Mubadalah.id – Sejak abad ke-8 M, Khalifah Harun ar-Rasyid telah menarik para cerdikiawan dan ahli bahasa dari segala bangsa dan agama ke istananya. Mereka ditugasi menerjemahkan buku-buku ‘ulumul awaail.
Penggantinya, Khalifah al-Ma’mun, bahkan mendirikan sekolah penerjemah dan perpustakaan terbesar ketika itu, yaitu Baitul Hikmah, yang berisi sejuta buku.
Salah seorang penerjemah kenamaan di perpustakaan itu adalah Hunain bin Ishaq, seorang Kristen. Ia lah yang kemudian menerjemahkan karya-karya kedokteran, matematika, astronomi, dan fisika, di samping karya-karya filsafat dan politik para sarjana Yunani. Sementara itu, Al-Fazari menerjemahkan buku astronomi India, Shidanta, karangan Brahmagupta.
Dari karya penerjemahan atas ‘ulumul awaail ini, kemudian lahir para sarjana, ilmuwan, dan filsuf Muslim: Al-Farabi, Ar-Razi, Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Ibnu Thufail, Ibnu Bajjah, Ibnu Rusyd, Ibnu Haitsam, Al-Biruni, Ibnu Khaldun, dan lain-lain. Berkat mereka, ilmu pengetahuan dan peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya dan memberikan sumbangan yang berarti bagi dunia modern di Barat.
Dengan begitu, ulumul awaail mudah kaum Muslimin terima pada awal dengan penuh penghargaan tanpa menganggapnya bertentangan dengan Islam. Ilmu pengetahuan adalah bagian dari “hikmah” yang Allah Swt berikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki-Nya.
“Allah menganugerahkan al-Hikmah (kepahaman yang dalam tentang al-Qur’an dan Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan, barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan, hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. al-Baqarah (21: 269).
Imam Syafi’i
Mungkin tidak banyak orang ketahui orang bahwa Imam Syafi’i, di samping pendiri madzhab besar, juga memahami dengan baik ilmu kedokteran. Abu “Abdullah al-Hakim, dalam bukunya mengenai biografi Imam Syafi’i, menceritakan:
Khalifah Harun ar-Rasyid di Baghdad, Irak, suatu hari bertanya kepada Imam Syafi’i tentang keahliannya di bidang ini. Imam Syafi’i menjawab:
“Aku memahami dengan baik pikiran-pikiran orang Yunani, seperti Aristoteles, Porporius, Galen, Epicurus, dan lain-lain melalui bahasa mereka.” Meski demikian, beliau memang lebih suka ilmu-ilmu syariah di bandingkan ilmu-ilmu logika.
Begitulah, sejarah peradaban Islam telah memberikan kepada kita pelajaran berharga betapa Islam dan kaum Muslimin awal bersikap sangat terbuka bagi semua pengetahuan dan peradaban bangsa-bangsa. Kemudian, dengan sikap demikian, mereka bekerja untuk membangun kehidupan yang maju, bermanfaat, dan beradab bagi seluruh umat manusia.