Mubadalah.Id– Poligami nampaknya masih menjadi topik menarik untuk diperbincangkan. Banyak pro dan kontra ketika membicarakannya. Beberapa waktu lalu, tersebar pamflet-pamflet seminar poligami nasional di media sosial. Nah berikut penjelasan kala poligami menjadi komoditas industri kreatif.
Dalam pamflet yang tersebar di jejaring media sosial itu tertera biaya pendaftaran sebesar Rp 3,5 juta per peserta. Fasilitas yang didapatkan peserta seperti coffee break, buku saku poligami, materi dari pendamping poligami, dan kaus bertuliskan #2019GantiIstri.
Bahkan di pamflet tersebut secara terang-terangan menyematkan kata “praktisi” kepada pendamping yang akan mengisi acara. Ini seakan menegaskan, pamflet tersebut bertujuan untuk menarik publik dan meyakinkan bahwa pendamping yang akan hadir di acara tersebut betul-betul kompeten dalam berpoligami. Entah sebenarnya konsep yang seperti apa yang diterapkan para praktisi poligami itu.
Seminar tersebut tidak hanya diselenggarakan di satu daerah saja, tetapi akan diselenggarakan di beberapa daerah.
Baca juga: Poligami Bukan Tradisi Islam
Selang beberapa bulan setelah ramai soal seminar tersebut, isu ini kembali mendapat sorotan dari warganet terkait video laporan wawancara yang dilakukan oleh VICE Indonesia. Salah seorang ustadz muda ingin membangkitkan kembali aplikasi yang sempat menjadi kontroversi di negeri ini.
Ustadz itu sebenarnya pengembang perangkat lunak. Tapi kemudian banting stir menjadi praktisi yang ingin mengembangkan website yang mengajak poligami. Situsnya tersebut tidak hanya mengoneksikan para penggunanya saja, namun sekaligus menyediakan fasilitas untuk para penggunanya dengan mengadakan acara-acara di dunia nyata seperti seminar dan tahapan-tahapan selanjutnya.
Ia mengklaim aplikasi bikinannya dapat menjadi platform yang paling sesuai syariat. Ia juga tidak menampik niat membangun aplikasi tersebut dilatari kepentingan komersil.
Pada temu kopi darat yang diadakan, pengelola website tidak saja terjadi karena kepentingannya mempromosikan aplikasi bikinannya semata. Melainkan para peserta yang juga punya kepentingan menjadikan acara sebagai ajang mencari pasangan untuk diajak berpoligami.
Baca juga: Alasan di Balik Larangan Poligami Ali bin Abi Thalib
Dari sini, saya berkesimpulan bahwa produk-produk patriarkal ini masih dilirik untuk dijadikan industri kreatif tanpa melihat nilai-nilai negatif yang sangat mungkin terjadi. Sialnya, industri kreatif semacam seminar beristri lebih dari satu itu laku di masyarakat kita.
Seperti yang dikatakan pengembang website pada seminar tersebut bahwa suami harus bisa meng-install software yang tepat di kepada istri agar niat suami untuk beristri lagi didukung oleh istri pertama.
Lebih dari itu, poligami terkesan sebagai bungkus untuk melegalkan hasrat seksual laki-laki dalam sebuah pernikahan. Berbekal dalil-dalil agama, praktik itu digubah seolah puncak ibadah untuk meraih surga. Padahal masih banyak ibadah lain yang jauh lebih bermanfaat untuk bisa meraih surga. Lalu, adakah nilai-nilai positif untuk perempuan dalam poligami?
Poligami justru menyampingkan nilai-nilai positif untuk menyuarakan hak-hak perempuan. Perempuan tidak diberikan ruang untuk bersuara, bahkan dalam menentukan kehidupannya sendiri.
Konstruksi pemikiran masyarakat kita yang sangat kental dengan nilai-nilai patriarkhi menjadikan ruang-ruang untuk menyuarakan hak-hak perempuan sangat dibatasi. Perempuan atau istri dituntut untuk manut terhadap keputusan-keputusan laki-laki.
Demikian kala poligami menjadi komoditas industri kreatif. Semoga penjelasan kala poligami menjadi komoditas industri kreatif bermanfaat. []