Mubadalah.id – Setiap Hari Ibu tiba, ingatan saya selalu kembali pada hal-hal kecil yang selama ini terasa biasa, bahkan kerap terabaikan. Padahal, justru dari situlah perhatian seorang ibu bekerja dengan cara yang paling setia.
Saya teringat bagaimana ibu selalu memanggil saya makan. Berkali-kali. Dengan kalimat yang sama, nada yang sama, dan kesabaran yang nyaris tak pernah habis: “Makan dulu, nanti dingin.”
Saat itu, saya sering menjawab seadanya. Bahkan kadang menunda, seolah urusan saya jauh lebih penting. Baru sekarang saya paham, perhatian seperti itu yang terus hadir. Barangkali tidak akan saya temukan dari siapa pun selain ibu.
Selain itu, ibu juga punya cara yang tenang untuk membaca keadaan kita. Kadang cukup dari suara di telepon, ia sudah tahu apakah saya lelah, sedang kesal, atau hanya pura-pura baik-baik saja. Ia tidak selalu bertanya panjang. Biasanya ibu justru memilih diam, lalu membuatkan minuman atau makanan yang saya suka. Sederhana, tapi di situlah rasanya. Ada seseorang yang masih benar-benar melihat kita apa adanya.
Belakangan ini, ada satu hal kecil yang sering membuat saya terdiam, yaitu tangan ibu. Tangan yang dulu cekatan mengikat tali sepatu, membenarkan kerah baju, menepuk pundak saat saya jatuh, kini tak sekuat dulu. Geraknya lebih pelan. Pegangannya tak lagi sekencang yang saya ingat. Dan di situ saya sadar, waktu juga berjalan untuk ibu.
Ia hadir perlahan, tapi cukup untuk membuat saya berhenti lama. Karena selama ini, saya tumbuh dan bergerak cepat, sementara ibu diam-diam ikut menua di belakang saya.
Mungkin itu sebabnya Hari Ibu selalu membuat saya merenung. Tentang berapa banyak perhatian kecil ibu yang benar-benar saya balas. Tentang betapa sering saya merasa sibuk, merasa punya urusan penting, sampai lupa bahwa ibu tidak pernah menuntut banyak.
Ibu hanya butuh hal-hal sederhana seperti sedikit waktu untuk mengobrol, sedikit cerita agar tidak khawatir, atau sekadar duduk bersama tanpa tergesa-gesa.
Ibu tidak pernah meminta balasan. Bahkan ketika kita pulang terlambat atau jarang memberi kabar, sambutannya tetap sama:
“Hati-hati, jangan capek-capek.” Kalimat yang terdengar biasa, tetapi penuh dengan kekhawatiran. Kita sering mendengarnya tanpa benar-benar mendengarkan.
Menjadi Pengingat
Bagi saya, Hari Ibu bukan soal hadiah atau ucapan panjang. Hari ini lebih tepat dibaca sebagai pengingat. Bahwa apa yang ibu lakukan selama ini mungkin tidak selalu tampak besar, tetapi justru hal-hal kecil itulah yang membentuk hidup kita tanpa kita sadari. Bahkan hari ini pun, yang ibu inginkan mungkin hanya kehadiran kita meski sebentar.
Sebelum saya belajar tentang berbagai bentuk cinta di dunia, ibu adalah contoh paling nyata dari cinta yang tidak pernah meminta imbalan. Cinta yang hadir terus-menerus, bahkan saat kita tidak sedang memikirkan dirinya.
Karena itu, Hari Ibu menjadi momen untuk berhenti sejenak. Memperlambat langkah. Menurunkan ego. Melihat kembali hal-hal kecil yang dulu sering kita anggap biasa, lalu mencoba sedikit lebih menghargainya.
Caranya pun tidak rumit, kita cukup mendengarkan ceritanya tanpa terburu-buru, menanyakan kabarnya dengan sungguh-sungguh, atau meluangkan waktu untuk duduk bersama.
Merayakan Hari Ibu tidak harus meriah. Yang terpenting adalah sikap. Jika hari ini kita bisa membuat ibu merasa didengar, diperhatikan, dan ditemani, mungkin itulah bentuk perayaan yang bisa kita berikan. []


















































