Mubadalah.id – Kini, telah lewat masanya membaca buku rujukan tentang fiqh yang menyudutkan, membebani, dan membatasi ruang gerak perempuan. Sebagai seorang perempuan, itulah kesan yang saya tangkap saat membaca buku Fiqh Al Usrah karya Kiai Faqih.
Dulu, saya membaca buku-buku fiqh kontemporer dengan hati yang dilema. Hukum halal-haram, baik-buruk, seolah jadi konsekuensi tunggal atas pilihan hidup perempuan. Sebagai seorang perempuan yang memilih kuliah dan berkarir, seringkali saya dihadapkan pada pernyataan bahwa diri saya tak bisa menjadi perempuan ‘baik’ menurut versi Islam.
Benarkah demikian? Benarkah Islam datang untuk membatasi ruang gerak perempuan? Fiqh Al Usrah hadir untuk menjawab sepotong puzzle yang hilang dari buku-buku yang pernah saya baca.
Seperti puzzle, buku ini tentu saja tidak menggantikan buku-buku Fiqh lain yang telah lama beredar. Tapi, ia melengkapi dan menggenapkan pemahaman atas tujuan Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Ia memantik dimensi akhlak dalam pembahasan sebagian dari isu-isunya.
Islam mengajarkan bahwa ibadah tidak berputar dalam ritual spiritual semata. Tanpa akhlak sosial yang baik, tak ada gunanya ibadah spiritual yang kita lakukan. Bukankah kita ingat, bahwa ada seorang yang rugi di hari kiamat. Ia rugi bukan karena banyaknya utang. Tapi, sebab pahala puasa dan salatnya habis sebab mendzalimi tetangganya.
Akhlak dalam Keluarga
Mengapa penting mengkaji akhlak dalam keluarga? Sebab, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat. Keluarga yang berakhlak baik akan menjadi ruang pendidikan dan pengembangan bagi setiap individu yang ada di dalamnya.
Keluarga terdiri atas individu-individu yang terikat dalam perkawinan. Kebaikan dalam kehidupan rumah tangga akan menjadi awal bagi kebaikan di ruang publik yang lebih luas.
Fiqh Al Usrah mengajak kita menggunakan nalar kritis ketika membaca teks rujukan, baik ayat Al Quran maupun hadist. Contohnya tentang relasi laki-laki dan perempuan. Beberapa orang memandang harus ada batasan ketat antara relasi laki-laki dan perempuan di luar hubungan pernikahan.
Pembatasan interaksi kedua jenis kelamin di luar hubungan pernikahan seringkali disandarkan pada kekhawatiran akan dosa ikhtilat dan khalwat. Jika merujuk pada hal tersebut, tentu kita akan merasa kerepotan sebab nyatanya ada banyak hal yang membutuhkan interaksi antara kedua jenis kelamin di berbagai ruang publik.
Padahal, sebagai manusia, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki misi yang sama, yaitu menjadi khalifah di muka bumi. Harusnya kekhawatiran atas dosa ikhtilat dan khalwat tidak boleh menjadi penghalang bagi kita untuk menunaikan tugas dan tanggung jawab kita, terutama di ruang publik.
Pembatasan Ikhtilat
Berbagai sudut pandang baru saya temukan di buku ini. Misalnya tentang pembatasan ikhtilat yang konon katanya bisa memancing kehadiran setan. Keberadaan setan dalam interaksi laki-laki dan perempuan, harusnya dimaknai sebagai kewaspadaan, bukannya pengharaman total. Bukankah di pasar dan kamar mandi juga ada setan? Tapi tentu saja kita tidak dilarang melakukan aktivitas di kedua tempat tersebut, bukan?
Kita juga diajari untuk melihat suatu permasalahan dari perspektif mubadalah. Tiga hal dasar dalam relasi mubadalah, adalah bermartabat, adil, dan maslahat. Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan Bu Nur Rofiah, bahwa setiap manusia adalah sama di mata Allah, sama-sama hamba, yang membedakan hanyalah kadar ketaqwaannya.
Salah satu contoh permasalahan yang dibahas adalah relasi suami-istri. Alih-alih melanggengkan budaya patriarki yang memandang laki-laki adalah sebagai pemilik dan penguasa istri, buku ini justru memaparkan bahwa laki-laki dan perempuan adalah partner yang setara dalam pernikahan.
