Mubadalah.id – Sundara Renxing, perempuan berdarah keturunan gujarat-china ini biasa dipanggil Dara. Lahir di Pontianak pada pertengehan tahun 70. Tulisan ini akan menuturkan kisah perempuan bernama Dara. Ia satu-satunya perempuan dari dua laki-laki lain di keluarganya. Sejak sekolah dia menyenangi aktivitas fisik yang membuat tubuhnya terus bergerak lentur dan lincah. Wajar jika tubuhnya nampak proporsional, bahkan ia terlihat kekar sebagai perempuan.
Pilihan olah raga yang ia gemari adalah gerak senam. Dia gemar mengkreasi gerakan-gerakan sanam baru, lalu dipraktikkan bersama komunitasnya. Dara luwes dalam pergaulan sekaligus mengayomi. Jadi mudah dikenal sebagai remaja berbakat di kalangan pegiat senam.
Gerakan senam hasil besutannya bisa dengan cepat tersebar luas. Karena sederhana, mudah dipraktikkan dan diadaptasi dengan berbagai macam pilihan musik yang menyertainya. Para ibu-ibu istri para pejabat gubernuran dan walikota sangat menyukai gerak senam besutannya.
Secara fisik, Dara menuruni ciri-ciri fisik Bapak dan Ibunya. Ia berhidung mancung dan berpostur tinggi seperti Bapaknya. Kulitnya cokelat, perpaduan antara Bapak yang berkulit gelap dan Ibu putih. Rambutnya lurus dan mata agak sipit seperti ibunya yang keturunan China.
Dara sering mendapat persepsi cantik sejak sekolah dasar. Baik oleh keluarga dekat, teman hingga para guru sekolah. Sejak SMA, ada puluhan surat cinta diselipkan di antara buku-buku sekolah yang pura-pura dipinjam oleh teman-teman laki-lakinya. Dara selalu membalasnya dengan senyum ramah.
Perempuan Panggung
Dara sangat menggemari dunia panggung. Dia kerap mendemonstrasikan bakat tarian kreatif bersama teman-teman sebayanya di atas pentas. Sebuah tarian yang mampu melenturkan tubuh dan menguras keringat. Postur tubuhnya yang tinggi (175 cm), membuatnya sering diminta tampil mengenakan pakaian adat dan lain-lain, lenggak lenggok di atas panggung, bak seorang model.
Dara berbakat nari, baca puisi hingga main drama. Dia manusia panggung sejati. Tidak sedikitpun ada rasa malu ataupun grogi saat tampil di atas panggung. Banyak orderan tampil di atas panggung dalam even sekolah dan luar sekolah. Atas prestasinya, ia mendapat beasiswa kuliah di Fakultas Ilmu Pendidikan, jurusan seni pertunjukan. Honor sebagai MC, instruktur senam dalam berbagai even pemerintah Kota dan Propinsi, lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari.
Proteksi Ketat
Dalam setiap penampilan, Ibu Dara selalu menempel ketat kemana-mana dalam berbagai aktivitasnya. Ibunya sekaligus menjadi manager untuk Dara. Ia yang menentukan jenis pakaian, model rambut, warna lipstik hingga sepatu yang cocok saat tampil di atas panggung.
Sesekali ada perdebatan sengit antara ibu dan anak. Mislanya, saat ibunya mengeluh dengan pilihan celana senam Dara ketika hendak tampil di atas panggung.
“Dara, celanamu terlalu ketat. Lekuk lekuk paha dan pantatmu tampak banget. Nanti dianggap menggoda orang lho…” Protes sang Ibu.
“Ibu, pantat, paha, kaki dan tubuh Dara ini sejak lahir memang seperti ini. Apa harus Dara operasi biar kempes, sehingga tidak dianggap mengganggu mata laki-laki…?” Sergah Dara.
“Iya Dara, tapi jangan terlalu ketat ya…?”. Bujuk sang Ibu
“Ibu, mengapa aku yang harus terus mengikuti selera dan pandangan orang lain? Seimbang dong. Para laki-laki juga harus mengendalikan pandangan mata mereka dong”. Dara ngotot.
“Iya Dara, nanti kamu dilecehkan dan Mereka menggoda lho?” Ibunya terus ngotot.
“Jadi kalau aku menggunakan pakaian seperti ini, berarti boleh digoda atau dilecehkan? Aku akan lawan! Ibu lihat etalase Warung Padang yang menjajakan berbagai masakan lauk-pauk yang begitu menggoda mata? Apakah orang yang sedang lewat lalu melihat, lantas boleh mendobrak kaca etalase, mengambil makanan dengan sesuka hatinya? Bolehkah, karena alasan hasrat makan mereka sedang naik, lapar dan tergoda oleh makanan itu?” Dara menjelaskan panjang lebar.
