• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Langgengnya Mental Patriarki dalam Taaruf yang Toxic

Tidak ada satupun ajaran dalam taaruf yang membolehkan laki-laki mengekang kebebasan perempuan dan mengatur keputusannya.

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
27/05/2021
in Personal, Rekomendasi
0
Taaruf

Taaruf

528
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Tak hanya hijab, kaos kaki, odol, dan baju syar’i, bahkan jalinan relasi juga dikampanyekan dengan narasi syar’i. Hal ini tak lepas dari pengaruh public figure millennial yang merepresentasikan pernikahan yang penuh ke”UWU”an dengan jalan taaruf.

Secara istilah pacaran dan taarufan sudah tentu memiliki makna yang berbeda, namun secara praktik terkadang ada yang melakukannya seperti tidak jauh panggang dari api. Eksistensi dan makna dari taaruf disalahgunakan agar bisa melakukan pacaran syar’i.

Narasi Ekstrimis dan Paradoks Keluarga Sakinah

Dengan berbasis syari’i, dominasi peran laki-laki atas perempuan seringkali dilakukan dengan pendekatan ayat-ayat ekstrimis. Seperti mewajibkan perempuan izin terlebih dahulu sebelum bepergian, menguasai tubuh perempuan dengan mengatur jenis pakaiannya, larangan bertemu laki-laki lain, wajib melaporkan seluruh aktifitasnya, dan membatasi kontak laki-laki di telefon genggamnya. Seolah-olah dominasi laki-laki atas perempuan dalam relasi tersebut adalah sebuah gambaran rumah tangga islami yang ideal di masa depannya.

Menurut Hendri Yulius (2018), pasangan dalam tahap pacaran selalu memiliki satu tujuan yaitu hidup ideal. Dalam sebuah relasi yang timpang selalu memberikan dominan bagi salah satu pihak, dalam hal ini laki-laki. Sehingga orientasi juga membentuk suatu imajinasi yang ideal. Ketika perempuan belum memenuhi imajinasi laki-laki maka pembentukan orientasi pun dilakukan. Sedangkan standar imajinasi ideal yang dibentuk dalam taaruf atau pacaran berbasis syar’i ini tak lain adalah penafsiran dari narasi-narasi ekstrimis yang seksis.

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Keberhasilan Anak Bukan Ajang Untuk Merendahkan Orang Tua

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

Inses Bukan Aib Keluarga, Tapi Kejahatan yang Harus Diungkap

Narasi ekstrimis seringkali dijadikan senjata untuk mengekang kebebasan perempuan. Naasnya dalam sebuah relasi laki-laki dan perempuan, narasi ekstrimis ini seringkali digunakan untuk mempertegas bahwa dominasi yang dilakukan laki-laki adalah sesuatu yang sesuai dengan syariat Islam.

Negosiasi dari pihak perempuan sebagai korban narasi ekstrimis laki-laki tak banyak dilakukan di masa pacaran. Hal ini disebabkan karena penerimaan perempuan yang menganggap segala ketertindasan dan kekerasan psikis yang ia alami adalah sesuatu yang wajar.

Menurut teori sitasionalitas Judith Butler (2011), negosiasi dalam keadaan ini tidak terjadi karena pengekangan dan kekerasan psikis terjadi berulang kali sehingga secara perlahan menjadi sesuatu yang baku. Pengekangan dianggap sebagai sebuah norma karena dalam imajinasi mereka, relasi perempuan dan laki-laki dalam pernikahan saling mendominasi dan mengatur sama lain.

Muncul simulasi peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang memiliki hak mutlak, dan simulasi peran perempuan sebagai istri yang taat dan patuh pada kepala rumah tangga. Ketika dibawa pada konteks pacaran maka idealisme pernikahan itu akan muncul secara ‘alamiah’ bahkan jika segala kekerasan dialami.

Paradigm patriarki jelas tergambar dalam relasi ini, sebuah paradigma yang menempatkan laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek. Dari paradigma ini kemudian lahirlah relasi yang toxic. Yaitu sebuah hubungan yang tidak sehat, namun pelaku yang di dalamnya baik sebagai aktor maupun korban tidak menyadari bahwa mereka dalam hubungan tidak sehat.

Diperkuat lagi dengan narasi ekstrimis yang mengkonstruksi pemikiran bahwa pengekangan yang terjadi pada perempuan adalah sesuatu yang akan bermanfaat bagi perempuan ke depannya. Sehingga terdoktrin dalam jiwa bahwa perempuan memang hidup di bawah aturan laki-laki, harus menurut, tidak punya kebebasan, harus selalu izin ke pasangan meskipun masih dalam tahap pacaran. Setidaknya itulah doktrin laki-laki akan simulasi keluarga sakinah yang mereka bangun ke depannya.

Hal ini menggambarkan teori yang dipaparkan oleh Fishben dan Ajzen (1988) mengenai belief about outcomes yang dapat berpengaruh pada attitude toward behavior seseorang. Dalam arti pihak perempuan meyakini bahwa dengan menurut pada laki-laki, maka hal itu akan membawa hubungan yang harmonis di antara keduanya, sehingga ia akan menerima perilaku tersebut dan tidak menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam keadaan bermasalah.

Ladies, Get Up Please!

Menyadarkan perempuan bahwa ia sedang dalam hubungan toxic saja sulit, apalagi ditambah dengan pembenaran doktrin agama. Tentunya akan lebih menyulitkan lagi, bahkan mungkin dianggap melanggar syariat. Maka yang perlu dilakukan adalah memberikan penyadaran bahwa keadilan dan kesetaraan adalah inti pokok dalam ajaran Islam.

Standar kemuliaan tertinggi bagi seorang manusia adalah ketaqwaannya (al-Hujurat:13). Bukan karena pekerjaanya, parasnya, pun bukan pula karena jenis kelaminnya. Maka menempatkan perempuan di bawah laki-laki, mendikotomi peran domestik dan publik, mengekang kebebasan berekspresi, menentukan pilihan perempuan berdasarkan standar laki-laki jelas-jelas bertentangan dengan inti ajaran Islam.

Dalam hubungan pacaran yang nyata-nyatanya haram, belum ada ikatan, tidak ada pertanggungjawaban dari dua belah pihak, maka pengekangan jelas-jelas bagian dari abusive relationship. Pemahaman akan gambaran rumah tangga sakinah yang disimulasikan dengan pacaran dengan penuh aturan dan pengekangan adalah bentuk dari hubungan yang tidak sehat.

Pun demikian dengan hubungan taaruf yang semakin keluar dari nilai aslinya. Taaruf  adalah proses pengenalan antara laki-laki dan perempuan yang memang sudah siap menikah secara lahir dan batin. Namun tetap dilakukan sesuai dengan ajaran Islam dan tidak ada kebohongan atau kemaksiatan di antara salah satu pasangan.

Tidak ada satupun ajaran dalam taaruf yang membolehkan laki-laki mengekang kebebasan perempuan dan mengatur keputusannya. Maka berduaan di tempat sepi, berboncengan berduaan, mengatur kebebasan perempuan layaknya ia mengatur istri dan menganggap itu sebagai bagian dari taaruf  hanya karena ingin terlihat syari adalah sebuah kesalahan.

Maka bagi kalian para perempuan yang sedang berada dalam fase ini, harus segera menyadari bahwa hubungan yang saat ini dijalani adalah hubungan yang tidak sehat dan segera making decision. Melanjutkan hubungan sesuai dengan ajaran taaruf yang benar ataukah mengakhiri hubungan.

Setiap perempuan adalah istimewa, perempuan memiliki hak untuk memilih, hak untuk menentukan keputusan, dan hak untuk berperan di wilayah publik sama dengan laki-laki.

Abaikan janji yang diberikan laki-laki untuk menikahi sehingga menjadikan perempuan sebagai budak pelampiasannya. Baik pelampiasan ego, bahkan nafsu hewaninya. Hubungan yang baik adalah hubungan yang dilandasi dengan sikap saling percaya, saling mendukung, dan memberikan opsi terbaik saat salah satu pihak mengalami kesulitan.

Pun demikian dengan agama Islam, nilai-nilai keadilan yang diusung oleh Islam tak akan mungkin bermuatan diksi diskriminatif hanya karena perbedaan jenis kelamin. Setiap dari manusia adalah istimewa, bebas, dan merdeka. Bebas menjadi dirinya sendiri, melakukan aktifitas, menentukan keputusan bagi dirinya sesuai dengan syariat Islam. Bukan disesuaikan dengan standar keinginan orang lain. []

Tags: HijrahkeluargaKesalinganKesehatan MentalperempuanRelasi ToxicSyariat IslamTa'aruf
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Inspirational Porn

Stop Inspirational Porn kepada Disabilitas!

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Kehamilan Tak Diinginkan

Perempuan, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Kekejaman Sosial

18 Mei 2025
Dialog Antar Agama

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

17 Mei 2025
Noble Silence

Menilik Relasi Al-Qur’an dengan Noble Silence pada Ayat-Ayat Shirah Nabawiyah (Part 1)

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Alasan KUPI Jadikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version