Mubadalah.id – Perdebatan dan dialektika mengenai kebolehan poligami dalam Islam selalu menjadi pembahasan yang menarik. Pihak pro dan kontra selalu bermunculan seiring dengan narasi yang berkembang secara bergantian. Glorifikasi tentang poligami menjadi salah satu bisnis prestisius yang mendatangkan pundi-pundi rupiah. Berbalut agama dan iming-iming surga, poligami bergaung secara masif seolah jalan tersebut adalah satu-satunya cara yang bisa manusia ambil untuk menggapai surga-Nya.
Lantas bagaimana dengan perempuan? Apakah suaranya terdengar? Sudah pasti jawabannya adalah tidak. Perempuan hanya dianggap sebagai objek dari poligami. Bahkan ia terancam dengan neraka jika menolak untuk dipoligami dan atau jika tidak mengizinkan belahan jiwanya memadu cinta dengan perempuan lainnya. Lantas apakah benar syariat Islam memang menganjurkan sesuatu yang berpotensi menyakiti hati dan perasaan umatnya? Ataukah syariat tersebut hanya di glorifikasi untuk keuntungan pihak tertentu?
Poligami dalam al-Quran Menurut Pakar Kebahasaan Syaikh al-Jahizh
Salah satu pakar Bahasa Arab, Syeikh al-Jahizh, menggunakan istilah majaz yang terklasifikasi secara sempurna seperti matsal, tasybīh, isti’ārah dan kināyah. Kajian mengenai majaz berkaitan erat dengan ilmu balaghah, yaitu ilmu tentang teori sastra arab.
Ilmu ini merupakan salah satu ilmu yang mufassir gunakan untuk menafsirkan isi dan kandungan al-Quran. Meskipun beberapa pakar bahasa berbeda pendapat mengenai majaz dalam al-Quran, namun secara umum mereka mengakui bahwa pengetahuan mengenai sejarah pertumbuhan sekaligus perkembangan kajian majāz dalam al-Qur’an merupakan hal yang penting untuk mengetahui pergolakan pemikiran yang terjadi.
Majāz menurut al-Jahiz terbatas sebagai lawan kata (antonim) dari hakikat. Berangkat dari pendapat al-Jahiz ini, maka ayat poligami dalam surat An-Nisa ayat (3) bukanlah berisi anjuran ataupun sunnah, namun lebih kepada kinayah atau sindiran. Silahkan perhatikan terjemahan berikut ini:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” [An-Nisa/4 : 3]
Makna Majaz Kinayah
Dalam ayat poligami di atas sudah jelas bahwa satu-satunya syarat kebolehan poligami adalah mampu bersikap adil. Padahal manusia selamanya tidak akan mampu berbuat adil. Hal ini diperkuat oleh pernyataan dalam ayat 129 di surat yang sama, yaitu:
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. [An-Nisa/4 : 129]
Berangkat dari pemahaman majaz kinayah yang dirumuskan oleh al-Jahiz dalam memahami makna al-Quran, poligami sebenarnya tidak dibolehkan, apalagi dianjurkan. Berdasarkan ayat tersebut, syarat utama dibolehkannya poligami adalah sikap “adil” yang mustahil direalisasikan oleh manusia.
Majaz tersebut sama dengan ungkapan “jika kamu memiliki sayap, maka kamu boleh memetik bunga terindah di taman”. Syarat boleh memetik bunga terindah di taman adalah harus punya sayap. Namun faktanya manusia tidak punya sayap, maka tidak boleh mengambil bunga terindah di taman. Fokus kepada pemenuhan syaratnya, bukan pada kebolehan memiliki bunganya. Saat ini yang banyak terjadi adalah fokus kepada kebolehan poligaminya namun menafikan syarat adilnya.
Laki-Laki dan Perempuan Setara dalam Relasi Rumah Tangga
Satu-satunya indikator yang membedakan laki-laki dan perempuan di hadapan Tuhan adalah kadar dan kualitas ketaqwaannya kepada yang Maha Kuasa (al-Hujurat:13). Baik laki-laki maupun perempuan keduanya adalah hamba yang mengabdi hanya dan untuk Allah semata, bukan karena ketertundukan antara satu makhluk dengan makhluk yang lainnya.
Suami menghargai istri, istri menghormati suami, dua duanya melakukan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah. Bukan menghamba pada suami atau istri sebagai sesama makhluk. “Sesama murid jangan mengisi raport temannya” kurang lebih idiom yang tepat untuk mengukur relasi antar suami dan istri dalam menjalankan ibadah kepada Tuhan.
Pembenaran kebolehan poligami dengan alasan pengendalian nafsu birahi laki-laki sejatinya adalah pendiskreditan perempuan. Seolah-olah perempuan hanya tercipta sebagai tempat pelampiasan nafsu hewani laki-laki saja. Lantas bagaimana jika hal sebaliknya terjadi? Apa solusi untuk pengendalian nafsu perempuan? Apakah harus menahan diri dan tidak memiliki hak untuk melampiaskan nafsunya hanya karena dia perempuan? Atau mungkin jawabannya adalah “itu kodratmu sebagai perempuan!.”
Bedakan Kodrat dan Tradisi Patriarki
Hal yang membedakan antara laki-laki dan perempuan adalah bahwa perempuan memiliki mengalami fase haid, hamil, melahirkan, nifas, menyusui yang tidak akan laki-laki rasakan. Dan inilah kodrat perempuan yang sesungguhnya. Tradisi atau adat perempuan harus tunduk, harus merawat, harus ngalah, harus di belakang laki-laki sejatinya bukanlah kodrat namun tradisi patriarki yang selalu dikaitkan dengan syariat.
Ketika kita menyadari bahwa sejatinya laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama dihadapan Allah SWT, maka melayani dan dilayani sebagai sepasang suami istri adalah sebuah keniscayaan. Mampu menempatkan diri pada posisi orang lain sangat kita perlukan untuk introspeksi diri.
Pun demikian dengan poligami, jika tahu bahwa diduakan itu tidak enak, ya jangan menduakan. Jika memahami bahwa adil itu hal yang tidak mungkin manusia lakukan, ya jangan poligami. Jika kecemburuan adalah fitrahnya perempuan, maka jangan memancingnya untuk mencemburui laki-laki yang telah mendua. Apalagi menggunakan alibi itu untuk terus menerus menyakiti hati perempuan. []