Mubadalah.id – Ini adalah kali pertama aku keluar rumah semenjak mudik seminggu yang lalu.
Setelah berpuluh purnama berada di rantauan, ternyata pertanyaan utama yang mereka lontarkan masih tetap berkutat pada statusku.
“Masih betah sendiri?”
“Si A sudah punya dua anak, lho…”
Sebetulnya aku mulai kebas dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Tinggal senyumin saja, lah. Tapi ya, bagaimana ya… mulut netizen kadang lebih tajam dibanding silet.
Ajang silaturrahmi Idulfitri di rumah saudara tertua ibuku kali ini begitu mengesankan. “Sangat mengesankan!”
“Yan, kapan menikah? Tidak ada riwayat perawan tua di keluarga kita,” cletuk Uwa, suami dari kakak tertua ibuku.
Aku yang sedang memangku cucunya langsung menuangkan teh hangat yang tersaji di meja.
“Kalau kamu belum punya pilihan, biar Uwa yang carikan!” pungkasnya mantap.
“Nanti kalau sudah ada yang sreg, pasti saya kenalkan, Wak,” selorohku setelah menyeruput teh hangat.
“Ah, Dian jawabnya selalu begitu…,” ungkap anaknya yang juga sepupuku.
“Dikenalin sama Danu yang ganteng dan kaya gak mau, sama ponakannya kaji Durokman gak cocok, cari yang gimana sih Yan? Yan, jangan palah pilih tebu![1]” lanjutnya sedikit meninggikan suara.
“Perempuan itu tidak baik lama-lama sendiri, bisa jadi fitnah!” tegas Uwa ku.
“Lagi pula kalau sudah menikah, enak. Kamu tidak perlu merantau lagi untuk kerja, kan sudah ada yang jamin hidupmu, Yan. Atau… jangan bilang kalau kamu masih mengharapkan Bana, Yan!”
Suara kakak ibuku dari balik hordeng datang sambil membawa beberapa toples kue. Seketika, teh hangat yang baru kuminum kembali menyembur karena tersedak.
***
Sejujurnya, aku malas kalau harus muter-muter ke rumah keluarga. Tapi ibu dan bapakku sama-sama anak bungsu, jadi mau tidak mau mereka harus berkeliling mendatangi para kakaknya untuk bersilaturrahmi.
Meskipun ingin menolak ajakan ibu, aku tak tega melihatnya. Terlebih sudah tiga tahun aku tidak mudik. Alhasil, ya begini ini.
Sepulang dari silaturahmi, ibuku jadi termenung sepanjang hari. Tampaknya pertanyaan-pertanyaan dari saudara-saudara yang kami temui tadi sangat mengusik pikirannya.
Aku, anak semata wayangnya, masih melajang.
Lalu, apa masalahnya? Mungkin niat dan maksud Uwa ku baik. Tapi melihat ibu aku jadi geram juga. apakah sebuah kesalahan kalau di usia yang menjelang 40 ini aku masih sendiri?
Toh, aku bisa hidup mandiri, tidak membebani mereka. Malah, sering kali mereka yang meneleponku untuk meminjam uang. Lagi pula, menikah itu bukan untuk menyerahkan hidup agar dijamin oleh suami.
Aku tidak menolak cinta, hanya saja aku menolak dipaksa untuk tunduk pada waktu dan standar orang lain. Hidupku bukan utang yang harus dibayar dengan menikah. Aku perempuan, bukan barang kadaluarsa.
Entahlah. Memang repot kalau mendengarkan perkataan orang lain atau sejujurnya lebih terasa “penghakiman”.
Menjadi perempuan itu tidak mudah, ternyata. Menikah muda jadi gunjingan. Menikah lalu memilih berpisah jadi bahan pembicaraan.
Lah, yang terjadi padaku ini, belum menikah, apalagi…!
****
“Bana.”
Mendengar nama itu, hatiku bergetar. Suara Uwak tadi seolah melesat jauh, menembus relung-relung terdalam hatiku. Dalam sepersekian detik, gelombang suara itu memanggilnya keluar dari tumpukan ingatan yang selama ini coba kutimbun dengan segala cara untuk dilupakan.
Seolah ingin mengusir kehadirannya dari pikiranku, aku buru-buru berpamitan pada ibu yang sedang nderes Al Qur`an. “Bu, Aku keluar dulu ya…” kataku pendek sambil melangkah cepat ke luar rumah.
Hatiku yang mulai sesak berharap bisa menemukan semilir angin ketenangan.
Skuterku melaju perlahan, menerobos jalanan ramai yang dipenuhi pengendara motor. Udara malam kuhirup dalam-dalam, mencoba meredam gejolak dalam dada. Jalanan Sumur Watu, Kecamatan Terisi, tampak begitu berbeda sekarang.
Waktu seakan berlari cepat. Dulu, saat aku masih remaja, jalan ini begitu sepi, apalagi ba’da Isya seperti ini. Saat itu, aku pasti sedang berada di langgar, melantunkan nadzom atau lalaran kitab-kitab klasik seperti Abda ‘Ubis, Alala, Tasrifan, Safinah, atau fathul qorib yang bahkan belum sempat aku khatamkan.
Sering kali aku merasa iri pada remaja-remaja lain yang bisa duduk santai di teras rumah menunggu kekasih datang apel, atau menonton sinetron sambil ngemil. Tapi untukku, mengaji adalah kewajiban. Orang tuaku sangat disiplin, dan sebagai anak satu-satunya, aku tidak punya banyak pilihan.
