Mubadalah.id – Islam merupakan agama yang secara tegas memberikan perlindungan terhadap perempuan dari semua bentuk kekerasan seksual.
Dalam QS. an-Nuur [24]: 33, Allah dengan tegas melarang siapa pun memaksa perempuan, termasuk para budak, untuk melacur.
Bahkan, ayat ini adalah salah satu perintah tentang pentingnya penghormatan terhadap martabat perempuan, dan menjadi dasar prinsip kesetaraan dan hak tubuh dalam Islam.
Dengan ini, perempuan dalam Islam, adalah manusia yang memiliki hak menentukan kehormatan dirinya.
Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam Qiraah Mubadalah menegaskan bahwa semua ajakan dan perintah dalam Al-Qur’an adalah untuk laki-laki dan perempuan. Islam mengajak keduanya, memanggil keduanya, dan meminta komitmen dari keduanya.
Karena itu, pahala yang dijanjikan juga untuk keduanya, dengan prinsip siapa yang berbuat. Maka dialah yang mendapat balasan, bukan atas dasar jenis kelamin sama sekali.
Bahkan ketika masih ada keraguan dalam masyarakat mengenai kesetaraan ini, Allah menurunkan ayat yang menegaskan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama sebagai subjek iman dan amal saleh.
“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan; sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain.” (QS. Ali Imran [3]: 195).
Dan juga: “Orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS. at-Taubah [9]: 71).
Dua ayat ini, menurut Kiai Faqih menjadi dasar teologis dari konsep mubadalah bahwa laki-laki dan perempuan adalah mitra spiritual, sosial, dan moral dalam membangun peradaban Islam. Relasi mereka bukan hierarkis, tetapi kolaboratif.
Membaca Ulang Ajaran Islam dengan Keadilan Relasional
Dalam perspektif mubadalah, Islam bukan agama patriarki yang memihak laki-laki. Tetapi agama kemanusiaan yang menuntut keadilan dan saling menghormati. Perbedaan biologis tidak boleh dijadikan dasar ketimpangan hak dan kewajiban.
Sebagaimana dalam pandangan Kiai Faqih: “Keadilan dalam Islam bukan tentang siapa yang lebih tinggi atau lebih rendah. Tetapi siapa yang lebih siap menegakkan kemanusiaan bersama.”
Karena itu, memahami Islam dengan perspektif mubadalah berarti membaca ulang teks-teks suci dengan prinsip saling (mutuality) yaitu saling menunaikan hak, saling menanggung tanggung jawab, dan saling menegakkan kebaikan. []