Mubadalah.id – Berikut ini beberapa hadis perempuan keluar rumah untuk bekerja.
Hak Perempuan untuk Bekerja di Luar Rumah, sekalipun pada Masa Iddah
عَنْ جَابِرِ بْنَ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: طُلِّقَتْ خَالَتِي، فَأَرَادَتْ أَنْ تَجُدَّ نَخْلَهَا، فَزَجَرَهَا رَجُلٌ أَنْ تَخْرُجَ، فَأَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «بَلَى فَجُدِّي نَخْلَكِ فَإِنَّكِ عَسَى أَنْ تَصَدَّقِي أَوْ تَفْعَلِي مَعْرُوفًا». رواه مسلم.
Terjemahan:
Jabir bin Abdullah Ra. bercerita, “Bibiku dicerai, lalu ia keluar rumah untuk memetik kurma. Di jalan, ia dihardik/dicegah oleh seseorang karena keluar rumah. Kemudian, ia mendatangi Rasulullah Saw. dan menceritakan kejadian yang menimpanya. Maka, beliau bersabda, ‘Ya, petiklah kurmamu itu. Dengan demikian, semoga engkau bisa bersedekah atau berbuat kebaikan (kepada orang lain dengan kurmamu itu).” (Shahīh Muslim).
Sumber Hadits:
Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahīh-nya (no. hadits: 3794), Imam Ibnu Majah dalam Sunan-nya (no. hadits: 2112), dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. hadits: 1664).
Penjelasan Singkat:
Setelah perceraian, tidak sebagaimana laki-laki, perempuan diwajibkan mengikuti aturan-aturan iddah. Seperti, ia tidak boleh berhias dan tidak boleh keluar dari rumah. Tujuan baiknya, agar jika ada proses rujuk atau kembali menjadi suami-istri, akan lebih cepat dan mudah dilakukan. Sebagai konsekuensi dari kewajiban ini, perempuan harus memperoleh rumah dan nafkah yang cukup. Dalam konteks inilah, laki-laki itu melarang bibi Jabir bin Abdullah Ra.
Berbeda halnya dari laki-laki tersebut, Nabi Muhammad Saw. justru dengan tegas mempersilakan perempuan yang sedang menjalani masa iddah untuk keluar rumah melakukan sesuatu yang bisa memberi manfaat bagi dirinya atau orang lain. Ini jawaban yang lebih fundamental bahwa perempuan pada masa apa pun adalah tetap manusia utuh, yang memiliki kewajiban atas diri, pasangan, keluarga, dan lingkungannya. Termasuk pada masa iddah, yaitu ketika kebanyakan orang menganggap perempuan harus memperhatikan relasinya dengan sang suami, dilarang keluar rumah agar mudah bagi suami untuk kembali rujuk jika ia menghendaki.
Akan tetapi, dalam teks di atas, perempuan tetap memiliki hak untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya, keluar rumah, bekerja, berkebun, memetik kurma, atau yang lainnya. Dengan demikian, pelarangan-pelarangan terhadap aktivitas perempuan itu seharusnya memikirkan hak-hak dasarnya. Sebagaimana juga laki-laki yang memiliki hak dasar manusia. Hal-hal yang bertentangan dengan hak-hak dasar seharusnya tidak diterapkan pada perempuan, sebagaimana tidak pada laki-laki.
Teks Ke-44
Preseden Perempuan Pekebun pada Masa Nabi Muhammad Saw.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى أُمِّ مُبَشِّرٍ الأَنْصَارِيَّةِ فِي نَخْلٍ لَهَا فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ غَرَسَ هٰذَا النَّخْلَ أَمُسْلِمٌ أَمْ كَافِرٌ». فَقَالَتْ: بَلْ مُسْلِمٌ. فَقَالَ: «لَا يَغْرِسُ مُسْلِمٌ غَرْسًا وَلَا يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلَ مِنْهُ إِنْسَانٌ وَلَا دَابَّةٌ وَلَا شَيْءٌ إِلَّا كَانَتْ لَهُ صَدَقَةٌ». رواه مسلم.
Terjemahan:
Jabir bin Abdillah Ra. menuturkan bahwasanya Nabi Muhammad Saw. menemui Ummu Mubasysyir al-Anshariyyah di kebun kurma miliknya. Lantas Nabi Muhammad Saw. bersabda kepadanya, “Siapakah yang menanam pohon kurma ini? Apakah ia seorang muslim atau kafir?