Batas Tegas Nyata dan Virtual
Aku berhenti sejenak di pom bensin Terisi. Tempat yang terang benderang ini dulunya hamparan sawah dengan parit curam dan langganan banjir. Kuperhatikan sekeliling, lalu kuputuskan menyeberang dan berhenti di bawah pohon baujan (Samanea saman) yang batangnya meneduhi area parkir sebuah kafe.
Hiasan lampu pijar melingkari batang pohon dan dinding kafe berornamen kayu, menciptakan suasana teduh dan bersahaja. di kafe ini. Suasananya begitu ramai; remaja, pasangan dewasa, bahkan keluarga muda dengan anak-anak mereka memenuhi setiap sudut.
Suasana malam Minggu ini sangat kontras dengan malam Mingguku di masa lalu. Paling banter, aku hanya izin tidak mengaji, lalu tiduran di kamar sambil mendengarkan radio di saluran JTA fm, kemudian Ara, penyiar legendaris di awal 2000-an membacakan atensi yang didalamnya terdapat pesan khusus yang katanya dari pengagum rahasiaku.
“…Dian Indah Sari, seperti biasa nih, ada bingkisan khusus untukmu. Persembahan lagu dari Padi, Menanti Sebuah Jawaban.”
“Aku tak bisa luluhkan hatimu
Dan aku tak bisa menyentuh cintamu
………….”
Musik pun mengalun, dan hatiku kala itu berdebar-debar.
Tapi malam ini, semuanya terasa berbeda.
Gaya nongkrong muda-mudi sekarang lebih modern, menyeruput kopi di kafe sambil memotret suasana untuk kemudian diunggah ke media sosial. Mereka tampil rapi, wangi, dengan outfit yang tampak terpilih dengan cermat, seolah setiap pertemuan adalah sesi pemotretan tak resmi.
Dunia mereka bergerak cepat, penuh koneksi, dan serba mudah. Tak ada lagi batas tegas antara yang nyata dan virtual, semuanya menyatu dalam layar-layar kecil di genggaman mereka.
****
Aku melangkah masuk ke dalam kafe. Bagian luar sudah penuh pengunjung. Beruntung, masih ada tempat kosong di pojok dekat area musala. Dua kursi dan satu meja kecil menantiku.
Tak lama, pramusaji datang mengantarkan pesananku: sepiring banana roll dan segelas lemon squash.
Aku bersandar, mencoba menikmati suasana dan perubahan yang kusaksikan di daerahku. Tapi kemudian seketika jantungku berdegup kencang.
Pandangan mataku terpaku pada sosok pria yang berjalan menuruni tangga bersama istri dan ketiga anaknya. Kami bertatapan. Seketika keringat dingin mengalir di keningku. Dadaku sesak. Aku nyaris tersedak dan hanya bisa mendehem pelan, mencoba menormalkan detak jantung yang porak-poranda.
Dia juga tampak terkejut. Sekilas, seolah hendak menyapa, tapi urung. Ia melangkah pergi, menoleh tiga kali, seperti memastikan, apakah benar perempuan yang ia lihat adalah aku.
“Allah… Allah…”
Lirihku dalam hati.
Kenangan yang kukira telah lenyap itu, datang lagi tanpa permisi.
Masih aku sebut, “Allah… Allah… Allah…”
Aku mencoba menenangkan diriku. Tanganku gemetar saat meletakkan potongan banana roll kembali ke piring. Segelas lemon squash yang kuminum terasa hambar.
Kuseka bulir air mata sebul benar-benar jatuh.
Perasaan sakit yang dulu pernah menenggelamkanku kini kembali menghampiri, begitu jelas, begitu dalam.
Dialah Bana
Santri tahap akhir dari sebuah pesantren di Jawa Timur. Ia dikenalkan oleh Habil, teman ngajiku dulu.
Dialah yang selama tiga tahun pernah empat kali datang ke rumah untuk menemuiku.
Yang di pertemuan terakhir berkata ia mencintaiku dan memintaku menunggunya sampai ia menyelesaikan masa pengabdiannya.
Yang meyakinkan hatiku dengan memberi cincin dan sebuah mukena berbahan sutra Jepang bermotif bordir bunga tabur berwarna merah muda. “Cincin dan mukena ini sebagai pertanda kemantapan hatiku padamu. Setelah aku boyong dari pesantren, berjanjilah engkau akan menerima pinanganku.”
Kini, ia di hadapanku. Bersama istri dan anak-anaknya.
Dan luka itu…
Luka itu kembali menganga.
Aku pun memilih pulang, sepanjang perjalanan, dengan tangan yang masih dingin dan bergetar ku coba terus menyeka air mata yang mengganggu pandangan. Dalam tangis, terngiang suara kiaiku ketika ngaji kitab Ayyuhal Walad karya ulama besar Imam Al Ghazali;
الْعُبُوْدِيَّةِ وَهِيَ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ : أَحَدُهَا مُحَافَظَةُ أَمْرِ الشَّرْعِ وَثَانِيْهَا الرِّضَاءُ بِالْقَضَاءِ وَالْقَدَرِ وَقِسْمَةِ اللّٰهِ تَعَالٰى وَثَالِثُهَا تَرْكُ رِضَاءِ نَفْسِكَ [] فِيْ طَلَبِ رِضَاءِ اللّٰهِ تَعَالٰى
[1] Palah-pilih tebu suatu ungkapan yang bermakna memilih-milih cari yang manis (terbaik) dapatnya yang busuk