• Login
  • Register
Selasa, 28 Maret 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Fikih Antikekerasan Seksual Setelah Fikih Kekerasan Seksual Part II

Ayu Rikza Ayu Rikza
14/12/2020
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
261
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Fikih Antikekerasan Seksual” tidak berhenti dengan menempatkan kekerasan seksual sebagai bagian dari perilaku dosa besar nan zalim semata. Akan tetapi, ia juga bergerak dalam penegakan hukum sebagaimana tujuan pokok penjatuhan hukum dalam syari’at Islam, yakni tujuan pencegahan atau preventif (ar-radu wa zajru) dan tujuan pengajaran serta pendidikan atau represif (al-islah wa tahdzib).

Sebagai tambahan, dalam tulisan Makhrus Munajat, “Hukum Pidana Islam Di Indonesia”, penjatuhan hukuman juga berfungsi sebagai special prevention (pencegahan khusus) yang mengandung nilai treatment sehingga setelah mendapatkan sanksi, pelaku akan bertaubat dan tidak mengulangi kejahatannya lagi.

Aspek pencegahan berkomitmen agar pelaku tidak mengulangi perbuatan kekekerasan seksual atau tidak terus menerus melakukan perbuatannya dan berfungsi untuk mencegah orang lain agar tidak melakukannnya. Hal ini berarti “Fikih Antikekerasan Seksual” dapat memberikan penjelasan hukuman yang menimbulkan efek jera dan rehabilitasi terhadap pelaku dengan tujuan mengubah pola pikir dan perilaku seksual pelaku dan mencegah berulangnya kekerasan seksual olehnya. Pembahasan pidana terhadapnya juga harus didiskusikan dengan perspektif hukum negara menyoal kasus kekerasan seksual ini.

Dalam ranah pencegahan yang lebih luas, “Fikih Antikekerasan Seksual” juga mengatasi penyebab-penyebab terjadinya kekerasan seksual. Selain disebabkan oleh kecatatan moral yang telah dijelaskan dalam tulisan “Menuju Fikih Kekerasan Seksual”, sebagaimana penelitian yang dikeluarkan oleh Komnas Perempuan pada tahun 2016 dan pendapat dari kalangan ulama seperti K.H. Marzuki Wahid, kekerasan seksual juga disebabkan—salah satunya—oleh budaya patriarki yang terkadang dilegitimasi oleh tafsir-tafsir keagamaan yang bersifat konservatif.

Budaya patriarki menempatkan perempuan adalah subordinasi dari laki-laki dan hanya dilihat sebagai objek seksual. Tentu saja penyebab ini akan berbeda kasusnya ketika yang menjadi korban adalah laki-laki. “Fikih Antikekerasan Seksual” harus membahas bagaimana patriarki mengandung madarat karena dapat menyebabkan tindakan kekerasan seksual. Hal ini beriringan dengan pembahasan akan komitmen Islam untuk meralat budaya patriarki dengan narasi bahwa Islam mendukung keadilan dan keseteraan gender.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Islam Pada Awalnya Asing
  • Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Laki-laki dan Perempuan Dilarang Saling Merendahkan
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Nabi Saw Melarang Umatnya Merendahkan Perempuan

Baca Juga:

Islam Pada Awalnya Asing

Jogan Ramadhan Online: Pengajian Khas Perspektif dan Pengalaman Perempuan

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Laki-laki dan Perempuan Dilarang Saling Merendahkan

Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Nabi Saw Melarang Umatnya Merendahkan Perempuan

Selanjutnya, dalam usaha penyelesaian kasus kekerasan seksual, “Fikih Antikekerasan Seksual”  juga harus memberikan sistem hukum yang berperspektif korban. Pertama, dengan menyepakati perlunya mengakomodasi barang bukti tambahan dalam kasus kekerasan seksual sebagaimana yang dilakukan oleh RUU P-KS. Hal ini bertujuan agar penyintas kekerasan seksual mendapat peluang untuk mendapatkan keadilan sebagai pemenuhan syarat pembuktian. Sebab selama ini, korban tak kunjung mendapat keadilan dikarenakan minimnya alat bukti.

Kedua, mendukung adanya rehabilitasi kepada korban dengan tujuan untuk menyelamatkan korban dari trauma.

Ketiga, menolak adanya tebang pilih hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual dengan alasan masih dapat diselesaikan melalui islah misalnya saja mediasi keluarga atau penangguhan hukuman pelaku dengan alasan finansial dan status yang menyelimutinya. Sebab penangguhan dan penguluran hukuman tidak  dapat menjamin pelaku berhenti melakukan tindakan bejatnya sehingga dapat menimbulkan korban baru.

Agar tidak terjebak dalam perspektif fikih yang liberal karena terlalu condong kepada maqasid syari’ah, “Fikih Antikekerasan Seksual” tetaplah mengandung prinsip I’tidal. Prinsip I’tidal sendiri bermakna komitmen untuk menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan  lurus. Artinya Fikih Anti Kekerasan Seksual juga harus berani mengatakan bahwa prostitusi, zina, aborsi, pelacuran dan praktik homoseksual merupakan penyimpangan dalam Islam dan harus dilarang seluruhnya oleh Islam terlepas dari adanya consent atau tidak. Ia juga tidak boleh keluar dari ijma’ ulama.