Ummu Mubasysyir al-Anshariyyah menjawab, “Seorang muslim.”
Beliau bersabda, “Tidaklah seorang muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman, lalu tanaman tersebut dimakan oleh manusia, binatang melata, atau sesuatu yang lain, kecuali hal itu bernilai sedekah untuknya.” (Shahīh Muslim).
Sumber Hadits:
Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dalam Shahīh-nya (no. hadits: 4051 dan 4055), Imam Bukhari dalam Shahīh-nya (no. hadits: 2361), dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. hadits: 12690, 13593, 13757, 13759, dan 28005).
Penjelasan Singkat:
Teks hadits ini jarang terlintas untuk dikaitkan dengan isu-isu perempuan. Keterkaitan ini dijumpai dalam buku Tahrīr al-Mar’ah fī ‘Ashr ar-Risālah. Sebuah buku besar mengenai tafsir hadits atas isu-isu perempuan karya ulama ternama, Syekh Abdul Halim Abu Syuqqah (w. 1996). Menurut Syekh Abu Syuqqah dalam buku tersebut, teks ini bisa menjadi dasar untuk melegitimasi aktivitas ekonomi perempuan. Sementara ini, sering ditanyakan mengenai kebolehan seorang perempuan untuk bekerja mencari uang (nafkah) untuk diri atau keluarga. Teks ini bercerita mengenai perempuan muslim yang memiliki kebun, mengelola, dan menanamnya. Artinya, aktivitas ekonomi bagi perempuan adalah boleh dan sudah ada teladan sejak masa Nabi Muhammad Saw.Lebih dari itu, Nabi Muhammad Saw. juga mengapresiasi kerja-kerja pertanian karena ini menyediakan kebutuhan dasar yang bisa menjamin kelangsungan hidup manusia, binatang, bahkan setiap makhluk hidup. Menurut Nabi Muhammad Saw., sikap dan perilaku seorang muslim harus selalu baik dan memberikan manfaat dan kebaikan terhadap yang lain. Sikap ini menjadi modal dasar apresiasi dari Allah Swt. dan Nabi Muhammad Saw. Dan beliau tidak membedakan laki-laki dan perempuan yang berbuat baik, melainkan keduanya sama-sama memperoleh pahala.Dengan demikian, sepanjang suatu pekerjaan itu memberi manfaat, baik secara sosial maupun ekonomi, kita mesti mengapresiasi orang yang melakukannya, perempuan maupun laki-laki.
Teks Ke-45
Preseden Perempuan Penggembala pada Masa Nabi Muhammad Saw.
عَنْ مُعَاذِ بْنِ سَعْدٍ-أَوْ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ-أَنَّ جَارِيَةً لِكَعْبِ بْنِ مَالِكٍ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا بِسَلْعٍ، فَأُصِيْبَتْ شَاةٌ مِنْهَا، فَأَدْرَكَتْهَا فَذَبَحَتْهَا بِحَجَرٍ، فَسُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «كُلُوهَا». رواه البخاري.
Terjemahan:
Mu’adz bin Sa’ad Ra., atau Sa’ad bin Mu’adz Ra., bercerita bahwa budak perempuan Ka’ab bin Malik menggembala kambing di pegunungan Sala’. Ketika terjadi insiden pada salah satu kambingnya, ia bergegas menyembelihnya dengan batu. Ketika Nabi Muhammad Saw ditanya tentang hukum (daging sembelihannya), beliau menjawab, “Makanlah (daging kambing itu).” (Shahīh al-Bukhārī).
Sumber Hadits:
Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahīh-nya (no. hadits: 5563, juga ada di no.: 5559 dan 5560), Imam Muslim dalam Shahīh-nya (no. hadits: 1227), Imam Malik dalam Muwaththa’-nya (no. hadits: 1048), dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. hadits: 4687, 5565, dan 16006).
