Mubadalah.id – Dalam sebuah momen pertemuan menemukan jodoh, terkadang yang terlambat datang, justru adalah sosok yang tepat. Contoh dari salah satu kisah hidup artis, yaitu Boiyen yang baru saja melepas masa lajang di usia 38 tahun.
Di usia tersebut, tidak ada kekurangan dalam diri Boiyen. Justru, dia bahagia dan penuh syukur. Memiliki karier yang baik, teman yang menjadi support system, rezeki yang berlimpah. Jika takdir hadir membawa orang yang tepat untuk menjadi pasangan, Allah SWT akan pertemukan, bahkan dengan cara yang tidak mudah kita sangka. Menikah bukan soal umur, namun soal kesiapan dan kecocokan.
Pernikahan ala Boiyen menjadi bukti bahwa terlambat hanyalah kata manusia, bukan takdir. Target menikah bukan soal buru-buru dengan waktu sehingga melewati hari dengan cemas dan merasa kurang berharga pada diri. Namun justru bertemu dengan pasangan yang mampu menghargai.
Kualitas cinta lebih penting dari waktu yang Terburu-buru. Dalam proses bertemu jodoh, tidak harus melalui percepatan dalam pertemuan. Butuh waktu lama pun tak masalah. Asalkan akhirnya bersama sosok yang menghargai kekurangan dan kelebihan diri kita.
Proses tiap orang berbeda, ada yang memiliki pertemuan secara cepat. Ada yang bertemu dengan waktu yang lambat. Ada yang mengalami jatuh bangun dalam bertemu sosok yang tepat. Boyen memiliki proses lama namun membuatnya berkembang, bahagia dan produktif. Jodohnya datang di waktu yang terbaik.
Jodoh Bukan Soal Cepat, tapi Soal Tepat
Jodoh tidak akan salah alamat. Cepat atau terlambat, kita hanya harus melakukan kebaikan dalam melewati waktu yang ada. Jika jodoh datang “terlambat”, tidak ada yang salah, tetapi tetap hidup penuh, bermartabat, dan bertumbuh.
Hal penting adalah membangun diri dengan kematangan emosional. Jodoh yang tepat sering datang ketika seseorang sudah matang menerima dan memberi cinta. Mengelola emosi dan belajar komunikasi asertif, mengenali batasan diri atau setting boundaries, menyembuhkan luka masa lalu bila ada.
Tidak perlu minder jika belum menikah. Belajar dari sosok Boiyen, bahwa dia justru fokus dengan kariernya, mencintai dirinya dan mencari kebahagiaannya. Sehingga membuatnya bertemu dengan sosok yang tepat dan pantas. Jodoh terlambat bukan hambatan untuk berkembang. Justru ini waktu emas untuk menyelesaikan pendidikan, mengembangkan karier, menguatkan keuangan pribadi.
Cara bertemu jodoh itu terkadang unik, sebagai manusia yang ingin membangun hubungan perlu memperluas lingkungan sosial. Jodoh membutuhkan jalan untuk bertemu, membuka pintu pertemuan melalui komunitas baru, bergabung kegiatan sosial, ikut kajian.
Ingat, pernikahan bukan perlombaan, tidak ada “umur wajib” untuk menikah. Pernikahan cepat tidak menjamin bahagia. Pernikahan paling berbahaya justru yang dipaksakan. Pembahasan wajib sebelum memutuskan menikah agar pernikahan tidak hanya sah secara agama, tetapi juga sehat secara emosional, finansial, dan realistis.
Perencanaan Rumah Tangga yang Matang
Dalam tradisi spiritual, jodoh adalah usaha manusia, waktu Tuhan, dan kesiapan hati. Yang penting bukan cepat, tapi tepat. Dalam proses tersebut, harus berhadapan dengan ilmu untuk mengenali Red Flags & Green Flags dari sosok calon pasangan. Saat jodoh datang, perempuan harus mampu:menilai karakter, membedakan cinta sehat dan cinta manipulatif, menilai visi masa depan, melihat keseriusan, bukan sekadar rayuan supaya melindungi diri dari hubungan berbahaya.
Sebelum menikah, harus saling tahu hidup seperti apa 5 sampai 10 tahun ke depan. Cara memaknai keluarga, karier, ibadah, dan kebahagiaan. terkait visi pernikahan yang sejalan misalnya ingin rumah tenang, ingin dinamika yang setara. Jika nilai dan tujuan dasar sangat berbeda, konflik jangka panjang sering muncul.
