Mubadalah.id – Sehari setelah mengikuti Halaqah Kubra KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), seorang teman bertanya dengan nada ragu, “Kalau ingin bergerak bersama KUPI harus mulai dari mana?”
Aku terdiam sejenak. Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi tidak ringan. Jujur saja, aku pernah berada di titik yang sama dengan pertanyaan itu. Ingin berpihak dan bergerak, tapi tidak tahu harus berdiri di mana.
Selama ini, ulama sering dipahami sebagai mereka yang memiliki otoritas formal, seperti menguasai kitab, memimpin pesantren atau lembaga keagamaan lainnya. Pemahaman ini tentu saja tidak keliru, tetapi belum sepenuhnya utuh. Dalam realitas sosial yang dihadapi perempuan hari ini, termasuk kekerasan dan kerentanan, keulamaan tidak cukup dimaknai sebagai status, melainkan sebagai nilai dan keberpihakan.
KUPI dan Cara Membaca Agama yang Memihak Kehidupan
KUPI tidak sekadar menghadirkan ruang berkumpul bagi ulama perempuan, tetapi menawarkan cara membaca agama yang berpihak pada kemanusiaan. Agama adalah sumber nilai yang melindungi martabat, terutama bagi mereka yang selama ini sering tersakiti atas nama tafsir dan tradisi.
Pendekatan ini menegaskan bahwa keberagamaan dan realitas sosial akan selalu terkait dan bersinggungan. Ketika perempuan dan anak mengalami ketidakadilan, di sanalah agama seharusnya hadir sebagai perlindungan, bukan pembenaran.
Metodologi Pengetahuan
Di sinilah penjelasan Ruby Khalifah (Direktur AMAN Indonesia) saat diskusi Halaqah Kubra pada 13 Desember 2025 di UIN Sunan Kalijaga menjadi penting. Ia menjelaskan bahwa yang membuat KUPI spesial bukan hanya siapa yang terlibat di dalamnya, tetapi bagaimana pengetahuan keagamaan diproduksi dan digerakkan.
KUPI bekerja dengan metodologi pengetahuan meliputi keadilan hakiki, mubadalah, dan ma’ruf. Dengan cara ini, pengalaman hidup, terutama pengalaman konkret perempuan menjadi sumber pengetahuan yang sah. Dari sana, teks dibaca ulang, tradisi ditimbang kembali, dan fatwa KUPI dirumuskan dengan keberpihakan pada kehidupan.
Walaupun terdengar besar dan konseptual, metodologi ini sejatinya bekerja sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Mubadalah, misalnya, hadir dalam relasi suami istri yang berasaskan prinsip saling memahami dan bekerja sama, bukan dominasi dari salah satu pihak dan perendahan pada pihak lain. Di situlah mubadalah bekerja.
Prinsip ma’ruf hadir ketika kita berani mempertanyakan praktik yang selama ini terlihat wajar tetapi ternyata melukai. Sementara keadilan hakiki bekerja saat kita mengakui bahwa situasi setiap orang berbeda, sehingga keadilan tidak selalu berarti perlakuan yang sama.
Konsistensi Gerakan
Metodologi ini sekaligus menjadi metodologi gerakan. Pengetahuan tidak berhenti di forum, tetapi bergerak melalui berbagai ruang khidmah, seperti komunitas, ruang advokasi, pesantren, perguruan tinggi, majlis taklim, dan seterusnya. Inilah yang membuat KUPI bukan hanya menjadi forum intelektual, tetapi juga kerja kolektif yang hidup dan terus berjalan.
Menjadi bagian dari ulama perempuan tidak selalu berawal dari mimbar atau pengakuan. Ia bisa berangkat dari kepercayaan pada nilai-nilai keadilan. Dalam kasus kekerasan seksual misalnya, kita yakin bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan dan bahwa kita tidak boleh menghakimi korban, berarti kita sedang mengambil posisi moral yang jelas.
Di titik inilah penegasan Masruchah, selaku sekretaris Majlis Musyawarah KUPI, dalam salah satu sesi diskusi di halaqah kubra menemukan maknanya. Ia mengatakan, “KUPI adalah kita, dan kita adalah KUPI, jika kita percaya pada nilai, strategi, dan fatwa yang diperjuangkan KUPI.”
KUPI bekerja melalui strategi yang smooth dan berkelanjutan lewat pendidikan kader, penguatan kapasitas, penguatan komunitas, dan produksi pengetahuan yang adil gender.
Menjadi bagian dari ulama perempuan bukanlah soal pengakuan atau klaim identitas, melainkan soal komitmen yang harus kita jaga bersama. Selama kita percaya pada nilai-nilai KUPI, memahami metodologi pengetahuan dan gerakannya, serta menjadikan fatwa-fatwanya sebagai pedoman etik dalam kehidupan sehari-hari, di sanalah posisi kita.
KUPI Bersama Siapa Saja yang Berpihak pada Keadilan
Salah satu hal penting dari KUPI adalah caranya memposisikan pengetahuan. Di KUPI, pengetahuan tidak hanya milik mereka yang paling fasih berbicara atau paling lama belajar di ruang formal. Dalam hal ini, perempuan tidak lagi hanya sebagai objek dakwah atau penerima fatwa, tetapi juga sebagai subjek pengetahuan. Pengalaman hidup perempuan adalah bagian dari sumber pengetahuan itu sendiri.
Di titik ini, kita harus memahami bahwa KUPI tidak berdiri sebagai ruang yang eksklusif. Ia tidak hanya milik mereka yang hadir di kongres, terlibat dalam struktur, atau fasih berbicara atas nama gerakan. KUPI hadir bersama siapa saja yang, dengan caranya masing-masing, memilih berpihak pada nilai-nilai keadilan.
Guru, ibu rumah tangga, pendamping komunitas, mahasiswa, tokoh agama, atau siapa pun yang berusaha menjaga martabat kemanusiaan dan menolak ketidakadilan, berarti sedang berjalan dalam spirit yang sama.
Di situlah keulamaan menemukan maknanya. Bukan sebagai status atau pengakuan, melainkan sebagai nilai yang terus hidup. []








