Penjelasan Singkat:
Hadits ini juga dijadikan dasar oleh Syekh Abu Syuqqah untuk menegaskan bahwa dalam Islam, tidak ada larangan sama sekali bagi perempuan untuk bekerja. Dalam hadits ini, ada catatan historis yang cukup jelas bahwa pada masa Nabi Muhammad Saw., ada perempuan yang berkarier sebagai penggembala, dan boleh menyembelih binatang. Saat ini, mungkin kita sangat sulit menemukan perempuan berprofesi sebagai penyembelih binatang. Kalau profesi penggembala atau sejenisnya, seperti peternak atau pengusaha penggemukan hewan-hewan ternak, mungkin banyak.
Tetapi, yang paling fundamental, dalam Islam, perempuan sama sekali tidak dihalangi untuk memiliki aktivitas ekonomi yang bisa mendatangkan pendapatan untuk diri maupun keluarganya. Seringkali, banyak fatwa atas nama agama melarang perempuan memiliki aktivitas-aktivitas ekonomi tertentu atas asumsi bahwa mereka itu diberi nafkah oleh laki-laki, bukan mencari nafkah.
Jika bekerja adalah hak dasar bagi perempuan dalam Islam, maka status ia diberi nafkah tetap tidak menghalangi hak dasar ini. Apalagi pada faktanya, seringkali pendapatan laki-laki juga tidak mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarga. Bahkan, tidak sedikit juga keluarga yang tidak memiliki anggota laki-laki yang bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.
Terlepas dari ini semua, bekerja adalah hak dasar yang tidak bisa dicabut begitu saja ketika masuk dalam lembaga perkawinan. Yang diperlukan adalah negosiasi dan pembagian peran yang bisa diterima kedua belah pihak.
Teks Ke-46
Preseden Perempuan Kaya dan Suka Berinfak pada Masa Nabi Muhammad Saw.
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: …وَأُمُّ شَرِيكٍ امْرَأَةٌ غَنِيَّةٌ مِنَ الْأَنْصَارِ عَظِيمَةُ النَّفَقَةِ فِي سَبِيلِ اللهِ يَنْزِلُ عَلَيْهَا الضِّيْفَانُ…. رواه مسلم.
Terjemahan:
Fatimah binti Qais Ra. berkata, “…Ummu Syuraik adalah perempuan kaya raya dari kalangan Anshar, sering membelanjakan hartanya di jalan Allah, dan banyak tamu yang bertandang ke rumahnya….” (Shahīh Muslim).
Sumber Hadits:
Hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahīh-nya (no. hadits: 7573) dan Imam Nasa’i dalam Sunan-nya (no. hadits: 3250).
Penjelasan Singkat:
Teks hadits ini menjadi catatan lain dari yang sudah ada di berbagai disiplin ilmu lain mengenai eksistensi perempuan yang berusaha, kaya raya, serta juga menjadi tulang punggung bagi keluarga dan masyarakatnya. Khadijah binti Khuwailid Ra. adalah teladan yang paling populer. Istri Nabi Muhammad Saw., pintar, kaya raya, dan dermawan. Hampir seluruh hartanya dinafkahkan untuk perjuangan misi Islam, di samping untuk kebutuhan keluarga.
Hadits ini mencatat nama Ummu Syuraik Ra. sebagai perempuan yang juga terkenal kaya raya dan dermawan. Nama lengkapnya Ghaziyyah binti Jabir bin Hakim. Ketika di Madinah, rumahnya sering menjadi tempat berkunjung koleganya, para tamu komunitas, juga menjadi tempat bagi orang-orang yang tidak memiliki rumah.
Teks ini, sebagaimana dikatakan juga oleh Abu Syuqqah, bisa menjadi dasar hukum untuk membolehkan perempuan bekerja mencari nafkah. Dengan demikian, seharusnya tidak boleh ada fatwa atau nasihat keagamaan yang melarang perempuan bekerja karena ini melanggar hak dasarnya. Bagi sebagian orang yang berpandangan negatif terhadap perempuan, biasanya mengasumsikan perempuan yang kaya itu bukan karena hasil kerja, tetapi mereka memperoleh dari harta waris keluarga atau hibah dari laki-laki.
Tetapi, jika berpandangan positif terhadap perempuan, apalagi ada fakta sejarah mengenai Khadijah Ra. yang berusaha dan berdagang, maka fakta Ummu Syuraik Ra. juga bisa diasumsikan hasil dari kerja kerasnya. Ini karena tidak ada penjelasan yang lebih detail mengenai kehidupannya. Tetapi secara umum, teks-teks seperti ini bisa menjadi dasar hukum untuk meneguhkan hak-hak dasar perempuan dalam Islam, baik sosial, ekonomi, bahkan politik. Sehingga, tidak ada alasan apa pun yang boleh melarang dan menjauhkan mereka dari hak-hak ini. Setiap pelanggaran atas hak adalah pelanggaran atas prinsip-prinsip Islam.
