Resensi Buku: Fiqh Al-Usrah
Penulis: Faqihuddin Abdul Kodir
Penerbit: Afkaruna
Tahun Terbit: Februari 2025
Jumlah Halaman: 292
Genre: Nonfiksi, Literatur Islam
Mubadalah.id – “Air susu istri yang disusukan kepada sang bayi adalah kewajiban suami, sehingga istri berhak menuntut bayaran kepada suaminya.” (Halaman 138, Bab VI: Dimensi Akhlak dalam Kehidupan Relasi Pasangan Suami Istri)
Kalimat di atas benar-benar seperti tamparan yang menyadarkan, mengoyak narasi-narasi konvensional tentang fikih keluarga yang selama ini menimbulkan kesenjangan (diiringi lagu Meghan Trainor ~ Just A Friend to You). Kalaupun berjalan semestinya, niscaya perempuan yang menyusui lima anak seperti aku akan bergelimpangan kekayaan, tapi ini bukan tentang meminta bayaran kepada suami, apalagi kalau suaminya bukan Irwan Musry.
Dalam diskursus umum, peran suami diunggulkan sebagai pemberi nafkah, dan istri terposisikan sebagai pelayan dalam urusan domestik dan seksualitas. Pemahaman ini terwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, digaungkan dari mimbar ke mimbar. Seolah menjadi pakem baku dalam rumah tangga, seperti karang yang tegak, tidak bergerak, meskipun jiwa-jiwa Nalar Kritis Muslimah kita mengombak. Benarkah nafkah hanya kewajiban suami dan benarkah kewajiban istri hanya melayani suami?
Kiai Faqihuddin Abdul Kodir hadir untuk menggeser narasi tersebut melalui pendekatan yang lebih manusiawi dan substansial: akhlak. Inilah yang menjadi nafas utama dari karyanya, Fiqh Al-Usrah. Sebuah buku yang tidak hanya menelaah hukum-hukum fikih keluarga secara tekstual, tetapi menghidupkannya melalui perspektif etis dan spiritual dalam kontekstual.
Alternatif Narasi Fikih Keluarga
Di tengah derasnya arus konten digital yang penuh dengan curahan konflik rumah tangga, hingga kekerasan dalam relasi suami istri, buku ini seperti ruang tenang.
Membacanya serasa mengalami healing dari brainrot (istilah yang aku temukan dalam dunia psikologi melalui akun IG Dear Astrid). Yaitu pembusukan otak disebabkan terlalu banyak melihat konten yang tidak bisa di-s(h)aring di media sosial. Fiqh Al-Usrah memberi alternatif narasi fikih keluarga yang lebih membumi dan relevan dengan kehidupan.
Fiqh Al-Usrah berangkat dari sabda Nabi Muhammad Saw. “Aku diutus tidak lain kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Semangat inilah yang menjadi landasan utama Kiai Faqih dalam menulis buku ini.
Terdapat tujuh bab yang tersusun secara sistematis dan progresif. Mulai dari Pendahuluan, yang menjelaskan latar belakang lahirnya konsep Fiqh Al-Usrah serta urgensi penggunaan perspektif akhlak dalam memahami hukum keluarga Islam. Penulis menolak untuk menyajikan tulisan melalui tekstual hukum Islam semata yang cenderung legalistik, tapi memilih jalur etika sebagai bingkai utama.
Tema kedua mengusung Sumber-Sumber Akhlak Mulia dalam Hukum Keluarga. Bab ini menguraikan berbagai dalil dan referensi keislaman yang mendukung pentingnya akhlak dalam relasi rumah tangga. Penulis juga menggunakan pendekatan Mubadalah yang telah melekat dengan ijtihadnya. Sehingga membuka ruang bagi relasi yang setara, adil, dan bermartabat.
Tema ketiga dan keempat dimulai dengan Akhlak dalam Relasi Laki-Laki dan Perempuan serta Dimensi Akhlak dalam Persiapan Perkawinan. Kedua bab ini secara mendalam membahas bagaimana akhlak menjadi pondasi dalam membangun relasi gender yang sehat. Selain itu bagaimana calon pasangan dapat mempersiapkan diri secara spiritual dan moral menuju jenjang pernikahan.
Lensa Akhlak
Lalu pada bab kelima: Akhlak dalam Prosesi Akad Nikah. Penulis menyentuh berbagai aspek dalam proses pernikahan, mulai dari tata cara khitbah (melamar), diskusi tentang mahar, hingga prosesi akad nikah. Tentu saja semuanya penulis analisis melalui lensa akhlak, bukan sekadar formalitas syariat.
