Mubadalah.id – Gus Achmad Dhofir Zuhry merupakan ulama muda asal Jawa Timur pengasuh pondok pesantren Baitul Hikmah Malang. Gus Dhofir, sapaan akrabnya, aktif mengampu kajian tafsir tematik NU Online. Beliau juga terkenal luas melalui karya-karyanya, di antara yang best seller adalah buku Peradaban Sarung.
Dalam suatu pengajian di pesantrennya, Gus Dhofir menjelaskan kepada para santri bahwa ada tujuh kriteria minimum seorang ulama. Atau seseorang layak kita sebut sebagai ulama. Ulama yang benar-benar ulama, bukan ulama gadungan apalagi ustaz yang tahu-tahu muncul di televisi dan sudah terkenal—tetapi tidak diketahui track record-nya. Asal-usulnya dari mana, belajar kepada siapa, ilmunya bersanad atau tidak, dan lain sebagainya.
Tujuh Kriteria Ulama
Menurut Gus Dhofir, ulama tidak cukup memahami agama (fahim/faqih fiddin) saja, ia juga harus memiliki atau menguasai bidang-bidang lain (kapabel). Di antara yang harus ulama kuasai yaitu:
Faqih (Cendekia/Yuris/Sosialita)
Sebagai modal utama, ulama tentu saja harus faqih. Faqih baik terhadap dirinya sendiri, dalam artian menguasai berbagai ilmu agama (mutafannin), ahli hukum, juga faqih dalam bersosial. Ia harus tahu apa dan harus bagaimana agar dapat mewujudkan kemaslahatan makhluk (faqihan li masalihilkhalqi) dan mampu menjawab berbagai problematika umat.
Munadhdhim (Aktivis/Organisatoris)
Tidak cukup faqih, ulama harus munadhdhim (aktivis/organisatoris). Cakap dalam mengomando sebuah organisasi atau lembaga. Minimal, pondok pesantren dan lembaga formal maupun nonformal yang ada di dalamnya. Dalam lingkup luar pesantren, juga aktif dalam organisasi masyarakat maupun konstitusional.
Mutaharrik (Penggerak)
Lebih lanjut dari ciri sebelumnya, seorang ulama hendaknya mampu menjadi penggerak (mutaharrik). Penggerak dapat kita artikan sebagai inovator dan motivator, mengabdikan diri untuk agama dan negara dalam merawat tradisi dan mengawal inovasi (al-muhafadhah ‘ala al-qadim ash-shalih wal akhdzu bi al-jadid al-ashlah).
Mukhtalith/Katsirul Ikhtilath (Bergaul Dengan Banyak Orang/Adaptabel)
Selanjutnya, ulama dituntut untuk bisa merangkul seluruh kalangan. Baik muslim hingga nonmuslim, kepada yang kaya dan miskin, anak-anak hingga orang dewasa. Seperti beberapa ulama yang dakwah di Taman Pendidikan Al-Qur’an untuk anak, di sosial media untuk kalangan remaja milenial, dan pengajian di desa-desa untuk kalangan dewasa. Bahkan hingga di kalangan artis bahkan instansi pemerintahan dan sebagainya.
Mutawarri’ (Wara’/Wirai)
Sesudah bergaul dengan banyak kalangan, ulama itu juga harus mutawarri’ (orang yang wara’/wira’i) harus menjaga kualitas pergaulannya. Kenapa? Karena nanti, salah satu “pusaka bumi” yang tercabut oleh malaikat adalah arfa’ul wara’ wa az-zuhud fi qulubil ulama (malaikat mencabut wara’ dan zuhud di hatinya para ulama) sehingga apa yang terjadi setelah demikian? Ulama yang kredibel semakin habis, yang banyak adalah ulama kontroversial (ulama suu’), mereka inilah yang suka menjual agama.
Ra’id (Inisiator/Pionir)
Selain itu ada pula ulama juga ra’id (inisiator/pionir). Yakni, ulama menjadikan dirinya sebagai teladan (uswah khasanah) bagi umatnya. Seperti di saat pandemi, ulama turut mendukung program vaksinasi. Tak hanya itu, ulama senantiasa membumikan zikir-zikir bersama untuk keselamatan negara, mengajak umat untuk selalu ingat kepada Sang Pencipta.