“Ibu pusing Dara…”. Jawab ibunya
“Lagian Bu, Dara menggunakan pakaian seperti ini ketika ada di lingkungan penggemar olah raga senam. Dara tidak menggunakan pakaian seperti ini untuk ke kampus atau ke pasar kok !” Jelasnya
Perdebatan reda. Dara tetap dengan pilhan pakaian senamnya. Sang Ibu mengalah, meski tetap berjaga.
Patuh Pada Kehendak Orang Tua
Dara mampu menamatkan kuliah strata 1 tepat 4 tahun. Sejak SMP, Dara memang sudah dekat dengan laki-laki. Awalnya mereka teman sebaya dan berteman dengan baik. Hubungan pertemanan itu terus tumbuh berkembang menjadi ikatan asmara. Meski sifat bawaan keduanya sangat bertolak belakang, namun permakluman Dara cukup lebar, hingga lebih banyak berkorban perasaan untuk memahaminya.
Dara, perempuan luwes, supel, mudah bergaul dengan siapa saja. Sangat bertolak belakang dengan Sunna, kekasihnya. Ia laki-laki introvert, sangat pemilih dalam pergaulan, dan hidup serba berkecukupan sejak kecil. Salah satu sifat Sunna yang sulit ia toleransi oleh Dara adalah sikap protektifnya. Sunna sangat pencemburu, penyendiri dan sulit bergaul dengan teman-teman laki-laki Dara. Bahkan terkesan sinis, selalu bermuka masam dan tidak pernah mau bercengkerama.
Setamat kuliah, kedua orang tua Dara membujuknya untuk segera menikah dengan Sunna. “Bapak dan Ibu sangat kuatir dengan pergaulan anak-anak sekarang. Toh kalian sudah lama saling kenal kan…”. Begitu salah satu bujukannya.
Sunna, anak orang berkecukupan. Meski kuliahnya tinggal menulis skripsi, namun hidupnya sudah berkecukupan. Bapak dan ibu Dara yakin, bahwa Sunna adalah pilihan terbaik. Selama ini sikapnya selalu sopan di depan orang tua dan akan memiliki pendapatan sendiri sebagai calon pengelola salah satu anak perusahaan orang tuanya.
Menjadi Korban KDRT
Singkat cerita kisah perempuan ini, pasangan muda Sunna dan Dara menikah dengan pesta sangat meriah. Setelah menikah, pasangan ini memilih tinggal di salah satu kota minyak di Kalimantan. Jauh dari habitat kota yang Dara tinggali selama ini. Iya, Sunna memang beniat menjauhkan Dara dari Komunitas panggung kesukaanya selama ini. Ia didaulat menjadi istri yang selama 24 jam melayani suami.
“Apapun kebutuhanmu, aku penuhi. Tapi, kamu hanya boleh kerja di rumah saja…!” Ujar Sunna setengah mengancam.
Sunna memang selalu cemburu dengan dunia panggung Istrinya. Ketika semua orang memberikan tepuk tangan meriah dan memuji tampilan baik Dara, Sunna bersikap sebaliknya. Darahnya mendidih marah dan cemburu. “Mengapa pujian itu selalu didapatkan Dara, tidak kepadaku…?” Bisik amarahnya
Sebagai suami, watak dan kepribadian Sunna tidak berubah. Sulit bergaul, gampang memaki, selalu minta dilayani dan sedikit pemalas. Sikap itulah yang membuat perusahaan jasa pengiriman barang yang ia kelola sulit berkembang. Bahkan dalam waktu 1,5 tahun perusahaan itu terus merugi dan akhirnya tutup.
Mengakhiri Pernikahan
Belakangan, Dara mengetahui bahwa kehancuran perusahaan yang suaminya kelola tutup, karena suaminya sibuk membangun hubungan gelap dengan perempuan lain di kota itu. Ketika Dara mengandung anak pertama, ternyata suaminya juga tengah menghamili perempuan lain.
Dara yang selama hidupnya selalu mendapat apresiasi dari orang lain, tiba-tiba harus mendapati kenyataan pahit. Ia mendapatkan perlakuan yang sangat bertolak belakang di dalam rumah tangganya. Caci maki, kekangan, perundungan, KDRT adalah perlakuan yang ia terima dalam kesehariannya. Tidak lama kemudian, kedua orang tua Dara menjemputnya pulang. Bapak dan Ibu Dara menangis, memohon maaf kepada putrinya.
