Mubadalah.id – Generasi Z, yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, tumbuh di era krisis iklim yang semakin nyata. Mereka menyaksikan banjir bandang, rob, kebakaran hutan, dan polusi udara yang intensitasnya semakin memburuk. Boleh kita katakan mereka adalah penerima warisan, bukan harta benda, melainkan pewaris krisis lingkungan.
Di daerah saya, utara jalan raya pantura Pekalongan, lahan hijau untuk bermain bagi kalangan muda makin menyempit. Zaman saya kecil, di pertengahan tahun 2000-an, masih ada dua lapangan berukuran sedang yang biasa kami pakai untuk bermain bola di sore hari. Sekarang lapangan sepakbola daerah kami mayoritas sudah hilang termakan banjir rob, menjadi rawa-rawa bagi habitat makhluk hidup lainnya.
Kisah ini menjadi bukti bahwa kerusakan lingkungan telah merenggut tempat bermain anak-anak muda desa. Ketika lahan terbuka untuk bermain sudah hilang tertelan zaman, di samping teknologi yang semakin canggih, maka pemuda masa kini dominan memilih menghabiskan waktu dengan menggerak-gerakan layar sentuh yang ada di genggaman mereka.
Dari smartphone yang mereka punyai, alat itu akhirnya terpakai untuk mendorong kampanye jaga lingkungan di media sosial. Meski tidak seluruhnya, sebagian besar Gen Z baik secara individu maupun komunitas, aktif mengkampanyekan lingkungan, baik online atau aksi nyata.
Gen Z adalah generasi yang paling peduli terhadap lingkungan. Menurut survei dari Goodstats, 78% Gen Z tertarik menjalani gaya hidup zero waste, dan 16% dari mereka sudah mulai melakukannya.
Di Indonesia, Gen Z menjadi garda terdepan dalam gerakan lingkungan. Dengan tagar seperti #SaveOurEarth #ZeroWeste,dan #SayNoToPlastic. Mereka menanam pohon massal, mengurangi plastik sekali pakai, kelola sampah, hemat energi, serta gerakan beralih ke transportasi umum.
Semangat Gen Z Jaga Lingkungan
Salah satu aksi paling populer di kalangan Gen Z adalah penanaman pohon. Di Pekalongan, Jawa Tengah, misalnya, anak-anak muda yang tergabung dalam Korps PMII Putri melakukan aksi tanam pohon di wilayah yang tanahnya gersang, belum lama ini. Mereka percaya, setiap pohon yang tertanam bisa menyerap karbon dioksida (Co2) hingga 22 kilogram per tahun.
Di Bali, khususnya Denpasar, gerakan “Zero Waste Bali” dipimpin Gen Z seperti Putu (19 tahun). Mereka lawan pariwisata kotor dengan kampanye #NoplasticBali, mengubah sampah organik menjadi sesuatu yang bernilai. Di Jakarta, komunitas yang terisi sebagian besar oleh Gen Z seperti “Trash Hero Indonesia” rutin menggelar cleanup beach di Pantai Ancol dan pesisir Jakarta lainnya.
Gen Z juga pionir gerakkan hemat plastik. Mereka ganti kantong plastik dengan tas kain reusable, botol minum stainless steel, dan sedotan bambu. Di kampus-kampus seperti Universitas Indonesia, menggalakkan program “Fantastik” (UI) untuk mengurangi plastik sekali pakai.
Lalu mendorong penggunaan tas belanja dan tumbler pribadi demi menciptakan lingkungan kampus yang lebih hijau dan berkelanjutan. Survei firma jasa profesional global, Deloitte, 2025 menyebut 65% Gen Z Indonesia rela bayar lebih untuk produk ramah lingkungan.
Antusiasme Gen Z dalam jaga lingkungan memang tidak perlu kita ragukan lagi. Sebagai korban dari krisis iklim, dari rusaknya lingkungan akibat keserakahan para pejabat, politisi dan oligarki, mereka tetap punya motivasi. Tujuannya supaya generasi mendatang tetap dapat menghirup udara sejuk, menikmati air bersih, melihat pepohonan yang rimbun, dan terhindar dari segala bencana.
Semangat ini bikin Gen Z dijuluki “generasi penyelamat bumi”. Mereka tak cuma bicara, tapi juga bertindak. Di beberapa tempat, upaya mereka hasilkan dampak positif. Sungai-sungai tercemar yang dibersihkan oleh Pandawara Group misalnya, dari yang sangat kotor menjadi agak lebih bersih. Di salah satu wilayah Pekalongan, konsistensi anak muda menanam pohon mangrove, sudah mulai tampak hasilnya. Yakni menjaga desa tersebut dari hantaman banjir rob dari arah pesisir.
Berhadapan dengan Kebijakan Pemerintah
Di tengah semangat membara Gen Z yang tak kenal lelah menjaga lingkungan, generasi ini justru berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang ironisnya memfasilitasi kehancuran alam itu sendiri. Sementara anak muda berjuang melawan plastik sekali pakai dan emisi karbon, pemerintah malah memberikan lampu hijau bagi konsesi tambang ilegal yang merusak sungai dan hutan lindung. Selain itu proyek infrastruktur raksasa yang menebas ribuan hektar pepohonan demi kepentingan korporasi.
Kontradiksi ini bukan hanya mengkhianati mimpi Gen Z akan bumi hijau. Tapi juga membuktikan bahwa semangat mereka harus kian membara untuk menuntut perubahan radikal dari pemimpin yang seharusnya jadi pelindung, bukan algojo lingkungan.