Mu’arrikh (Sejarawan)
Dan yang tidak kalah penting dari kriteria minimum seorang ulama adalah harus muarrikh’ (ahli sejarah). Kenapa Indonesia terbelakang? “Limadza ta’akhkharal muslimun wa taqaddamal akhar?” kata Syekh Zaki Amani dalam bukunya Al-Musykilat Al-‘Ashr (Problematika Kontemporer). Kenapa bisa Indonesia terbelakang sedangkan bangsa yang lain maju? Maka ulama harus ahli sejarah. Lianna a’maluna a’maluhum wa a’maluhum a’maluna, karena perbuatan kita diambil oleh barat dan sekarang kita duplikat. Kita yang meniru (impor) dari barat.
Ulama-ulama yang seperti ini, menurut Gus Dhofir, hadir pada sosok Hadratussyekh Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, dan semua ulama-ulama di Indonesia. Termasuk para walisongo, mulanya terkenal sebagai sufi (mutashawwifin), baru nanti kita kenal dengan faqih.
Orang-orang yang sudah seperti di atas ini, baru bisa mendidik umat dengan menebar rahmat (yandhurunal ummah bi ‘ainirrahmah). Karena mereka adalah waratsatul anbiya’ (pewaris para nabi).
Kehidupan para ulama itu banyak tidak enaknya. Mulai Nabi Adam, Nuh, dan Nabi-nabi lainnya. Nabi Sulaiman yang kaya sekilas terlihat enak hidupnya. Coba kalau kita buka lagi buku sejarah tentang para nabi. Di mana Nabi Sulaiman tidak pernah makan kecuali setelah rakyatnya makan, dan jika jin manusia binatang sudah makan semua, baru beliau makan. Dipastikan dahulu rakyatnya sejahtera, tidur nyenyak, baru beliau istirahat.
Ulama Pewaris Para Nabi
Ulama ini pewarisnya para nabi, bukan hanya Nabi Muhammad saw saja. Mereka terancam dibunuh, diusir, dibakar hidup-hidup, dikhianati istrinya, anaknya murtad, dan macam-macam cobaannya.
Maka para ulama ini sering disowani oleh para santri, alumni dan masyarakat sekitar. Ketika mereka hendak bertani, ingin bangun rumah, mau menikahkan anaknya, mau kerja, mau apa saja hingga seluruh persoalannya disowankan kepada kiai. Semuanya mereka lakukan untuk meminta berkah dan doa. Mereka yakin, apa yang kiainya katakan akan berdampak baik untuk kehidupannya.
Seluruh problematika ini mengibaratkan kiai sebagai “keranjang sampah” yang menampung segala persoalan umat dan rakyat. Jadi menurut Gus Dhofir, kalau sebuah desa itu maju, pasti kiainya visioner. Kalau negara ini maju, pasti ulamanya lah yang hebat. Karena sebenarnya, tugas ulama lebih banyak dari pada tugas kepala negara.
Lanjut Gus Dhofir, Apakah ulama bisa bikin negara? Bisa. Indonesia ini buatan para ulama, para wali. Banyak ulama yang gugur dalam masa pra dan pasca kemerdekaan Indonesia, saat penjajahan masih ada. Makanya, Indonesia itu disebut walayah (wilayah). Jadi begitulah, untuk sampai pada tujuan agama (maqashid asy-syariah) dan Al-Qur’an, caranya kita harus bermazhab. Itu namanya ikut ulama (tabi’an wa taqlidan).
Walhasil, kita tidak bisa hidup tanpa ikut ulama. Maka inilah kriteria minimum seorang ulama. Pesan KH. Hasyim Asy’ari bahwa dilarang membangun rumah atau negara tapi menghancurkan seluruh penduduk kota. Artinya apa? Kalau mau membangun ya dari pondasi, dari bawah dahulu kemudian ke atas. Kalau memperbaiki, ya dari atas dahulu baru ke bawah. Kita mau membangun nasionalisme di Indonesia tapi merusak agama, tidak bisa. Makanya, agama dan negara itu integral. Seimbang. Jadi tidak untuk kita pertentangkan. []