Teks Ke-47
Nafkah Keluarga Itu Tanggung Jawab Bersama
عَنْ رَائِطَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللهِ، امْرَأَةِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَتَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي امْرَأَةٌ ذَاتُ صَنْعَةٍ أَبِيْعُ مِنْهَا وَلَيْسَ لِي وَلَا لِزَوْجِي وَلَا لِوَلَدي شَيْءٌ. وَسَأَلْتُهُ عَنِ النَّفَقَةِ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ: لَكَ فِي ذٰلِكَ أَجْرَ مَا أَنْفَقْتِ عَلَيْهِم. أخرجه ابن سعد.
Terjemahan:
Diriwayatkan dari Raithah binti Abdullah, istri Abdullah bin Mas’ud Ra. Ia pernah mendatangi Nabi Muhammad Saw., dan bertutur, “Wahai Rasulullah, aku perempuan pekerja. Lalu, aku menjual hasil pekerjaanku. Aku melakukan ini semua karena aku, suamiku, maupun anakku, tidak memiliki harta apa pun” (Aku juga bertanya mengenai nafkah yang aku berikan kepada mereka [suami dan anak]).”
“Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan kepada mereka,” jawab Nabi Muhammad Saw. (Thabaqat Ibn Sa’d).
Sumber Hadits:
Teks ini diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya (juz 1, hlm. 290, no. hadits: 4239).
Penjelasan Singkat:
Jika Khadijah Ra. melakukan bisnis dagang, maka Raithah binti Abdullah Ra. mengelola industri kecil di rumahnya. Ia adalah istri seorang ulama besar di kalangan sahabat. Yaitu, Abdullah bin Mas’ud Ra. Raithah berbicara kepada Nabi Muhammad Saw. bahwa ia bekerja dan memberi nafkah kepada suami dan anak-anak mereka. Nabi Muhammad Saw. memberkatinya. Sebagaimana amal-amal baik yang lain, kerja dan nafkah perempuan kepada laki-laki juga memperoleh pahala.
Masihkah kita menganggap perempuan itu hanya menerima, menganggur, dan bergantung pada orang lain? Lalu, kita meminta mereka untuk menjadi bagian yang subordinat kepada laki-laki? Teks hadits ini adalah catatan lain yang merekam sejarah perempuan yang bekerja untuk memberi nafkah kepada keluarganya pada masa Nabi Muhammad Saw. Jadi, perempuan yang bekerja dan perempuan yang memberi nafkah kepada keluarga adalah bukan anomali dalam sejarah Islam. Memang ini tidak mainstream, tetapi sama sekali tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Dalam Islam, mencari nafkah dibebankan kepada laki-laki karena merekalah yang biasanya lebih mudah memperoleh pekerjaan dalam banyak kebudayaan masa dahulu. Selain itu, secara fisik, mereka juga lebih memungkinkan untuk bekerja di luar rumah di banding perempuan. Tetapi, ketika kesempatan kerja itu terbuka untuk keduanya, sebagaimana yang terjadi pada masa sekarang, maka kewajiban nafkah semestinya menjadi tanggung jawab bersama. Tepatnya, itu menjadi tanggung jawab siapa pun yang mampu bekerja dan menghasilkan uang pendapatan. Jadi, kewajiban nafkah ini basisnya bukan jenis kelamin, tetapi kemampuan dan kapasitas, sebagaimana kewajiban-kewajiban yang lain dalam Islam.