Diskusi tentang keuangan, yang menjadi penyebab konflik terbesar. Mulai membahas penghasilan dan pengeluaran masing-masing, gaya hidup hemat atau konsumtif. Pengelolaan uang setelah menikah, tabungan, utang, dan aset yang dimiliki. Rencana finansial, rumah, pendidikan anak, dana darurat, pensiun. Membahas apakah penghasilan nantinya menjadi satu rekening atau terpisah.
Bahas secara konkret:, terkait siapa yang mengurus pekerjaan rumah. Apakah nantinya istri akan bekerja, dan seberapa setuju dengan pembagian domestik yang adil. Bagaimana pembagian tanggung jawab pengasuhan anak. Pasangan yang memutuskan menikah harus memahami, bahwa Pernikahan sehat bukan “siapa lebih kuat”, tapi “siapa mau bekerja sama”.
Pasangan perlu juga mendiskusikan, bagaimana cara menyelesaikan konflik, apakah ada kebiasaan silent treatment, marah berlebihan, atau menghindar. Seberapa nyaman bercerita hal sensitif antar pasangan. Karena dalam pernikahan selalu ada dinamika, tanpa kemampuan komunikasi akan terjadi pengulangan konflik.
Hal-hal yang perlu dibahas sebelum menikah dengan pasangan adalah penyelesaian dinamika keluarga masing-masing. Sejauh mana keluarga boleh ikut campur. Serta dengan pasangan bersama menetapkan standar batasan privasi. Karena pernikahan itu bukan hanya dua orang, tapi dua keluarga. Batas harus jelas.
Perlu adanya informasi alergi dan penyakit genetik, perlu cek kesehatan pranikah, misalnya riwayat kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, trauma. Transparansi tentang kesehatan itu bagian dari tanggung jawab. Perencanaan memiliki anak, dalam waktu dekat atau tidak, Ingin punya anak atau tidak, berapa anak yang ideal, bagaimana pola pengasuhan yang diinginkan, bagaimana membagi peran antara pasangan.
Belajar Rumah Tangga dari Sosok Sayyidah Khadijah
Menikmati hidup sambil menunggu, tidak ada larangan untuk melakukan hal positif. Keterlambatan bertemu dengan jodoh yang tepat bisa kita ambil dari sosok Sayyidah Khadijah. Sayyidah Khadijah binti Khuwailid r.a. bertemu dan menikah dengan Rasulullah Muhammad ﷺ ketika usianya sekitar 40 tahun, sementara Rasulullah berusia 25 tahun.
Sayyidah Khadijah adalah seorang perempuan bangsawan Quraisy, saudagar sukses, dan terkenal dengan gelar ath-Thāhirah (yang suci). Telah dua kali menikah sebelumnya dan menjadi janda. Pertemuan dengan Nabi Muhammad ﷺ adalah saat menjadikannya karyawan atau agen dagang dengan melihat amanah, akhlak, dan integritas beliau.
Setelah melihat kejujuran Nabi Muhammad ﷺ, Sayyidah Khadijah jatuh hati dan melamar. Sebuah tindakan berani dan terhormat pada zamannya. Pernikahan berlangsung sangat harmonis selama 25 tahun, dan Rasulullah tidak pernah poligami selama Sayyidah Khadijah masih hidup.
Kisah Sayyidah Khadijah r.a. mengajarkan bahwa menikah lagi di usia 40 tahun pernikahan itu justru menjadi berkah dan kuat dalam sejarah Islam. Usia bukan penghalang untuk mendapatkan pasangan yang terbaik, bahkan menikahi lelaki yang lebih muda, dan keduanya saling menumbuhkan misi besar. Sayyidah Khadijah yang mengutus Nafisah binti Munyah untuk menyampaikan keinginannya menikah kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Melalui cerita pernikahan ala Boiyen, Perempuan tidak kehilangan kehormatan karena menikah “terlambat”. Justru terhormat karena kematangan, kecerdasan, dan keteguhan akhlaknya. Pernikahan Sayyidah Khadijah dan Rasulullah ﷺ menjadi teladan cinta, kesetiaan, dan kemitraan spiritual. Tidak apa datang terlambat, asalkan tidak salah orang. Sementara menunggu, kita bisa melakukan apa saja yang membuat diri menjadi versi terbaik sebelum menentukan jodohnya. []










































