Mubadalah.id – Melalui salah satu kanal berita online yang secara tidak sengaja lewat di beranda sosial media yang sedang saya mainkan, muncul sebuah video yang membahas hipospadia yang dialami oleh atlet voli nasional Aprillia Manganang. Ia merupakan salah satu atlet voli perempuan dengan prestasi gemilang yang juga menjadi anggota TNI wanita Indonesia. Sebelumnya ramai dalam pemberitaan media, kabar mengenai perubahan “jenis kelamin” Aprillia Manganang dari perempuan menjadi laki-laki.
Isi beritanya kurang lebih menjelaskan apa itu hipospadia. Yaitu, suatu kelainan dimana lubang uretra yang menjadi lubang pipis tidak berada di ujung penis. Bisa dikatakan bahwa kelainan ini sering atau bahkan hanya terjadi pada bayi laki-laki. Seperti yang disebutkan oleh data yang dikutip oleh tempo.co bahwa 0,5% Di Amerika Serikat hipospadia menjadi kelainan yang umum pada 1 dari 200 anak laki-laki.
Beberapa tanda dari mereka yang mengalami hipospadia adalah lubang uretra yang tidak berada di ujung penis, penis melengkung ke bawah, testis tidak sepenuhnya turun ke skrotum, kulup yang belum berkembang dan buang air kecil tidak normal. Dimana urin tidak mengalir secara langsung, sehingga membuat mereka harus melakukan pipis dalam posisi jongkok.
Kini jenis kelamin Aprillia Manganang resmi menjadi laki-laki. Setelah sebelumnya selama dua puluh delapan tahun mengalami hipospadia, dan menyandang identitas sebagai seorang perempuan. Kelainan ini pun baru diketahui beberapa waktu terakhir oleh pihak TNI, setelah sebelumnya Aprillia menjalani beberapa pemeriksaan.
Banyak spekulasi muncul ke permukaan, mengapa hal ini terjadi? Mengapa Aprillia tetap lulus seleksi TNI dengan jenis kelamin perempuan padahal ia laki-laki. Dan mengapa baru diketahui sekarang? Apakah selama ini Aprillia berbohong? Dan berbagai pertanyaan lainnya.
Hipospadia yang terjadi pada Aprillia merupakan kasus langka di Indonesia. Dikatakan langka karena jarang diperbincangkan bahkan dibahas di muka publik oleh para akademisi klinis. Mungkin ada juga orang di sekitar kita mengalami hal yang sama dan lebih memilih menutup diri, menyimpannya seorang diri. Karena stigma terlalu tabu dan privasi untuk diperbincangkan.
Terkadang ketika seorang anak lahir dengan kondisi “berbeda” lalu ditambah dengan minimnya pengetahuan dari lingkungan sekitar, tentu pendeskripsian jenis kelamin dilakukan berdasarkan tebakan dan kebiasaan. Seperti yang terjadi pada Aprillia, orangtua dan kerabat dekat lainnya tidak berada pada posisi mampu untuk menjelaskan kelainan yang dialami. Karena itu, mereka menafsirkan Aprillia sebagai perempuan. Sebab, selama ini hanya laki-laki dan perempuan lah jenis kelamin yang diakui. Jika bukan laki-laki, maka ia adalah seorang perempuan.
Terlepas dari berbagai tinjauan medis tentang hipospadia yang kurang saya pahami. Ada satu hal yang cukup menyentil nurani dari kejadian ini. Yaitu komentar beberapa warganet yang “mencandai” hal ini. Mereka tak segan menanyakan bagaimana bentuk kelamin Aprillia, atau membayangkan bagaimana kondisi Aprillia ketika berganti baju dengan rekan sesama atlet volly perempuan lainnya. Dan berbagai komentar nyeleneh lainnya.
Tidak bisa saya bayangkan, bagaimana Aprillia menjalani hidup dengan hipospadia dan identitas yang membingungkan. Ia terpaksa menjalani peran sebagai perempuan diiringi dengan keraguan terhadap jati dirinya sendiri. Apalagi ketika ia memilih menyimpan semuanya seorang diri, menelan mentah-mentah pertanyaan yang mungkin bergulat dalam diri.
Salah seorang rekan sesama atletnya menjelaskan bahwa Aprillia tak pernah mau mandi bersama dengan kawan perempuan lainnya. Ia juga selalu mengganti baju sendirian atau paling tidak memalingkan badannya. Tidak menampakkan tubuhnya begitu saja. Tentu, bukan tanpa alasan mengapa ia berprilaku demikian. Salah satunya karena ia merasa “berbeda” dari yang lainnya.
Orientasi seksual adalah hal yang dianggap tabu untuk dibicarakan dalam budaya kita. Kita masih sering memandang transgender atau orang dengan kelainan orientasi seksual lainnya dengan pandangan yang berbeda. Tak jarang, menceramahi apa yang mereka lakukan dengan dalil agama serta membawa kata dosa dan neraka tanpa tahu kondisi kebimbangan yang mereka alami. Mungkin sebab ini juga, Aprillia menutup diri. Walaupun ada banyak tanya yang ingin dia kemukakan dan lebih memilih menjalani sesuai jenis kelamin yang disandangkan.
Hal yang Aprillia katakan saat pihak medis memutuskan bahwa ia adalah seorang laki-laki adalah bersyukur. Karena inilah momen yang ia tunggu. Terlebih dari pro kontra yang bergulir di masyarakat. Kini ia bahagia dengan status barunya. Aprillia tak menjadikan kekurangannya sebagai hambatan. Terbukti ia menjadi atlet bola voli berprestasi. Kini, ia menjadi anggota kesatuan TNI. Dan seharusnya perubahan jenis kelamin yang dilakukan tidak membuatnya keluar dari kesatuan.
Aprillia Manganang bukanlah transgender, ia menjadi perempuan karena hipospadia, dan dikira sebagai perempuan. Kasus ini menjadi pembelajaran bagi kita semua. Bahwa mengklasifikasikan jenis kelamin tidak cukup menjadi laki-laki atau perempuan. Apalagi jika memang terlihat ada “kelainan” maka tidak ada yang salah ketika memutuskan untuk bicara dan bertanya pada pihak medis. Lalu rangkul mereka, bukan malah menggunjingkannya. []