Bagian keenam: Dimensi Akhlak dalam Kehidupan Pasangan Suami Istri. Ini adalah bagian paling menggugah menurut aku yang banyak menemukan problematika rumah tangga di sekitar. Hal-hal yang kita nilai sensitif tentang relasi seksual dan terutama tentang manajemen keuangan, pembagian peran domestik, hingga pembagian peran pengasuhan anak. Semua itu terkupas dengan penekanan pada kesalingan, penghargaan, dan keadilan.
Salah satu bagian yang tak kalah menarik dari buku Fiqh Al-Usrah adalah pembahasan mengenai konsep nafkah dalam rumah tangga. Penulis menyajikannya secara unik melalui analogi tiga model keranjang ekonomi, yang menggambarkan pola pengelolaan keuangan antara suami dan istri dalam rumah tangga.
Pertama, keranjang maksimal, yaitu ketika seluruh pendapatan dan pengeluaran terkelola secara bersama tanpa ada batas kepemilikan individu. Semua harta dianggap milik bersama, baik yang diperoleh suami maupun istri.
Kedua, keranjang minimal, di mana masing-masing pihak tetap memiliki otoritas atas penghasilan pribadi mereka. Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga bisa berasal dari salah satu atau keduanya, namun masih memungkinkan adanya kepemilikan pribadi bila masing-masing mampu saving.
Ketiga, keranjang menengah, yakni perpaduan antara dua pendekatan sebelumnya. Pengelolaan keuangan dilakukan secara kolektif seperti pada keranjang maksimal, namun masih memungkinkan ruang untuk kepemilikan pribadi sebagaimana dalam keranjang minimal.
Ruang Reflektif Makna Keadilan
Tiga skema ini tidak hanya fleksibel, tetapi juga mampu menangkis klaim populer yang beredar luas di masyarakat: “uang suami adalah milik istri, dan uang istri tetap milik istri.” Pendekatan ini menawarkan perspektif yang lebih adil, realistis, dan adaptif terhadap konteks manajemen keuangan keluarga.
Tak berhenti di situ, buku ini juga mengupas aspek lain seperti tanggung jawab pelayanan rumah tangga, pembelian kebutuhan pribadi seperti skincare, hingga biaya pengobatan saat istri sakit.
Menariknya, yang kita anggap hal itu adalah beban suami, justru mayoritas ulama klasik memandang bahwa hal-hal tersebut tidak termasuk dalam kewajiban suami secara syariat. Sebaliknya, tanggung jawab tersebut terbebankan kepada perempuan sendiri atau masih tanggung jawab orang tuanya, kecuali jika ada kesepakatan atau kondisi khusus yang mengubahnya.
Pembahasan ini membuka ruang refleksi yang dalam tentang makna keadilan dan kesalingan dalam rumah tangga melalui dimensi akhlak. Akhlak di sini bukanlah sekadar sopan santun atau gestur simbolik seperti menundukkan kepala atau berkata “nuwun sewu,” melainkan prinsip hidup dalam berelasi dengan Allah Swt. dan sesama manusia.
Pendekatan Akhlak
Pada bab ketujuh atau terakhir: Mengelola Dinamika Keluarga dan Rumah Tangga. Bab penutup ini membahas bagaimana menghadapi problematika keluarga, konflik rumah tangga, dan menjaga keharmonisan melalui pendekatan akhlak. Solusi yang penulis tawarkan bukan bersifat normatif, melainkan reflektif dan praktis, membuka ruang dialog dan penyelesaian konflik secara sehat.
Buku ini tidak hanya mengambil rujukan dengan wawasan yang luas dan kehati-hatian, tetapi juga perenungan. Melalui Fiqh Al-Usrah, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir mengajak kita untuk membumikan kembali fikih ke dalam kehidupan nyata. Yakni dengan menjadikannya sebagai sarana menghadirkan kasih sayang, keadilan, dan keberkahan dalam rumah tangga.
Buku ini sangat saya rekomendasikan bagi para calon pasangan, suami istri, praktisi pendidikan, hingga para dai, influencer dakwah, dan konten kreator religius yang ingin menghadirkan fikih keluarga dengan dimensi akhlak dan rahmat.
Dengan gaya bahasa yang mungkin sedikit agak berat namun argumentatif, mungkin pembaca yang belum terbiasa dengan tulisan Kyai Faqih akan langsung terhipnotis. Alih-alih mendebatnya. Dalam hati bergumam “kemana ajaaa aku selama ini?” ~
Dan seperti biasa, buku-buku Kiai Faqih sekalu mampu menjembatani antara teks keislaman klasik dan realitas kehidupan, tanpa terkecuali Fiqh Al-Usrah yang mencerahkan, menyejukkan, fa insya Allah relate li kulli zaman wa makan. []