“Maafkan bapak dan ibu ya Nak. Kami mengira Dara bisa bahagia dengan pilihan kami. Ternyata, apa yang kami pikir baik, tidak sepenuhnya baik untuk kamu”. Mereka bertiga menangis berpelukan. Sementara itu perut Dara terus membesar, ia tinggal menunggu masa persalinannya tiba. Saat jabang bayi lahir, tidak tampak muka Sunna. Alih-alih memberikan biaya kelahiran. Dia menghilang tanpa kabar.
Melawan Stigma
Tidak butuh waktu lama bagi Dara untuk memulai hal baru melalui kisah perempuan di hidupnya. Berbekal teman dan persaudaraan baik selama ini, ia segera melamar menjadi guru di salah satu sekolah swasta favorit di Kota itu. Reputasi dan nama baiknya telah memudahkan semuanya. Dara memulai terjun di dunia Pendidikan yang sangat ia gemari.
Dara telah menemukan dunia impiannya. Setiap hari, ia bergaul dengan ratusan murid sekolah. Sungguh membahagiakan hidupnya. Dalam setiap perhelatan kesenian di sekolah, Dara selalu menjadi guru andalan. Ia menjadi penanggungjawab sekaligus pembimbing. “Terima kasih ya ALLAH. Engkau telah memberikan dunia ini kepadaku”. Ungkap rasa syukurnya.
Dara tidak ingin ada waktu luang. Dia berhasil menamatkan study strata dua dalam waktu dua tahun. Pada akhir pekan, ia harus mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan. Sebuah kampus kecil di Kota itu. Usai menjelaskan materi tentang “Metodologi Pendidikan”. Seperti biasa, Dara bertanya kepada para mahasiswa;
“Sebelum selesai, ada yang ingin bertanya ?”. Ujar Dara sambil tersenyum.
“Duh Bu…sedianya saya ingin bertanya tadi, setelah Ibu senyum, hilang pertanyaan dari otak saya…”. Canda seorang mahasiswa.
“Sompret! Dimana-mana, sifat laki-laki itu sama. Selalu menjadi penggoda !” Bisik hatinya.
Menemukan Kebahagiaan
Dara larut dalam kesibukan sekolah. Aktivitas mengajar dan menari, adalah terapi paling ampuh melawan kekecewaan hidupnya.
Setiap pagi, Dara berdiri di depan sekolah menyambut murid dan orang tua siswa yang mengantar putra putrinya. Suatu ketika, pandangan mata Dara tidak bisa teralihkan oleh seorang laki-laki bertubuh tinggi, atletis yang sedang mengantar putri cantiknya. Alam memperjumpakan tatapan mata keduanya. Dari mata jatuh ke hati.
Mereka berkenalan. Laki-laki itu seorang duda yang istrinya meninggal karena cancer. Sudah hampir 6 tahun menjadi ayah tunggal. Dia seorang dosen, sekaligus Wakil Rektor di salah satu perguruan tinggi swasta. Tuhan memperjodohkan mereka dalam ikatan pernikahan.
Kisah perempuan Dara memasuki babak baru dalam kehidupannya. Suami hadir dengan dua anak perempuan. Dara dengan satu anak laki-laki. Mereka menikah dengan upacara sederhana. Untuk menguatkan ikatan pernikahan, akhirnya Dara melahirkan seorang putri cantik hasil pernikahan dengan suami kedua.
Menggugat Prasangka
Dara terus mengisi ruang publik dengan peran berbeda. Ia didaulat memimpin organisasi pemudi tingkat wilayah yang terafiliasi dengan ormas keagamaan di Indonesia.
Pada sebuah diskusi, Dara menyampaikan kegalauan hatinya dengan sangat tegas;
“Bagian tubuh perempuan yang pasif itu telah dicap sebagai penggoda. Seonggok daging yang disebut pantat, paha, kaki, bibir, pipi, mata ini telah dianggap sebagai penyebab tindakan asusila. Saya harus melawan prasangka keliru itu!”.
Dia melanjutkan ucapanya dengan nafas setengah sesak oleh tangis sedih.
“Kalian menyalahkan harta, tahta dan tubuh perempuan sebagai penggoda. Padahal, sejatinya, yang bermasalah adalah isi kepala dan cara berpikir kalian yang hanya berputar-putar pada urusan syahwat seksual belaka. Lalu tubuh perempuan yang dipersalahkan? Sungguh ini adalah kezaliman nyata.”
Dara menutup kalimatnya dengan tangan mengepal penuh semangat perlawanan! Spontan, tepuk tangan bergemuruh, panjang sekali. Dara meneteskan air mata tanpa mau mengusapnya. []