Mubadalah.id – “Wah, pesantrennya di sini adem ya…. Banyak pohonnya….” atau “bersih ya pesantren di sini….” Kurang lebih begitulah komentar positif para calon wali santri yang datang mendaftarkan putra atau putrinya di Pondok Pesantren Mahasina.
Mengingat letaknya di Kota Bekasi, tepatnya di Jati Waringian, Pondok Gede, kesan umum daerahnya memang panas dan cenderung tidak banyak pohon. Terlebih lokasi Mahasina di tengah perkampungan padat. Jadi tidak mengherankan, kalau banyak calon wali santri begitu datang ke lokasi saat mendaftarkan putra-putrinya seketika dibuat kaget dengan kondisi Mahasina yang jauh dari bayangan pemberitaan umum di media sosial tentang Kota Bekasi yang panas.
Di Mahasina berbagai macam pohon berbuah bahkan tumbuh. Bermacam-macam jambu, dari jambu air, jambu jamaika, jambu biji, hingga jambu mete, klengkeng, nangka, mangga, pisang, rambutan, dan kelapa, semua ada. Jika musim buah, para santri biasanya yang memanen, sebagian dihaturkan ke pengasuh, para ustadz dan ustadzah, disuguhkan ke tamu, dinikmati bersama para santri, dan dibagi-bagikan ke tukang hingga warga. Tak jarang santri dan para ustadz juga membuat rujak buah bersama di hari libur.
Banyak pohon tidak berbuah juga tumbuh di Mahasina. Ada pohon jati yang cukup besar, hingga pohon bambu dan berbagai pohon hiasan menjulang tinggi-tinggi dan rimbun daunnya. Bermacam-macam bunga ditata rapi di sudut-sudut bangunan. Ada sebagian memang ditanam para santri, namun ada juga yang dibawa santri sekembalinya ke Mahasina dari rumah sewaktu liburan.
Memang sewajarnya jika lantas tiga lembaga di PBNU, yaitu LAZISNU PBNU, LPBI NU, dan RMI PBNU, menjadikan Pondok Pesantren Mahasina sebagai satu dari tujuh Pondok Pesantren yang menjadi sasaran program Pesantren Hijau.
Mahasina bisa menjadi pesantren hijau, tidak lain karena peran sentral dari pengasuh yang sangat peduli lingkungan, cinta tanaman, dan memberikan keteladanan dalam mengamalkan ajaran Islam kepada para santri. Mengamalkan ajaran Rasulullah SAW dalam mendidik yang paling efektif. Yaitu dengan keteladanan.
Peran Sentral Pengasuh
Pengasuh Mahasina memiliki kecintaan sangat tinggi terhadap tanaman. Sewaktu Mahasina belum berdiri, KH. Drs. Abu Bakar Rahziz, M.A. dan Ibu Nyai Hj. Dra. Badriyah Fayumi, Lc. M.A., sepulang dari Mesir dan kemudian membangun rumah tinggal di Jl. Masjid Raya, Jatiwaringin, Pondok Gede. Kediaman beliau yang berornamen kayu-kayu, banyak tertanami pohon, bunga, dan tertata dengan indah.
Hobi Abah, sapaan akrab KH. Drs. Abu Bakar Rahziz, M.A., dalam menanam pohon dan tanaman berlanjut ketika mulai merintis Mahasina. Bahkan terus hingga sekarang bersama Ibu Nyai Badriyah. Awalnya memang Abah banyak membeli bibit-bibit pohon dan tanaman. Namun begitu para wali santri mulai mengetahui kecintaan beliau menanam berbagai pohon, seringkali saat sowan ke Mahasina banyak juga wali santri membawakan bibit-bibit pohon atau cangkokan.
Ibu Nyai Badriyah untuk memasifkan pesantren hijau, dan mengajarkan para santri mencintai tanaman, tiap liburan semester saat akan pulang juga menghimbau kepada santri yang di rumah punya banyak bunga atau tanaman, agar membawa satu untuk dirawat di Mahasina. Hasilnya sangat menyenangkan, Mahasina jadi semakin banyak bunga, juga beraneka macam bunganya.
Namun di tengah terus bertambah banyak santri mencapai 1000-an, turut mendorong pembangunan lokal dan asrama kian masif. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, menyangkut pohon besar yang telah tumbuh mau tidak mau lahannya harus dialih fungsikan pembangunan. Abah selalu berusaha tidak mematikan pohon yang ada.