Di Indonesia, salah satu penyebab rusaknya lingkungan adalah aktivitas tambang yang begitu masif. Dengan dalih menggejot pertumbuhan ekonomi, para penguasa tambang baik atas izin pemerintah maupun secara ilegal, terus membabi buta mengeruk kekayaan alam di bumi pertiwi. Sumatra adalah contoh, ketika perut bumi dihabisi, maka yang terjadi adalah bencana yang memakan korban jiwa.
Banjir di Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Aceh, menurut analisis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), adalah akibat beralih fungsinya kawasan hulu, dari hutan primer menjadi perkebunan kelapa sawit, tambang, proyek PLTA sampai hutan industri. Koordinator Nasional Jatam, Melki Nahar mengutip KBA News, Sabtu, 27 Desember 2025, menegaskan bahwa hampir seluruh kabupaten/kota di Sumatera terkepung aktivitas industri ekstraktif yang berdiri atas izin negara.
Ruang Hidup Rakyat Dirampas
Data Jatam memperlihatkan angka yang mengiris hati kita semua. Jatam menyebut adanya hampir 2.000 izin tambang dengan luas konsesi lebih dari 2,5 juta hektar. Termasuk 546 izin yang berada di kawasan rawan bencana.
Data lain menyebut, Indonesia mengalami kerusakan hutan tropis akibat industri pertambangan paling tinggi di dunia dengan menyumbang 58,2 persen deforestasi dari 26 negara yang diteliti. Itu berdasar publikasi Stefan Giljum dari Institute for Ecological Economics, Vienna University of Economics and Business, Austria dan tim, di Jurnal PNAS tahun 2022 silam.
Pemerintah sering beri lampu hijau proyek ekstraktif demi target ekonomi, merampas ruang hidup rakyat. Keuntungan mayoritas hanya mengalir ke oligarki dan elite politik. Sementara rakyat biasa yang tanggung akibatnya. Yang lebih mencengangkan, negara kerapkali memaksa penambangan sumber daya alam dengan cara “merampas” lahan milik masyarakat desa, walau ada penolakan dari masyarakat. Meskipun ada ganti rugi, namun bagi sebagian besar warga harga itu tidak sebanding.
Di berbagai tempat, seperti di Wadas misalnya, ribuan petani dan warga adat kehilangan tanah warisan mereka secara paksa, digusur oleh aparat negara atas nama Proyek Strategis Nasional yang dijanjikan bakal membawa kemakmuran. Saat rakyat bangkit melawan dengan demonstrasi damai, mereka justru dihadapi kekerasan brutal: dipukuli aparat penegak hukum, ditangkap sewenang-wenang, dituduh sebagai provokator bayaran, bahkan yang lebih tidak manusiawi yakni dibunuh seperti yang pernah terjadi pada sosok Salim Kancil.
Pengkhianatan Terhadap Gen Z
Tragedi ini bukan hanya pelanggaran hak asasi manusia, tapi juga pengkhianatan terhadap janji pembangunan berkelanjutan, meninggalkan luka mendalam bagi generasi masa depan. Generasi yang seharusnya mengantongi perlindungan dan jaminan dari negara. Baik jaminan pendidikan, sosial, rasa aman, tempat tinggal, dan lain-lain.
Namun, ironisnya, sebagian besar pejabat di negara kita justru lebih suka melanggengkan praktik korupsi, pamer kemewahan, dan memayungi para pemilik modal yang menyokong mereka saat pemilu maupun pilkada.
Ketika negara abai terhadap keberlanjutan generasi masa depan, sang pewaris planet ini, maka hal ini menimbulkan keprihatinan di generasi muda masa kini. Dengan berlandaskan semangat menjunjung tinggi empati dan simpati, mereka mencoba konsisten merawat bumi lewat cara sederhana yang mereka bisa. Menanam pohon, mengolah sampah, mengurangi pemakaian plastik sekali pakai, naik transportasi umum, dan menyuarakan itu semua di dunia digital.
Generasi masa kini mati-matian menjadi penyangga ketahanan ekologis, namun mereka terjebak dalam kontradiksi. Mereka ingin menyelamatkan Bumi, tapi kebijakan negara justru memperburuk lingkungan, meningkatkan emisi karbon dan polusi.
Bergantung pada Kebijakan Negara
Contoh nyata terlihat di negeri ini, di mana kampanye anti-plastik dari anak muda berhadapan dengan ekspansi industri batu bara yang didukung kebijakan nasional. Padahal, dalam menghadapi ancaman pemanasan global dan kerusakan ekosistem, Bumi membutuhkan kekompakan total antara masyarakat dan negara.
Garrett Hardin, seorang ahli ekologi, dalam teori “Tragedy of the Commons” tahun 1968, memperingatkan bahwa sumber daya bersama seperti udara bersih dan hutan akan hancur jika setiap individu bertindak egois demi kepentingan pribadi. Namun, tanpa peran negara yang kuat sebagai pengatur, upaya individu tampak sia-sia.
Kita bayangkan petani yang irigasi sawahnya berlebihan hingga sungai kering. Ini tragedi yang bisa dicegah jika pemerintah terapkan regulasi ketat dan masyarakat patuh serta berpartisipasi aktif, seperti program daur ulang nasional di Jerman yang sukses kurangi sampah hingga 50%. Demikian halnya bencana Sumatra seharusnya takkan terjadi jika pemerintah tidak melanggengkan praktik deforestasi.
Poinnya, kebijakan negara atas lingkungan, sangat berpengaruh terhadap kualitas udara, air, tanah, hutan, sungai, hingga laut, sebagai tempat bertumbuh dan hidup segala jenis makhluk termasuk manusia di masa depan. []



















































