidak boleh menjadi alasan untuk berperilaku tidak baik, merendahkan diri sendiri dan orang lain, atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan etika Islam.
Jadi, sambil memahami emosi dan perasaan individu, penting juga untuk menjaga sikap yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Seperti saling menghargai perbedaan, kerja keras, kasih sayang, dan mengutamakan kerukunan.
Laki-Laki yang Baperan Tidak Selalu Buruk
Jadi, tidak salah kok jika laki-laki ‘baperan’ atau bahkan menangis. Laki-laki yang ‘baperan’ tidak selalu buruk dan lemah. Justru jika laki-laki ‘baperan’, ia akan memiliki beberapa kelebihan dan keuntungan. Seperti memiliki tingkat kepekaan emosional yang tinggi terhadap perasaan orang lain, menjadi pendengar yang baik dan empatik, serta menjadi pasangan yang tulus dan perhatian.
Meskipun ada beberapa ciri yang terkesan negatif, seperti membesar-besarkan masalah kecil dan mudah meluapkan amarah. Namun, hal tersebut tidak dapat menjadi tolak ukur ia salah atau buruk. Setiap orang memiliki karakteristik dan keunikan masing-masing, termasuk laki-laki yang ‘baperan’. Oleh karena itu, tidak perlu merasa salah atau merasa lemah karena menjadi laki-laki ‘baperan’.
Mari hentikan stigma sosial yang mendiskriminasi semua pihak, baik laki-laki maupun perempuan. Kita perlu memberikan dukungan dan ruang yang aman bagi tiap individu, untuk mengekspresikan perasaan mereka tanpa takut dijuluki dengan sebutan yang merendahkan. []