Yang masih logis bisa kita pindahkan, akan dipindahkan. Tetapi pohon yang sudah terlalu besar dan tidak bisa kita pindahkan. Jika bisa disiasati tidak kami tebang, akan tetap dipertahankan. Sehingga, tidak mengherankan kalau ada beberapa bangunan di Mahasina yang di dalamnya terdapat pohon besar masih tetap tumbuh demi menghindari peenbangan. Menariknya, kerapkali justru itu memperindah bangunannya. Jadi unik dan lebih bernilai estetis saat dilihat.
Ragam Permasalahan Lingkungan di Pesantren
Permasalahan lingkungan di pesantren sebenarnya tidak bisa kita pandang sederhana. Pasalnya bukan soal sekadar tanam menanam pohon atau merawatnya. Namun ada banyak hal yang menjadi persoalan serius dan jika tidak kita tangani dengan strategi cerdas, juga tersistem, akan bisa berdampak buruk, bahkan menjadi bencana.
Pertama, soal kebersihan dan sampah. Pesantren jika tidak bersih dan banyak sampah, pasti akan banyak bakteri, virus, dan membawa penyakit. Mulai dari penyakit kulit hingga berbagai penyakit lainnya. Jika ada santri sudah terpapar, penularannya sangat cepat ke santri lain. Kalau tidak tertangani dengan cepat, maka akan berdampak semakin buruk. Bisa-bisa satu pesantren tertular, karena di dalam pesantren selalu berinteraksi antara satu dengan yang lain.
Artinya, soal kebersihan adalah pemasalahan serius. Pesantren harus bersih dari sampah. Sampah juga harus terkelola dari hulu ke hilir. Mulai dari pembiasaan kedisiplinan santri dalam membuang sampah pada tempatnya. Pembedaan kategori tong sampah dari organik yang mudah diurai dan nonoganik, hingga ke pembuangan akhir.
Apakah kita bakar, dihancurkan, atau kita distribusikan ke pengelola sampah di daerah setempat. Jadwal pendistribusian sampah hingga pembuangan akhir pun juga harus terjadwal ketat. Karena jika tidak, sampah bisa menggunung dan yang berakibat selain bau pasti menyengat, juga menjadi tidak sehat.
Air Bersih dan Limbah
Kedua, air bersih dan air limbah. Persoalan air ini di pesantren juga sangat vital. Air bersih sendiri ibarat menjadi sumber kehidupan di pesantren. Karena terpakai mandi, mencuci, bersuci, kebutuhan dapur, dan berbagai kebutuhan lain. Tidak boleh stok air bersih kekurangan, apalagi habis. Pasalnya, berdampak serius ke seluruh aktivitas di pesantren yang ditinggali oleh banyak penghuni.
Sama pentingnya air bersih untuk konsumsi minum. Tidak boleh stoknya sampai habis. Terlebih secara umum bagi pondok pesantren yang aturannya ketat santri tidak mudah keluar dan harus izin.
Selanjutnya, permasalahan air limbah. Hal itu tidak bisa asal ada selokan pembuangan. Sangat kita butuhkan ilmu pengetahuan terkait hal ini, karena dampak tak kalah serius jika tidak tertangani dengan benar. Selain kebanjiran air limbah di lingkungan pesantren, menimbulkan bau tidak sedap dan juga menjijikkan, bisa berdampak ke lingkungan masyarakat sekitar.
Selokan pesantren alur alirannya juga harus kita atur dengan baik bagaimana memudahkan air lancar hingga ke pembuangan limbahnya. Ukuran selokan juga harus kita sesuaikan. Termasuk penampungan pembuangan limbah. Bahkan jika memungkinkan, kita bangun infrastruktur untuk pengolahan air limbah agar bisa kembali jernih dan bisa kita manfaatkan. Selanjutnya, pengecekan dan pola pembersihan selokan dan penampungan air limbah, juga harus kita buat penjadwalan scara berkala. Sehingga terus terkontrol dan jika ada yang tersumbat segera bisa tertangani.
Menyangkut penanganan air, juga termasuk untuk air hujan, perlu pengelolaan. Bagaimana jika turun hujan besar agar tidak sampai menimbulkan genangan, bahkan hingga kebanjiran di pesantren. Pembuangan air hujan harus terkelola, kita buat resapan-resapan untuk mempercepat air terserap ke tanah dan segera kering.
