Mubadalah.id – Kementerian Luar Negeri Belanda resmi mengumumkan sepuluh kandidat untuk penghargaan Human Rights Tulip 2025, sebuah penghargaan internasional yang diberikan setiap tahun kepada para pembela hak asasi manusia di seluruh dunia. Dalam pengumuman yang disampaikan pada 14 November 2025 itu, KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) tercatat sebagai salah satu nomine, berdampingan dengan para pejuang HAM dari berbagai negara.
Masuknya KUPI ke dalam daftar kandidat menandai bagaimana gagasan, perjuangan, dan metodologi pengetahuan yang dikembangkan para ulama perempuan Indonesia kini dipandang relevan dan signifikan dalam percakapan global mengenai bagaimana agama, keadilan, dan hak asasi manusia saling berkaitan.
Proses penetapan kandidat Human Rights Tulip bukan perkara sepele. Para nomine mereka pilih melalui proses panjang, melibatkan kedutaan Belanda di berbagai negara serta organisasi masyarakat sipil lokal. Semua nama mereka saring berdasarkan rekam jejak, dampak sosial, serta keberanian mereka menghadapi risiko.
Setiap dari mereka akan mendapatkan embassy tulip, sebuah bentuk pengakuan resmi atas kontribusi mereka. Namun hanya satu yang kelak akan menerima penghargaan utama, yang akan diumumkan oleh Menteri Luar Negeri Belanda David van Weel pada 10 Desember, bertepatan dengan peringatan Hari HAM Internasional.
Di antara sembilan kandidat lain, masing-masing membawa cerita perjuangan, pengalaman, keteguhan yang lahir dari kondisi ekstrem yaitu saat konflik, hilangnya anggota keluarga, represi negara, hingga diskriminasi sistematis. Mereka datang dari konteks yang berbeda, tetapi menyuarakan hal yang sama, yaitu tentang keadilan.
Perjuangan HAM di Dunia
Dari Bangladesh hingga Ukraina, para kandidat tahun ini memperlihatkan betapa beratnya perjuangan para aktivis HAM. Mereka bekerja dalam situasi penuh risiko, namun tetap mampu bertahan dan membawa perubahan. Para aktivis HAM tersebut di antaranya:
Sanjida Islam Tulee dari Bangladesh memulai perjuangan panjang setelah kakaknya diculik pada 2013. Ia mendirikan Maayer Daak, tempat bagi keluarga korban penghilangan paksa, dan sejak itu menjadi simbol penolakan terhadap impunitas.
Di Somalia, Somali Journalists Syndicate (SJS) berdiri sebagai benteng bagi jurnalis yang dibungkam karena memberitakan korupsi dan pelanggaran HAM.
Dari wilayah Palestina, Eid Hathaleen, seorang aktivis dan seniman, menggunakan kreativitas dan non-violent resistance untuk menyoroti kekerasan pemukim dan pembongkaran rumah.
Di Sudan, Chili, Yaman, Kolombia dan Ukraina
Sementara itu, di Sudan, Ayin Network melawan arus disinformasi dengan jurnalisme investigatif yang mengungkap konflik dan pelanggaran HAM.
Cerita serupa juga datang dari Chili lewat Fundación Todo Mejora, yang menyediakan dukungan kesehatan mental gratis bagi remaja LGBTIQ+, serta dari Viktória Radványi di Hungaria yang terus memperjuangkan ruang aman bagi komunitas LGBTIQ+ meski parade Pride berkali-kali dihambat pemerintah.
Di Yaman, pengacara HAM Maeen Al-Obaidi memainkan peran vital sebagai mediator perdamaian. Usaha diplomatisnya membuat ribuan warga Taiz akhirnya mendapatkan akses air bersih, sebuah pencapaian yang sulit dibayangkan di tengah perang.
Dari Kolombia, Tejido Mujer sudah tiga dekade melawan perekrutan anak dan memperjuangkan hak perempuan pribumi Nasa yang hidup di tengah konflik bersenjata.
Dan dari Ukraina, JurFem menjadi harapan baru bagi korban kekerasan seksual terkait konflik, menyediakan bantuan hukum gratis dan mengadvokasi perubahan hukum nasional.
KUPI
Di antara semua kisah pejuang HAM itu, KUPI menempati ruang unik dalam daftar kandidat. Jika aktivisme HAM sering identik dengan arena politik, hukum, atau advokasi publik, KUPI hadir dengan pengetahuan keagamaan yaitu ranah yang sering dianggap konservatif dan sulit dibuka. Namun KUPI membalikkan asumsi itu.
Dengan menempatkan pengalaman perempuan sebagai sumber tafsir keagamaan, KUPI membangun pendekatan baru dalam memahami teks Islam. Mereka tidak sedang melawan agama, tetapi membuka ruang agar nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kemaslahatan benar-benar dapat perempuan rasakan.
Metode ini bukan saja relevan bagi umat Muslim, tetapi juga berpengaruh untuk wacana global mengenai bagaimana agama dan hak asasi dapat saling memperkuat.
Dalam banyak fatwa dan sikap keagamaannya, KUPI selalu konsisten membela penyintas kekerasan seksual, hak anak perempuan terhadap pendidikan, perlindungan terhadap perempuan di lingkungan pesantren, serta penolakan terhadap ekstremisme yang merendahkan martabat perempuan.
Ketika dunia menyaksikan bagaimana agama sering digunakan sebagai alat kontrol, KUPI justru mengajukan agama sebagai jalan keluarnya.
Kenapa Pengakuan KUPI Ini Penting
Ada tiga lapisan alasan mengapa masuknya KUPI dalam 10 besar Human Rights Tulip 2025 begitu signifikan.
Pertama, visibilitas internasional. Banyak gerakan keagamaan progresif lahir di Asia dan Afrika, namun jarang terlihat oleh publik global. Penghargaan ini memberi panggung internasional untuk model gerakan Islam berkeadilan gender yang lahir dari Indonesia.
Kedua, dukungan finansial. Pemenang utama akan menerima dana untuk memperkuat program, riset, dan advokasi. Dalam konteks kerja-kerja berbasis komunitas dan pesantren, dana tersebut dapat membuka akses lebih luas bagi perempuan di banyak daerah.
Ketiga, solidaritas global. Kehadiran KUPI di antara aktivis Yaman, Palestina, Somalia, dan Ukraina menegaskan bahwa perjuangan hak asasi saling berkaitan. Ia menunjukkan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan berlangsung di banyak ruang dakwah hingga meja perundingan damai.
Pembelajaran untuk Indonesia
Pengakuan internasional ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi Indonesia. Di tengah tantangan kekerasan gender, perdebatan tentang revisi undang-undang, hingga meningkatnya konservatisme. Maka kehadiran KUPI di pentas global membuktikan bahwa Indonesia memiliki modal sosial dan intelektual yang penting dalam perjuangan HAM.
Apalagi, upaya para ulama perempuan terlalu sering diremehkan, dituduh menyimpang, atau bahkan dibatasi. Padahal, dunia justru melihat kerja mereka sebagai kontribusi strategis yang penting bagi perjuangan keadilan dan hak asasi.
Kini, ketika nama KUPI bersanding dengan para pejuang hak asasi dari wilayah konflik dan rezim represif. Maka hal penting yang patut kita catat adalah bahwa pemberdayaan berbasis keagamaan yang KUPI lakukan di Indonesia terbukti memiliki kontribusi global yang nyata.
Dengan pengumuman pemenang yang tinggal menunggu waktu, apa pun hasilnya, langkah KUPI telah menembus panggung internasional. Dan itu sendiri adalah kemenangan penting. []










































