Tadi silaturahmi ke rektor UIN Sunan Kalijaga yang baru Prof Dr. Al Makin. Ngobrol ngalur ngidul di kantornya. Sayangnya tadi tidak sempat foto bareng dan tidak bisa merokok juga. Lalu Pulangnya lewat gedung bernama “Dra. Hj. Khadijah Nasution”, yang keberadaannya baru saya ketahui.
Ini bisa dikatakan satu-satunya nama gedung di UIN Suka yang menggunakan nama perempuan, di tengah dominasi nama laki-laki. Dan juga mungkin satu-satunya yang tanpa gelar “prof” di depannya. Ada yang menduga, ini semata representasi saja, apalagi gedungnya bukan yang utama. Semoga tidak demikian.
Omong-omong siapakah Dra. Khadijah Nasution ini?
Resminya beliau dosen tafsir hadits, bahkan kalau tidak salah kepala jurusan pertama program studi tersebut. Tapi saya bukan mahasiswanya, jadi tak punya kenangan sama sekali. Saya mengenang perjumpaan dengan beliau dalam frekuensi yang lain sekian tahun lampau, yakni ketika aktif di masjid UIN Suka (demikianlah masa lalu saya, nggak buram-buram amat).
Ketika masjid ini dikelola oleh para senior seperti Kanda Faizal Indra Az, Ma’mun Zein, Mbah Dukuh dan lain-lain, mengadakan banyak kegiatan, di antaranya pengajian tafsir setiap senin malam sehabis shalat magrib. Nah pengampunya waktu itu adalah Dra. Khadijah Nasution itu.
Konon pengajian tafsir itu sudah berlangsung tahunan, terus konsisten diselenggarakan. Mungkin sejak era Kang Otong Abdurrahman, Arifin Thaha, Musrin, dan lain-lain, yang sudah tidak ada lagi ketika saya datang. Hanya nama mereka yang Saya dengar.
Bu Khadijah waktu itu rasanya sudah sepuh sekali. Bisa jadi ia generasi awal pengajar di kampus ini. Wajahnya bersih, sederhana seperti tampilan seorang bunda. Memang ia pribadi yang amat bersahaja. Dari rumahnya di selatan kampus, di komplek perumahan dosen, ia berjalan kaki ke masjid atau ke kampus dengan berkerudung model lama, bukan seperti jilbab sekarang. Jalannya pelan sekali. Demikian juga ketika memberikan pengajian tafsir tersebut, suaranya pelan dan lembut. Tidak berapi-api.
Setiap kali pengajian, beliau membuat “semacam” makalah. Paling atas tertulis satu hingga lima ayat Quran tulis tangan beliau, lalu di bawahnya terjemahan dan tafsirnya ditulis dengan mesin ketik. Setiap senin siang, teman-teman mengambil makalah yang beliau tulis, dan kemudian menggandakannya dalam bentuk stensilan. Lalu membagikannya ketika pengajian akan dimulai. Sekali dua saya juga pernah mendapat tugas mengambil makalah dan menggandakannya, serta sekaligus membagi-bagikannya ke jamaah yang mengikuti pengajiannya.
Jadi beliau tidak mengacu ke satu kitab tafsir, tapi sudah mengkompilasi dari beberapa tafsir. Tampak sekali beliau seorang yang alimah. Saya ingat suatu kali beliau mengatakan bahwa semua orang nantinya akan masuk sorga. Termasuk yang bukan Muslim. Ya karena itulah rahmat Allah, katanya. Waktu itu banyak peserta pengajian yang kaget. Tapi beliau dengan tenang menjelaskannya.
Sekarang saya kira ramai orang omong ulama perempuan, tapi sekian tahun lalu, sosok seperti Bu Khadijah sudah dimunculkan oleh teman-teman. Sebagai catatan saja, hampir 90% jamaah masjid sekaligus jamaah pengajiannya adalah laki-laki. Dan itu bukan mahasiswa dari UIN saja, juga masyarakat umum, karena masjidnya memang terbuka untuk umum.
Sayang sekali makalah-makalah yang beliau tulis tak terarsip dengan baik. Kalau tidak mungkin bisa dikumpulkan dan diterbitkan menjadi “Tafsir Khadijah Nasution”. Demikian sekadar kenangan dan teriring doa untuk beliau. Lahal fatihah. []