Hal ini tentu amat sesuai dengan kata zawj yang berarti pasangan. Zawj digunakan oleh Al Quran untuk menggambarkan relasi antara laki-laki dan perempuan di dalam ikatan pernikahan.
Selalu menarik membaca lembar demi lembar pembahasan suatu topik dalam buku ini. Rasa penasaran dan nalar kritis saya terpuaskan setelah mendengar sudut pandang yang disajikan. Seringkali saya ingin memotret suatu halaman dan mengunggahnya di status sosial media.
Perempuan Subjek Penuh Kehidupan
Buku ini juga menegaskan bahwa mayoritas ulama menganggap mempelai perempuan adalah subjek penuh. Ia bukan objek yang bisa bebas dinikahkan walinya tanpa seizin darinya.
Kendati akad nikah terucapkan oleh pihak laki-laki sebagai wali perempuan dan mempelai laki-laki, mahar tetap menjadi hak milik mempelai perempuan. Ia pun berhak menggugat cerai kepada suaminya jika tak bisa memenuhi kewajiban.
Saat membaca topik Perkawinan Toksik bukan Alasan Hindari Zina, saya bertepuk tangan di dalam hati. Buru-buru menikah hanya demi alasan menghindari zina bukanlah kebaikan. Zina adalah suatu keharaman. Menghindari zina tidak boleh dengan keharaman yang lain yaitu menyakiti pasangannya sebab ia memiliki banyak sisi red flag.
Tentu saja hal ini tidak bermaksud untuk mengecilkan niat mulia dalam pernikahan. Namun, tujuannya adalah melindungi perempuan dan anak-anak dari kesewenang-wenangan laki-laki yang hanya bersandar pada hukum ‘sah’ secara agama. Ikhtiar untuk melindungi perempuan dan anak-anak dari kesewenang-wenangan pihak lain yang hanya mengatas namakan ‘sah’ menurut Islam adalah tanggung jawab kita semua.
Menikah bukan hanya untuk menghalalkan hubungan seks antara suami istri. Sebab, kehalalan dalam hubungan seks hanya semacam appetizer dalam sebuah hubungan. Makanan utamanya adalah cinta kasih dan kebahagiaan antara kedua mempelai. Karenanya, akhlak paling utama dari keduanya adalah tanggung jawab bersama dari kedua belah pihak.
Nasihat dan Hikmah
Selain mengulas topik terkait keluarga, saya juga menemukan banyak nasihat dan hikmah yang terselip di antara beberapa ulasannya. Contohnya saat secara tersirat kita diingatkan agar tidak mudah merasa lebih baik daripada orang lain.
Orang yang biasa memandang buruk orang lain, akan mudah melakukan keburukan kepada orang tersebut. Seringkali manusia yang benci kepada manusia lain tidak bisa bersikap adil kepada mereka. Padahal adil adalah yang lebih dekat pada ketaqwaan.
Perspektif keadilan juga tampak pada pembahasan keharaman hukum Nikah Tahlil. Nikah Tahlil artinya, pasangan suami istri yang sudah bercerai tiga kali, lalu suami meminta istri menikah lagi lalu bercerai dengan suami baru hanya untuk menghalalkan rujuk dengan suami pertama.
Hal ini menegaskan pentingnya akhlak tanggung jawab berumah tangga. Yaitu komitmen dan keseriusan masing-masing pihak dalam ikatan pernikahan untuk membangun keluarga. Keharaman nikah tahlil mengajak kedua pihak mempelai untuk tidak mempermainkan janji dalam pernikahan. Serta memikirkan betul-betul jika akan memutuskan untuk berpisah.
Masih banyak topik lain tentang persiapan dan pelaksanaan pernikahan serta akhlak dalam membangun rumah tangga yang tak kalah menarik untuk kita baca dalam buku ini. Sudut pandang baru yang melengkapi pembahasan hukum halal haram tersajikan dengan bahasa yang ringan, mengalir, dan mudah kita pahami. Kita bisa menjadikannya bahan renungan mandiri maupun diskusi bersama pasangan.
Membaca Fiqh Al Usrah mengetuk kesadaran terdalam saya sebagai seorang muslim. Bahwa mewujudkan kehidupan keluarga yang kokoh, terpelajar, dan membahagiakan adalah kewajiban kolektif umat Islam. Karena keluarga yang maslahat akan menjadi cikal bakal masyarakat yang maslahat pula. []