Teks Ke-48
Pahala bagi Perempuan yang Menanggung Ekonomi Keluarga
عَنْ زَيْنَبَ امْرَأَةِ عَبْدِ اللهِ قَالَتْ: كُنْتُ فِي الْمَسْجِدِ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «تَصَدَّقْنَ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ». وَكَانَتْ زَيْنَبُ تُنْفِقُ عَلَى عَبْدِ اللهِ وَأَيْتَامٍ فِي حَجْرِهَا، قَالَ فَقَالَتْ لِعَبْدِ اللهِ: سَلْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَجْزِى عَنِّي أَنْ أُنْفِقَ عَلَيْكَ وَعَلَى أَيْتَامِي فِي حَجْرِي مِنَ الصَّدَقَةِ. فَقَالَ: سَلِى أَنْتِ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَانْطَلَقْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَجَدْتُ امْرَأَةً مِنَ الأَنْصَارِ عَلَى الْبَابِ حَاجَتُهَا مِثْلُ حَاجَتِي، فَمَرَّ عَلَيْنَا بِلَالٌ فَقُلْنَا: سَلِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَجْزِى عَنِّي أَنْ أُنْفِقَ عَلَى زَوْجِي وَأَيْتَامٍ لِي فِي حَجْرِي، وَقُلْنَا: لَا تُخْبِرْ بِنَا. فَدَخَلَ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: «مَنْ هُمَا». قَالَ زَيْنَبُ قَالَ: «أَيُّ الزَّيَانِبِ». قَالَ: امْرَأَةُ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: «نَعَمْ لَهَا أَجْرَانِ، أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ». رواه البخاري.
Terjemahan:
Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud Ra., berkata, “Ketika berada di masjid, aku mendengar Rasulullah Saw. memberi nasihat, ‘Bersedekahlah walaupun dengan perhiasan yang kamu pakai.”
Zainab adalah orang yang menafkahi Abdullah dan anak-anak yatim yang ada di rumahnya. Zainab berkata kepada Abdullah, “Tanyakan kepada Rasulullah Saw., apakah aku mendapatkan pahala dari menafkahimu dan anak-anak yatimku yang ada di rumahku?”
“Kamu saja yang bertanya kepada Rasulullah Saw.,” jawab suaminya itu.
Akhirnya, aku (Zainab) datang sendiri menemui Rasulullah Saw. Di pintu, aku bertemu dengan perempuan yang memiliki keperluan yang sama denganku. Lalu, kami melihat Bilal lewat di dekat kami. Maka kami pun berkata kepadanya, “Tolong, tanyakan kepada Rasulullah Saw., apakah aku mendapatkan pahala dari nafkah yang aku berikan kepada suamiku dan anak-anak yatimku yang ada di rumahku?” Kami juga berpesan kepada Bilal agar tidak membuka identitas kami kepada Rasulullah Saw.
Bilal masuk menemui Rasulullah Saw., dan mengutarakan persoalan kami. “Siapa mereka yang bertanya?” tanya Rasulullah Saw.
“Zainab,” jawab Bilal.
“Zainab yang mana?”
“Zainab istri Abdullah,” terakhir Bilal berujar.
Rasulullah Saw. kemudian bersabda, “Ya, ia memperoleh dua pahala; pahala kekerabatan dan pahala sedekah.” (Shahīh al-Bukhārī).
Sumber Hadits:
Hadits ini diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahīh-nya (no. hadits: 1489), Imam Muslim dalam Shahīh-nya (no. hadits: 2365), Imam Nasa’i dalam Sunan-nya (no. hadits: 2595), dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. hadits: 16330 dan 27690).
Penjelasan Singkat:
Teks ini menambah deretan fakta mengenai perempuan yang memberi nafkah kepada suami pada zaman Rasulullah Saw. Di samping ada Khadijah Ra., Ummu Syuraik Ra., dan Raithah Ra., juga ada Zainab Ra. serta perempuan lain yang disebutkan oleh Zainab Ra. Ini menunjukkan adanya preseden pada masa Nabi Muhammad Saw. mengenai tanggung jawab ekonomi yang dilakukan perempuan kepada keluarga mereka. Sehingga, tanggung jawab domestik seharusnya juga menjadi kewajiban bersama antara suami dan istri.
Dengan preseden ini, perempuan seharusnya tidak dilarang dari aktivitas publik, seperti pencarian nafkah ekonomi, sebagaimana mereka juga tidak seharusnya dikungkung dengan kerja-kerja domestik. Pada saat yang sama, laki-laki juga tidak ditabukan untuk kerja-kerja domestik dalam rumah tangga. Dengan perspektif kesalingan, baik ranah domestik maupun publik adalah ranah bersama yang dibangun atas dasar kebersamaan dan kerja sama untuk kebaikan serta kemaslahatan seluruh anggota keluarga dan masyarakat.