Perawatan Tanaman dan Tumbuhan
Ketiga, perawatan tanaman dan tumbuhan. Penting adanya tanaman dan tumbuhan d ipesantren karena akan membuat lingkungan pesantren sehat dan pasokan oksigen akan lancar. Air bersih tercukupi, karena akar pohon menampung air. Di samping itu hawa pesantren akan menjadi sejuk dan dari sisi pemandangan akan terlihat lebih indah. Itu jika tanaman dan tumbuhannya kita rawat dengan baik.
Namun banyaknya tanaman dan tumbuhan kalau tidak terawat, malah menambah permasalahan. Selain mati dan menimbulkan banyak sampah, jadi terlihat kotor, tidak terawat, menjadi sarang hewan berbahaya, dan batang pohon bisa tumbang sewaktu-waktu membahayakan keselamatan santri bisa tertimpa.
Pembiasaan kepedulian lingkungan di Pondok Pesantren Mahasina bagian dari implementasi konsep pendidikan terintegrasi dan sekaligus menjalankan Trilogi Santri, yaitu “Berilmu amaliyah, beramal ilmiyah, berakhlakul karimah.” Karena di Mahasina ilmu pengetahuan tidak terputus sampai hanya sekadar kita pahami dan mengerti. Namun juga desain untuk kita amalkan, biasakan, hingga menjadi karakter santri dalam kehidupan sehari-hari.
Di Mahasina para santri telah menghafal berbagai dalil-dalil tentang kepedulian lingkungan hidup, baik dari ayat-ayat Al Qur’an maupun hadits. Konsep pendidikan terintegrasi yang Mahasina usung, di antaranya adalah integrasi ilmu-amal-akhlak dalam kehidupan sehari-hari dan integrasi antara kemampuan teoritis dengan keterampilan praktis (life skill). Di samping santri menghafal dalil menyangkut kepedulian lingkungan, juga sekaligus mereka terbiasa mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari bagaimana peduli terhadap lingkungan di pesantren. Dengan kebiasaan itu harapannya akan menjadi karakter santri. Hingga kemudian bisa tetap terus santri lakukan begitu lulus dari pesantren.
Pembiasaan Kepedulian Lingkungan di Mahasina
Pembiasaan itu pun dibuat menjadi sistem dan dilembagakan di Mahasina. Di samping Kiai Abu Bakar Rahziz dan Ibu Nyai Badriyah Fayumi yang membimbing santri untuk program tersebut, diangkat seorang Ustadz/ah bagian khusus yang menangani kebersihan dan pertanaman (kepedulian lingkungan) untuk membimbing santri. Adapun di Organisasi Santri Mahasina (Orsam) sendiri, baik putra maupun putri, juga terdapat divisi bidang tersebut yang menjadi penanggungjawab program.
Terkait pembiasaan kepedulian lingkungan ini sebagaimana dikatakan Kiai Abu Bakar Rahziz dan Ibu Nyai Badriyah Fayumi dalam berbagai wawancara dengan media, akan terus dipertahankan. Bahkan Kiai Abu Bakar Rahziz mengatakan, jika Mahasina nanti sudah banyak pohon dan tanaman, selanjutnya akan menghijaukan lingkungan di sekitar pondok pesantren.
Nyai Badriyah Fayumi juga menyebut, jika menghijaukan lingkungan adalah wujud iman sekaligus wujud ukhuwah alamiyah atau persaudaraan manusia dengan semesta, karena sama-sama makhluk Allah yang harus saling menghidupi. Sesama subyek semesta yang saling menjaga. Karena manusia bukan subyek yang menjadikan alam sebagai obyek. Melainkan manusia dan alam adalah sama-sama subyek bagi bumi asri lestari. Itulah nilai-nilai yang terus diedukasikan kepada santri.
Tidak hanya sekadar menjadi edukasi, namun juga dibiasakan dalam mengamalkan dan diharapkan hingga menjadi karakter kepedulian santri terhadap lingkungan. Selanjutnya, begitu nanti santri lulus bisa menjadi agen-agen kepedulian terhadap lingkungan di manapun mereka berada. Baik di tempat mereka kuliah, bekerja, maupun tempat tinggal bersama masyarakat. []