Mubadalah.id – Di era ini, kita mendapatkan kemudahan-kemudahan yang tentu saja tidak ditemukan di masa lalu. Saat ingin berbelanja tapi enggan pergi langsung, kita bisa menggunakan jasa online melalui marketplace dan aplikasi lainnya. Begitupun saat bepergian atau traveling, kita dengan mudah memesan kendaraan, memilih tujuan yang kita mau sesuai aplikasi, hingga memesan penginapan secara mudah dan praktis.
Kemudahan-kemudahan ini lah menjadi alasan banyak orang mengagendakan liburan baik di dalam negeri bahkan hingga ke luar negeri. Juga sudah tidak asing lagi, beberapa orang memilih solo traveling untuk mendapatkan sensasi me time dan berpetualang.
Namun masih ada saja yang mengaitkannya dengan lensa pandangan agama. Seperti salah satu pertanyaan yang masuk di direct message akun instagram, seseorang mengirimiku pertanyaan berikut; Boleh nggak cewek solo traveling sendiri ke luar negeri? Atau traveling bersama teman perempuannya. Kata beberapa influencer yang aku dengar, mereka menyebut haram dan nggak boleh, harus ada mahram. Tapi masa iya? Aku melihat banyak sekali perempuan traveling sendiri ke luar negri.
Jika melihat dari pertanyaannya, saya kira dia meragukan pernyataan dari influencer yang ia dengar, dan ingin menguatkan pemahamannya bahwa memang tak ada syarat mutlak bepergian harus bersama mahram.
Dari beberapa referensi yang saya cari, konsep mahram dalam arti pelarangan perempuan keluar bepergian tanpa pendampingan dari keluarganya tidak dijelaskan dalam al-Qur’an, karena konsep ini ternyata dipahami oleh ulama dari hadist.
Nabi Saw; bersabda“Tidak dihalalkan bagi perempuan beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian tanpa mahram, sejauh jarak tempuh perjalanan tiga hari tiga malam ke atas.” Kemudian seorang sahabat bertanya: “Bagaimana dengan istri saya yang melakukan perjalanan haji (tanpa mahram), saya tidak bisa mengantar karena akan berangkat berperang?” Nabi menjawab: “Susullah dan temani istrimu.” (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dari hadist, seperti yang dikatakan Dr. Wahbah al-Zuhaili, ulama fikih melarang perempuan untuk melakukan perjalanan di atas jarak tempuh tiga hari tiga malam pada masa itu atau 20 farsakh sekitar 100 KM. Dalam pemahaman ini artinya yang diharamkan bukan asal perjalanan, tetapi perjalanan dengan jarak tempuh tertentu.
Bahkan Dr. Yusuf al-Qardhawi pernah menyampaikan tawaran pemahaman baru, bahwa hadist di atas sebenarnya tidak secara eksplisit menyebut jarak tempuh. Hal ini berarti larangan tersebut bisa didasarkan pada jarak tempuh tiga hari tiga malam, atau bisa juga bukan jarak tetapi perjalanan yang memakan waktu tiga hari tiga malam. Yang terpenting adalah keamanan perempuan.
Yusuf al-Qardhawi juga pernah memfatwakan kebolehan perempuan yang melakukan perjalanan dengan pesawat terbang tanpa mahram. Sekalipun jaraknya beratus-ratus kilometer atau ribuan. Syaratnya harus ada mahram yang mengantar dan menjemput di bandara.
Ibn Rusy dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid berpendapat bahwa larangan perempuan untuk bepergian tanpa mahram itu tidak berlaku ketika perjalanan yang dilakukan untuk menunaikan ibadah haji. Hal ini karena ibadah haji merupakan kewajiban dan perintah agama. Selama ada jaminan keamanan, maka perempuan diperbolehkan pergi menunaikan ibadah haji tanpa mahram.
Jika memahami lebih mendalam sebenarnya yang ingin ditekankan Nabi Saw adalah pengadaan keamanan untuk perempuan. Hal ini bisa kita pahami dari jawaban Nabi terhadap sahabat kala itu, bukan perintah untuk menghalangi perjalanan perempuan, tetapi kalimat ‘susullah dan temani istrimu’ bermakna perintah Nabi untuk memastikan keamanan dan perlindungan bagi perempuan.
Dikuatkan dengan pernyataan Syaikh al-Ghazali yang juga mengindikasikan hal ini. Di dalam kitabnya ia menutup pembahasan perihal perempuan bepergian dalam fikih dengan pernyataan renungan tentang hadist berikut: ‘Akan datang suatu masa di mana keamanan merambah seluruh negeri, sehingga seorang perempuan melakukan perjalanan dari Makkah ke San’a (sebuah kota di Yaman) tanpa merasa takut kecuali kepada Allah’.
Dari pandangan-pandangan tersebut dapat dipahami bahwa konsep mahram di dalam kajian fikih (syariat), selain tentang munakahat juga merupakan konsep perlindungan dan pengamanan bagi perempuan. Mahram dipakai untuk konsep perlindungan karena hubungan kerabat pasti memiliki hubungan emosional yang lebih erat.
Namun jika yang terpenting adalah memastikan keamanan dan perlindungan bagi perempuan, apakah kehadiran mahram dalam perjalanan itu mutlak sehingga solo traveling bagi perempuan menjadi haram? Atau selagi negara membuat sistem sosial yang ramah terhadap perempuan, maka seharusnya tak masalah jika perempuan bepergian sendirian.
Dalam hal ini, seluruh komponen masyarakat dianjurkan untuk bersama-sama mewujudkan perlindungan dan pengamanan bagi seluruh warga, tidak memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana pun tidak adil, jika terjadi sesuatu yang menimpa perempuan di perjalanan seperti pelecehan seksual, kemudian perempuannya yang dilarang untuk melakukan aktivitas di luar dengan alasan keamanan. Mengapa tidak laki-lakinya saja yang dilarang untuk keluar agar perempuan bisa aman melakukan perjalanan sendirian di luar?
Inilah logika yang selalu disampaikan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dengan Qira’ah Mubadalahnya. Dari sini saya bisa menyimpulkan bahwa berpergian sendiri dan melakukan solo traveling baik di dalam maupun di luar negeri tidak ada kaitannya dengan halal haram. Selagi tempat yang dituju sudah dipastikan ramah terhadap perempuan dengan sistem keamanan yang baik, why not? []