“Saya sangat mendukung Ibu Baiq Nuril mencari keadilan. Akan tetapi seandainya, ini seandainya, ya, belum mendapatkan keadilan bisa mengajukan grasi kepada Presiden, memang tahapannya seperti itu. Kalau sudah mengajukan grasi kepada Presiden, itu bagian saya”.
Demikian pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi), November 2018 terkait kasus Baiq Nuril, mantan guru di Mataram yang justru digugat hukum karena melaporkan pelecehan yang terjadi padanya, seperti dikutip CNN.
Meski pernyataannya soal grasi dikritik karena tidak tepat untuk kasus dengan hukuman di bawah dua tahun, pernyataan Jokowi tersebut dianggap sebagai kesiapan Jokowi untuk turun tangan pada kasus Baiq Nuril.
Belakangan setelah peninjauan kembali kasus Baiq Nuril ditolak, kuasa hukum menagih janji ‘turun tangan’ Jokowi tersebut.
Kuasa hukum berharap Jokowi memberikan amnesti atau pengampunan pada Baiq Nuril. Gayung bersambut, Jokowi meminta Baiq Nuril secepatnya mengajukan amnesti kepadanya.
Setelah peninjauan kembali yang diajukan ke Mahkamah Agung kandas, Baiq Nuril kini tinggal berharap pada amnesti tersebut. Karena respons positif dari Jokowi tersebut, Baiq Nuril dinilai berpeluang besar mendapat amnesti.
Melihat hal tersebut, Ulama Perempuan asal Jombang menilai keputusan Pengadilan Negeri (PN) Lombok sebetulnya sudah tepat. Dimana pada keputusan itu lebih mengedepankan perlindungan kemanusiaan kepada Nuril sebagai korban.
“Tapi dalam keputusan MA, Nuril diputuskan menjadi yang bersalah dengan beban penjara 6 bulan Dan denda 500 juta,” kata Pimpinan Pondok Pesantren Assaidiyyah Tambak Beras, belum lama ini.
Ia menilai, keputusan itu sangat ironi dan fantastis sehingga mengundang emosi banyak orang karena jauh dari rasa keadilan bahkan ada pemutaran persoalan.
Lebih lanjut lagi, pemutaran persoalan yang dipandang oleh MA bukan persoalan yang substansial yakni perlindungan kepada korban tetapi lebih memandang kepada kepentingan pihak yang memicu terjadinya korban.
“Ada apa ini?. Rupanya MA ada khilaf dalam memahami UU-nya,” tanya dosen Universitas KH. Wahab Hasbulloh Tambak Beras Jombang.
Menurutnya, jika menggunakan logika sederhana saja. Maka persoalan (telepon) bukan menimpa Nuril sebagai korban pelecehan seksual, justru atasannya. Kalau tidak ada telepon atasannya pasti tidak akan terjadi rekaman.
“Terus share (berbagai) juga bukan dilakukan oleh Nuril tetapi oleh orang lain yang ingin membantu Nuril mengkomunikasikan masalah dengan pihak berwajib, bisa via Dinas Pendidikan, bisa Polisi,” terangnya.
Dia berpendapat, ada masalah besar pada putusan MA ketika menerapkan UU ITE.
“Ada apa ini?. Dalam Islam itu dipandang ada ketidakadilan dalam memutuskan perkara kepada pihak madhlum (teraniaya). Hukum runcing ke bawah tumpul ke atas,” tutupnya. (WIN)