Secara definisi “Fikih Antikekerasan Seksual” merupakan fikih yang berfungsi untuk memberantas kekerasan seksual. Ia berdiri sebagai terjemahan praksis yang lebih konkret dari dasar teologis kekerasan seksual yang telah banyak didiskusikan pada tulisan-tulisan lain. Terinspirasi dari arah gerak Fikih Antikorupsi yang ditulis oleh Tamyiz Muharrom, setidaknya “Fikih Antikekerasan Seksual” akan bergerak pada tiga jalan berikut.

Pertama, Gerakan Sosial Keagamaan Antikekerasan Seksual yang bermisi melakukan transformasi nilai-nilai teologi anti kekerasan seksual terhadap basis kelembagaan agama dan kegiatan agama ke arah isu-isu publik. Kedua, Gerakan Pendidikan Antikekerasan Seksual yang berkomitmen menanamkan kesadaran antikekerasan seksual dengan mengintegrasikan dalam proses pembelajaran keagamaan sehingga mampu menjangkau masyarakat yang lebih luas di samping melakukan penguatan wacana agama anti-kekerasan seksual itu sendiri. Ketiga, Gerakan Lembaga Antikekerasan Seksual dengan mempelopori pengelolaan organisasi atau lembaga agama maupun non-agama sebagai ruang aman dari kekerasan seksual dan tentu saja ramah terhadap perempuan.

Ruang aman adalah kebutuhan setiap individu. Islam telah berkomitmen sedari awal untuk menjadi rahmat sehingga tidak perlu ada umat yang terzalimi dalam persoalan yang berorientasi seksual maupun tidak. Menolak RUU P-KS adalah sia-sia belaka jika pada akhirnya kita sama-sama ingin menghapus kekerasan seksual tetapi tanpa disertai tawaran alternatif. Kita harus lebih progresif dengan tidak menolaknya, tetapi justru menyempurnakan usaha penghapusan kekerasan seksual melalui “Fikih Antikekerasan Seksual”.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat.” (QS An Nisa:58).

Wallahu a’lam bissawab wailaihil marji’ wal maab. []

Tags: FiqihislamKekerasan seksualKomnas Perempuanperempuanstop kekerasan terhadap perempuan
Ayu Rikza

Ayu Rikza

A herdswoman in the savannah of knowledge—but more likely a full time daughter and part time academia.

Terkait Posts

Flexing Ibadah

Flexing Ibadah selama Ramadan, Bolehkah?

28 Maret 2023
Propaganda Intoleransi

Waspadai Propaganda Intoleransi Jelang Tahun Politik

27 Maret 2023
Penutupan Patung Bunda Maria

Kisah Abu Nawas dan Penutupan Patung Bunda Maria

26 Maret 2023
Zakat bagi Korban

Pentingnya Zakat bagi Perempuan Korban Kekerasan Seksual

25 Maret 2023
Asy-Syifa Binti Abdullah

Asy-Syifa Binti Abdullah: Ilmuwan Perempuan Pertama dan Kepala Pasar Madinah

24 Maret 2023
Rukhsah bagi Ibu Hamil dan Menyusui

Rukhsah bagi Ibu Hamil dan Menyusui Saat Ramadan

23 Maret 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Tradisi di Bulan Ramadan

    Menggali Nilai-nilai Tradisi di Bulan Ramadan yang Mulia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Flexing Ibadah selama Ramadan, Bolehkah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Puasa Dalam Perspektif Psikologi dan Pentingnya Pengendalian Diri

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Islam Pada Awalnya Asing
  • Jalan Tengah Pengasuhan Anak
  • Imam Malik: Sosok yang Mengapresiasi Tradisi Lokal
  • Mengapa Menjadi Bapak Rumah Tangga Dianggap Rendah?
  • Kitab Sittin Al-‘Adliyah: Prinsip Kasih Sayang Itu Timbal Balik

Komentar Terbaru

  • Profil Gender: Angka tak Bisa Dibiarkan Begitu Saja pada Pesan untuk Ibu dari Chimamanda
  • Perempuan Boleh Berolahraga, Bukan Cuma Laki-laki Kok! pada Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Miliki Potensi Sumber Fitnah
  • Mangkuk Minum Nabi, Tumbler dan Alam pada Perspektif Mubadalah Menjadi Bagian Dari Kerja-kerja Kemaslahatan
  • Petasan, Kebahagiaan Semu yang Sering Membawa Petaka pada Maqashid Syari’ah Jadi Prinsip Ciptakan Kemaslahatan Manusia
  • Berbagi Pengalaman Ustazah Pondok: Pentingnya Komunikasi pada Belajar dari Peran Kiai dan Pondok Pesantren Yang Adil Gender
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist