Mubadalah.id – Bagaimana kiat membaca kecerdasan spiritual? Di zaman sekarang, besarnya gelombang persaingan hidup yang ketat telah memicu banyak manusia menjadi rentan: mudah stress, frustrasi, bahkan depresi. Berikut kecerdasan spiritual menurut Danah Zohar dan Ian Marshal.
Pola ini muncul, salah satunya, karena efek paradoks dari kemajuan iptek sehingga menyebabkan semaraknya gaya hidup yang cenderung hedonistik, dan relatif terjebak gejala pseudo-happiness dari manusia kekinian.
Terlebih dengan adanya era digital sekarang, selain membantu mempermudah hajat hidup manusia, ia juga membawa serta imbas sampingan. Contohnya, hal ironis di mana manusia yang awalnya menjadi subjek teknologi, kini beralih menjadi objek dari teknologi ciptaan mereka sendiri. Realitas konkret yang dapat diamati adalah ketidakmampuan kita melepaskan smartphone, dan keterjajahan kita dalam mengatur jadwal bermain medsos. Malah kita-lah yang justru diperkuda olehnya.
Ihwal tersebut telah menggejala sejak roda revolusi industri bergulir sehingga pada akhirnya memicu kegelisahan dalam diri manusia. Dan ini sudah tercium oleh sejumlah ilmuwan dan aktivis di masa lalu, salah satunya adalah Erich Fromm. Bahwa manusia modern pada suatu masa akan mengalami ketidakstabilan jiwa karena cara kerja industrial yang dituntut harus serba-efisien, predictable, dan mekanis.
Manusia beserta kecerdasan intelektual kognitifnya (IQ), dengan demikian, merasa seolah menjadi robot. Dalam bahasa akademisi Muslim semisal Seyyed Hossein Nasr, Haidar Bagir dan M. Nursamad Kamba, manusia kini mengalami “kegersangan spiritual”. Dari sinilah banyak peneliti di bidang humaniora mencoba mengulas kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient/SQ), melampaui arus utama zaman itu yang mengidolakan IQ.
Kiat Membaca Kecerdasan Spiritual Menurut Danah Zohar dan Ian Marshal
Salah satu buku rujukan utama dalam mengulas kecerdasan spiritual secara akademik adalah karya Danah Zohar dan Ian Marshall berjudul SQ: Spiritual Intelligence – The Ultimate Intelligence. Menurutnya, kecerdasan spiritual itu kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia, yang sumbernya terpaut langsung dengan inti alam semesta sendiri.
Agar tidak terkesan abstrak, ia membabarkan secara lebih sederhana dan fungsional bahwa kecerdasan spiritual adalah kesanggupan untuk menghadapi, memecahkan, dan memaknai persoalan hidup ke dalam konteks yang lebih luas dan utuh (holistic).
9 Acuan Awal Kecerdasan Spiritual
Untuk memberikan ilustrasi lebih konkret lagi, di bawah ini ada beberapa poin yang bisa dijadikan acuan (awal, bukan final) dalam ‘mengintip’ karakter orang yang cerdas secara spiritual terutama jika ditinjau dari kacamata psikosufistik:
- Kemampuan bersikap fleksibel.
- Level kecerdasan kognitifnya juga relatif tinggi dan produktif.
- 3. Bijak menyikapi penderitaan.
- Kesanggupan mengatasi rasa takut.
- Kualitas dan pandangan hidupnya diarahkan oleh visi dan nilai.
- Tidak berniat untuk membuat kerusakan.
- Berkecenderungan menelaah dan mencermati keterkaitan (interconnected) pelbagai urusan, aspek, anasir, peristiwa, dan hal-hal (cara pandang holistik).
- Cenderung bertanya “mengapa” dan “bagaimana jika”.
- Pemimpin yang berdedikasi tinggi, tulus mengabdi, dan konsekuen.
Sejumlah ciri-ciri di atas tentu saja berlaku universal, bukan dari kelompok atau identitas keagamaan tertentu saja. Dengan begitu, sangat mungkin akan tampak ada titik temu di ‘alam akhlak’ dan ‘cara pandang’ dalam diri individu Muslim yang cerdas secara spiritual dengan individu non-Muslim yang cerdas spiritual juga.
3 Komponen Kecerdasan Spiritual Menurut Davis Robert Emmons
Kemudian jika ingin melihatnya dari karakteristik Davis Robert Emmons, orang yang cerdas secara spiritual dipertimbangkan memiliki beberapa komponen berikut ini:
- Ketangkasan mentransendensi, sanggup memandang dan mencerap suatu realitas atau fenomena melampaui (beyond) pengamatan fisik material inderawi.
- Kepekaan untuk ‘menyucikan’ aktivitas keseharian. Individu yang secara spiritual cerdas dapat memaknai dan menghayati berbagai aktivitas, peristiwa, dan multigejala dengan kesadaran luhur Ilahiah.
- Kemampuan menggunakan potensi batiniah (akal dan intuisi) untuk memecahkan permasalahan, serta hal ini akan menjadikannya mampu mengelola skala prioritas dengan tepat.
- Kecakapan dalam berbuat baik, seperti menunjukkan belas kasih, rasa terima kasih, kerendahan hati, dan kualitas luhur manusia sejenisnya.
Berpijak dari uraian poin-poin di atas, tentu saja itu belum cukup untuk dijadikan tolok ukur baku untuk menilai apakah seseorang itu cerdas secara spiritual ataukah tidak. Namun demikian, setidaknya dari beberapa kualitas yang tampak dari karakteristik tersebut dapat kita jadikan bekal awal untuk mendidik dan melatih diri agar cerdas secara holistik (lengkap). Di sisi lain, kita juga dapat memantau individu-individu di sekitar kita, mana yang memiliki kualitas di atas sehingga kita tidak keliru dalam memilih teladan. []
Sumber Bacaan:
Ali Mustofa. 2018. “Pendidikan Tasawuf Solusi Pembentukan Kecerdasan Spiritual dan Karakter”. Inovatif, 4(1), 111-139.
Danah Zohar & Ian Marshall. 2007. SQ: Kecerdasan Spiritual. Bandung: Mizan.
Istiani N, & Islamy A. 2018. “Objektifikasi Nilai-nilai Psiko-Sufistik dalam Pendidikan Spiritual. HIKMATUNA: Jurnal for Integrative Islamic Studies, 4(2), 234-245.
- Naufal Waliyuddin. 2021. “Pendidikan Nilai Perspektif Psikosufistik (Integrasi Psikologi dan Tasawuf dalam Mengembangkan Spiritualitas dalam Pendidikan)”. Syifa al-Qulub: Jurnal Studi Psikoterapi Sufistik, 5(2), 86-96.